Atep POV
Dosen Alena:
Saya tunggu hari ini!!!!!
“Apa-apaan ini?”
Aku tidak terima dengan isi pesan dari bu Alena. Seenaknya sekali dia mengirim pesan dengan isi yang singkat tapi menyebalkan dengan tanda serunya. Pagi hari yang sebenarnya cerah tapi tidak dengan hatiku yang tidak secerah mentari yang bersinar hangat. Aku mendapatkan pesan teks dari dosen pembimbingku yang galak itu.
Saat ini aku masih di rumah karena harus membantu Teh Iyah pindahan dari desa Cibeber ke Bandung. Jarak yang cukup lumayan jauh dan sangat membutuhkan energi yang banyak.
Kuabaikan pesan teksnya. Hanya kubaca saja tanpa ada keinginan untuk membalasnya. Jadwal bimbinganku 2 hari lagi, maka aku akan strict dengan jadwal yang sudah ditentukan.
Satu jam kemudian, ponselku berbunyi lagi. Ada notifikasi pesan yang masuk. Kulihat pengirimnya masih dosen galak itu.
Dosen Alena:
Saya tahu kamu sudah membaca pesan saya. Kenapa tidak membalasnya?
Masih kuabaikan pesan dari dosen galak itu karena aku masih sibuk memasukkan barang-barang Teh Iyah, Aras dan Aris ke dalam mobil pick up. Sebenarnya tidak banyak barang yang dibawa karena masih juga banyak barang yang Teh Iyah tinggalkan di Cibeber. Hanya saja barang Aras dan Aris yang berupa mainan dan buku mereka yang banyak sampai penuh satu mobil pick up.
Sudah dua jam, aku sibuk membereskan dan mengangkut barang-barang Aras dan Aris. Aku sendiri yang menyetir membawa barang-barang Teh Iyah, Aras dan Aris ke rumah mereka di Bandung.
Pesan dari dosen galak itu belum sempat aku balas sama sekali. Bukan karena aku sibuk tapi aku juga memang tidak ada keinginan untuk membalasnya. Aku tidak peduli dia marah padaku.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga di Bandung. Rencananya, aku akan singgah di rumah lamanya Teh Iyah di Bandung dan menjemput Teh Iyah, Aras dan Aris. Setelah itu, aku akan mengantarkan mereka ke rumah baru yang dibeli oleh suaminya Teh Iyah.
“Mang Ateeeeep...” Aras dan Aris berlarian menyongsongku.
“Mang Atep kemana aja? Aris kangen main bola sama Mang Atep. Mang Atep lagi sibuk ya? Sekarang kita pergi ke rumah barunya Aris. Mang Atep sudah pernah belum ke rumah barunya Aras dan Aris?” Aris memberondongku dengan banyak pertanyaan.
“Pernah.” jawabku.
“Kok, Aris gak tau sih kalau Mang Atep pernah ke sana?”
“Hehehe….”
Aku hanya tertawa dalam menjawab pertanyaan Aris.
Aku akan mengantar Teh Iyah menuju ke rumah baru yang dibeli oleh suaminya. Butuh waktu sekitar 30 menit dari rumah lama Teh Iyah untuk sampai ke rumah barunya. Aku melihat rumah baru mereka jauh lebih luas dibandingkan dengan rumah Teh Iyah sebelumnya.
*******
Setelah sampai di rumah baru Teh Iyah, aku langsung menurunkan barang-barang milik Teh Iyah, Aras dan Aris.
“Kamu capek, Tep? Kalau capek, nanti biar suami Teteh saja yang memindahkan barang-barangnya.”
“Gak capek kok, Teh. Atep mah kan udah biasa kerja keras bagai kuli seperti ini,” candaku.
“Kamu kan udah nyetir dari Cibeber ke sini, terus mindahin barang-barang juga. Teteh khawatir kamu capek. Udah lah, istirahat aja dulu. Nanti setelah zuhur dilanjutkan lagi.”
