12. Bersyukur

Alena POV

“Siapa yang bilang kalau Lena sudah tidak peduli lagi sama Aa?” ujarku marah. Aku berdiri tegak di pintu kamar rawat inap tempat kakakku dirawat lebih dari satu minggu ini sambil menatap tajam kakakku yang terbaring di ranjangnya.

“Eh, ada adik Aa yang manis.”

“Tidak usah bilang-bilang manis. Apa maksudnya tadi Aa bilang begitu?” semprotku kesal.

“Bilang apa?” tanya A Endra pura-pura tidak paham.

“Tadi itu Aa bilang karena karir, Lena jadi tidak peduli lagi sama Aa,” bentakku tidak terima.

“Jangan marah-marah sama pasien,” rajuk A Endra dengan muka memelasnya.

“Pasien lebay.” Aku berdecih.

“Kenapa anak Ibu yang manis ini marah-marah sih?” tanya ibu sambil mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Sejak aku mendapatkan pekerjaan mengajar di kampus beda kota, ibu jadi jarang bertemu dengan anak gadis satu-satunya ini.

“Lena sedang kesal Bu,” ungkapku kesal.

“Kesal kenapa?”

“Hari ini Lena kesal sama dua orang. Orang pertama adalah Aa. Lena kesal sama Aa yang ngatain Lena adik durhaka. Yang kedua adalah mahasiswa yang dibimbing sama Lena. Orangnya songong banget. Diberi nasihat malah marah-marah. Kan nyebelin dan bikin mood Lena jadi berantakan. Akibatnya Aa jadi kena omel Lena juga kan,” aduku pada Ibu.

“Sebagai dosen pembimbing, kamu harus sabar. Karakter mahasiswa kan beda-beda. Kamu harus punya stok sabar lebih,” nasihat Ibu.

“Biasanya juga dosen yang bikin mahasiswa sebal kan? Ini sih terbalik, mahasiswa yang bikin dosen mangkel.” Aku masih bersungut-sungut meluapkan kekesalanku.

“Mahasiswanya perempuan atau laki-laki? Kalau perempuan mungkin dia iri sama kecantikan dosen pembimbingnya.” Pertanyaan ibu semakin membuatku kesal.

“Mahasiswanya laki-laki, Bu. Heran deh, laki-laki kok kelakuannya itu persis banget sama perempuan yang hobinya nyinyir sama orang. Aku ini bukan hanya seorang perempuan tapi juga dosen pembimbing dia. Masa tidak ada hormat-hormatnya sih sama dosennya.” Aku masih belum puas mengomel mencurahkan kekesalanku.

“Mungin dia naksir sama kamu, jadinya dia cari perhatian ke kamu,” ujar A Endra yang sejak tadi hanya mendengarkan curhatanku pada ibu tetapi sekalinya membuat pernyataan bikin kesal.

“Naksir apaan? kaya kulkas gitu. Aku juga heran orang kaya kulkas gitu tapi banyak cewek-cewek yang suka sama dia. Apa bagusnya coba dia? Dasar... sok kegantengan.”

“Eeeh jangan salah loh, cewek-cewek sekarang tuh sukanya cowok yang dingin kaya kulkas. Tuh contohnya kakak ipar kamu yang cinta mati sama Aa.”

“Cinta mati apaan? Yang ada tuh Aa yang cinta mati sama Teh Iyah sampai sakit dan dirawat gara-gara dulu ditinggalin.” Aku menjulurkan lidah mengejek kakakku.

“Tapi sekarang Iyah sudah balik lagi sama Aa,” balas kakakku.

“Ah itu juga karena Aa terluka sampai hampir mati. Kalau gak begini juga mana mau teh Iyah maafin Aa.”

“Eh… sembarangan kalau ngomong ya.” A Endra melemparkan bantal tepat mengenai wajahku.

“Ibuuu… Aa jahaat!” teriakku tidak terima karena dilempar bantal tepat di wajah.

Aku sudah mau balas melempar bantal ke arah kakakku tapi segera ditahan oleh ibu.

“Lena, jangan dilempar! Ibu khawatir lemparan kamu tidak tepat sasaran malah mengenai lukanya.”

“Weeee….” A Endra menjulurkan lidahnya mengejekku.

“Ya Ampun, kalian itu sudah dewasa bukan anak kecil tapi berantemnya kayak anak TK. Kalau mau balas, cubit saja lengannya yang tidak luka. Gih sana!” Ibu menyuruhku untuk mencubit lengan kakakku sambil terkikik.

Dengan segera aku beranjak dari tempat duduk lalu meletakkan bantal ke bawah kepala kakakku. Setelah membetulkan posisi bantal A Endra, aku langsung mencubit lengannya dengan keras.

“Awwww….sakit Lena!” teriak kakakku.

“Makanya jadi orang itu jangan nyebelin. Harus dirubah tuh sikap nyebelinnya. Jangan sampai ditinggal lagi sama istri.” Aku tertawa terbahak-bahak setelah memberikan ejekan dan cubitan pada A Endra.

“Kamu tuh kenapa sih bicara hal yang negatif terus tentang Aa dan Iyah. Kamu tidak suka kalau Aa dan Iyah sudah bersama lagi?” protes kakakku karena kesal dengan ejekanku.

“Bukannya tidak senang. Lena cuma mengingatkan Aa supaya jangan jadi orang yang nyebelin. Jangan sampai nyakitin lagi teh Iyah yang akhirnya malah bikin Aa menderita juga, dan menderitanya itu pake banget. Lena yang jadi saksi menderitanya Aa dulu. Makanya Lena gak mau Aa mengalami penderitaan seperti itu lagi. Saat itu, Aa mirip zombie, sadar gak sih?” Karena gemas dengan kakakku, aku kembali mencubitnya dan yang menjadi sasarannya adalah pipi.

“Awwww…!” A Endra mengaduh kesakitan karena cubitan kerasku.

“Lena tuh sayaang... sayang pakai banget sama Aa.” Aku menangkup pipi A Endra dan mengoyang-goyangkan wajahnya ke kanan dan ke kiri.

“Pusing, Lena...!” protes A Endra.

Aku kemudian memeluk A Endra dengan erat.

“Jangan sakit dan terluka seperti ini lagi A. Jangan bikin Lena khawatir terus.”

“Hm… makasih ya Len.” A Endra menepuk-nepuk bahuku.

Ibu menghampiri kami yang sedang berpelukan dengan linangan air mata.

“Ibu, kenapa nangis?” tanyaku heran.

“Ibu bahagia sekali. Ibu bahagia melihat kalian berdua rukun seperti ini. Ibu harap kalian terus rukun dan saling menyayangi seperti ini.”

Aku menarik Ibu untuk memeluk A Endra bersama-sama.

“Pemandangan yang mengharukan,” terdengar suara berat menginterupsi kami.

“Abaaah…” Aku menghambur ke pelukan abahku.

Abah mengecup puncak kepalaku.

“Apa kabar princess kesayangan Abah? Bagaimana ngajar di Bandung? Sudah betah?”

“Seneng banget, Bah. Cuma suka sedih kalau inget Abah, Ibu dan Aki.”

“Kok Aa gak disebut sih?” protes A Endra.

“Emang Aa suka inget sama Lena?” protesku.

“Ya ingatlah….”

“Paling juga tiap hari ingetnya sama teh Iyah doang.”

“Itu sih pasti,” kekeh A Endra.

“Nyebelin!” decihku.

“Gimana, Ndra? Sudah enak badannya atau masih ada sakit?” tanya Abah pada A Endra.

“Masih sedikit pusing, Bah. Luka di perut masih kerasa ngilu.”

“Alhamdulillah, kamu masih selamat, Ndra. Masih bisa bertemu sama istri dan anak-anak kamu. Kamu harus benar-benar bersyukur. Jangan sampai menyakiti lagi istri dan anak-anak kamu.”

“Iya, Bah.”

“Bu, Iyah mana? Kok belum kesini lagi sih?” tanya kakakku resah.

“Istri kamu lagi istirahat. Seminggu dia jagain kamu tanpa istirahat yang benar.”

“Tapi Endra ingin ketemu sama Iyah, Bu. Tolong telepon dia suruh kesini.”

“Ih, udah tua juga tapi masih kolokan. Malu ih sama umur,” ejekku.

“Biarin. Kolokan juga sama istri sendiri. Kalau kamu mau manja-manja juga, cari suami!”

“Memangnya cari suami kaya cari buku di toko buku. Lena mau suami yang dewasa, baik, dan gak seperti Aa yang nyebelin.”

“Yey ngatain kakak sendiri. Nanti omongan jeleknya balik ke kamu semua tuh. Dapetin suami yang lebih nyebelin dari Aa. Ha-ha-ha.”

“Amit-amit…naudzubillah…jangan sampai deh dapetin suami yang nyebelin seperti Aa. Mending Lena gak nikah deh kalau cowoknya nyebelin. Capek hati. Teh Iyah mah hebat banget bisa maafin Aa. Kalau Lena sih mungkin bakal gorok tuh kalau punya suami macem Aa.”

“Untung istri Aa bukan kamu. Hiiiiy….”

“Sudah-sudah jangan ribut. Lena juga jangan ngomong sembarangan gak akan nikah. Ibu selalu berdoa buat anak-anak Ibu supaya mendapatkan jodoh yang baik, bagus agamanya juga akhlaknya. Alhamdulillah, doa ibu buat Aa sudah terkabul. Aa sudah mendapatkan jodoh yang baik dan salehah.”

“Tuh, kamu harus bersyukur, Ndra.”

“Iya, Bah. Endra sangat bersyukur mendapatkan jodoh yang baik.”

“Aa bener-bener cowok yang beruntung dapetin teh Iyah. Sebaliknya, Teh Iyah zonk dapetin suami macem Aa.” Aku menjulurkan lidah mengejek kakakku.

Bug….

Wajahku terkena timpukan bantal untuk kedua kalinya.

“Ibuuuu...”

Aku kesal Ibu, Abah dan A Endra tertawa terbahak-bahak melihat penderitaanku.

Aku tidak mau kalah. Segera kucubit keras lengan kakakku sampai kulitnya sedikit membiru.

“Aw…” teriak kakakku.

“Makanya jangan suka main timpuk.” Aku mengembalikan bantal ke bawah kepala A Endra.

“Jangan terlalu bar-bar, Len. Kasihan nanti suami kamu kalau kamu lagi kesal dicubit sampai biru gini.” Ibuku ikut-ikutan mengejek.

“Biarin. Kalau bikin Lena kesal harus siap menerima konsekuensinya.”

“Aa doain kamu berjodoh dengan mahasiswa kamu itu. Ha-ha-ha.”

“Aa….jangan mendoakan yang jelek-jelek!” protesku.

Aku makin kesal mendengar kakakku tertawa terbahak-bahak.

***********

to be continued...

Episodes
1 1. Prolog
2 2. Namaku Alena
3 3. Pertemuan Pertama
4 4. Lelaki Bernama Atep
5 5. Menyebalkan
6 6. Heboh
7 7. Bimbingan
8 8. Emosi
9 9. Musibah
10 10. Emosi Lagi
11 11. Protes
12 12. Bersyukur
13 13. Sebuah Tawaran
14 14. Love is Blind
15 15. Membantu
16 16. Jadi Om
17 17. Promosi
18 18. Jodoh
19 19. Masih tentang Jodoh
20 20. Sakit
21 21. Mengantar
22 22. Membantu
23 23. Masih Sakit
24 24. Makan Berdua
25 25. Makan Bersama Lagi
26 26. Bermalam
27 27. Keluarga
28 28. Bertemu Lagi
29 29. Lulus
30 30. Rasa yang Hadir
31 31. Orang yang Sama
32 32. Banyak Dukungan
33 33. Undangan Makan
34 34. Cafe
35 35. Resah
36 36. Kencan?
37 37. Menyerah
38 38. Gelisah
39 39. Kakak Adik
40 40. Kumpul Keluarga
41 41. Kabar Bahagia
42 42. Berdebar
43 43. Akhirnya
44 44. Kita Jalani
45 45. Devil
46 46. Latihan
47 47. Kenal
48 48. Cerita
49 49. Pengakuan
50 50. Aaaargh...
51 51. Di Taman Kompek
52 52. Latihan Jadi Orangtua
53 53. Bermain Bersama
54 54. Bergandengan Tangan
55 55. Genggaman Tangan
56 56. Mengejar Cinta
57 57. Ungkapan Cinta
58 58. Mimpi Indah
59 59. Sweet Devil
60 60. Siap
61 61. Datang?
62 62. Perempuan Lain
63 63. Dia Cintaku
64 64. Dia Cintaku 2
65 65. Kamu Suka Aku?
66 66. Suka Atau Tidak Suka?
67 67. Satu Bulan
68 68. Yakin
69 69. Cinta Pandangan Pertama
70 70. Alena dan Sadiyah
71 71. Kejutan
72 72. Ciuman Pertama?
73 73. Lemparan Vas
74 74. Kembar
75 75. Hilang
76 76. Diculik?
77 77. Melapor
78 78. Mengurus Bayi
79 79. Keyakinan
80 80. Menunda
81 81. Berdamai dengan Kesedihan
82 82. Membantu
83 83. Berdebat
Episodes

Updated 83 Episodes

1
1. Prolog
2
2. Namaku Alena
3
3. Pertemuan Pertama
4
4. Lelaki Bernama Atep
5
5. Menyebalkan
6
6. Heboh
7
7. Bimbingan
8
8. Emosi
9
9. Musibah
10
10. Emosi Lagi
11
11. Protes
12
12. Bersyukur
13
13. Sebuah Tawaran
14
14. Love is Blind
15
15. Membantu
16
16. Jadi Om
17
17. Promosi
18
18. Jodoh
19
19. Masih tentang Jodoh
20
20. Sakit
21
21. Mengantar
22
22. Membantu
23
23. Masih Sakit
24
24. Makan Berdua
25
25. Makan Bersama Lagi
26
26. Bermalam
27
27. Keluarga
28
28. Bertemu Lagi
29
29. Lulus
30
30. Rasa yang Hadir
31
31. Orang yang Sama
32
32. Banyak Dukungan
33
33. Undangan Makan
34
34. Cafe
35
35. Resah
36
36. Kencan?
37
37. Menyerah
38
38. Gelisah
39
39. Kakak Adik
40
40. Kumpul Keluarga
41
41. Kabar Bahagia
42
42. Berdebar
43
43. Akhirnya
44
44. Kita Jalani
45
45. Devil
46
46. Latihan
47
47. Kenal
48
48. Cerita
49
49. Pengakuan
50
50. Aaaargh...
51
51. Di Taman Kompek
52
52. Latihan Jadi Orangtua
53
53. Bermain Bersama
54
54. Bergandengan Tangan
55
55. Genggaman Tangan
56
56. Mengejar Cinta
57
57. Ungkapan Cinta
58
58. Mimpi Indah
59
59. Sweet Devil
60
60. Siap
61
61. Datang?
62
62. Perempuan Lain
63
63. Dia Cintaku
64
64. Dia Cintaku 2
65
65. Kamu Suka Aku?
66
66. Suka Atau Tidak Suka?
67
67. Satu Bulan
68
68. Yakin
69
69. Cinta Pandangan Pertama
70
70. Alena dan Sadiyah
71
71. Kejutan
72
72. Ciuman Pertama?
73
73. Lemparan Vas
74
74. Kembar
75
75. Hilang
76
76. Diculik?
77
77. Melapor
78
78. Mengurus Bayi
79
79. Keyakinan
80
80. Menunda
81
81. Berdamai dengan Kesedihan
82
82. Membantu
83
83. Berdebat

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!