“Kagok, Teh. Biar sekalian capek,” ujarku menenangkan Teh Iyah.
“Ih, ai kamu. Tubuh kamu juga punya hak istirahat atuh, Tep. Jangan terlalu diporsir tenaganya. Kalau kamu sakit, nanti Mak Isah nyalahin Teteh.”
“Beuh, mana mau Ibu nyalahin Teteh. Kalau Ibu di sini, Atep mah yakin kalau Ibu pasti nyuruh Atep buat cepat-cepat beresin nih barang-barangnya Teteh. Kadang Atep mah curiga kalau Atep bukan anaknya Ibu.”
“Hus….kamu mah kalau ngomong suka seenaknya. Teteh tau kok pas Mak Isah ngelahirin kamu.”
“Bacanda atuh Teteh cantik,” godaku.
“Dasar kasebelen.” Teh Iyah menjitak kepalaku.
“Teh, ini barang-barang Aras dan Aris langsung masuk ke kamar mereka aja?” teriakku dari atas mobil pick up.”
“Eh…si Atep mah bandel. Dibilangin beres-beresnya nanti saja setelah zuhur. Turun kamu!” perintah Teh Iyah dari samping mobil.
Aku pura-pura tidak mendengar perintah Teh Iyah.
“Turun gak? Kalau gak mau turun, Teteh yang naik ke situ.”
Teh Iyah sudah menaikkan satu kakinya ke bagian mobil pick up.
“Eeeeh.., Teteh mau ngapain?”
Aku panik juga melihat Teh Iyah yang sudah berada di atas bagian belakang mobil.
“Kamu mah anak bandel. Pengen dijewer ya sama Teteh, hah?”
Teh Iyah mulai menjewer telinga kananku.
“Eeeh… aduh lepas, Teh. Masa dijewer kaya anak kecil saja. Malu Teh kalau sampai dilihat Aras atau Aris.”
“Makanya kalau dibilangin sama Teteh itu nurut. Cepet turun!” perintah Teh Iyah dengan tegas dan memaksaku untuk mengikuti keinginannya.
“Atep mah pengen cepet beres, Teh.”
“Memangnya mau kemana cepat-cepat? Tunggu A Endra, biar dia bantuin kamu beres-beres. Sebentar lagi juga dia datang. Dia bilang mau bawa sekertaris dan anak buah di kantornya buat bantu beres-beres.”
“Kapan datangnya, Teh? Atep mau ngerjain skripsi, udah kena warning sama dosen nyebelin itu.”
“Aduuuh… Kenapa kamu gak bilang kalau kamu mau ngerjain skripsi? Kalau Teteh tau, gak bakalan deh minta tolong sama kamu. Maafin Teteh ya, Tep.” Aku melihat kekhawatiran dari wajah Teh Iyah. Sontak hal ini membuatku sadar kalau aku sudah salah bicara.
Tuh kan aku salah ngomong. Kenapa sih mulutku ini tidak bisa dikondisikan? Kenapa bisa aku sampai memberikan alasan skripsi pada Teh Iyah? Aku menyesal dengan alasan yang aku berikan sehingga membuat Teh Iyah menjadi khawatir.
“Bukan begitu, Teh. Kan Atep yang nawarin ke Teteh buat bantu-bantu pindahan. Tadi Atep salah ngomong, Teh. Jangan diambil hati.”
“Ah, kamu mah pintar buat alasan. Duh, gimana nih... Sebentar, Teteh telepon dulu A Endra. Mudah-mudahan dia sudah dekat.”
"Teteh, Atep kan sudah bilang kalau Teteh jangan khawatir."
Aku melihat Teh Iyah yang sedang sibuk menelepon suaminya.
"Aa di mana? Kapan ke sini? Apa? Katanya mau hari ini datang. Bagaimana sih?"
Kudengar Teh Iyah marah-marah saat bicara dengan suaminya. Sepertinya suami Teh Iyah tidak jadi datang ke Bandung hari ini.
*************
to be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments