Alena POV
Sudah satu minggu berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan si gondrong nyebelin itu. Pagi ini mungkin pagi tersialku sepanjang minggu ini karena manusia pertama yang kulihat ketika menjejakkan kaki di kampus adalah dia, si gondrong nyebelin. Aku melihat dia sedang duduk berdua dengan seorang perempuan cantik di kursi taman kampus. Perempuan itu mungkin teman kuliahnya. Sebenarnya aku tidak peduli dengan siapa dia bergaul, toh bukan urusanku juga. Tapi entah mengapa setiap melihat wajahnya, emosiku langsung meninggi.
Kulihat dia juga melihat ke arahku, tapi hanya sekilas, setelah itu dia langsung fokus lagi ke lawan bicaranya. Kulihat dia kembali berbicara pada teman perempuannya itu diselingi tawanya yang terbahak-bahak membuat emosiku semakin meningkat.
Segera kulangkahkan kakiku menuju gedung tempat ruanganku berada. Hari ini ada tiga kelas yang harus kuajar. Aku harus mempersiapkan materi untuk 3 tingkatan yang berbeda. Semalam aku hanya sempat menyiapkan satu materi yang akan aku ajarkan di tingkat 3, sedangkan dua materi yang lain belum sempat aku siapkan karena baru sore kemarin aku kembali dari rumah keluargaku setelah menemui keponakan kembar kesayanganku. Beruntung, dua materi yang belum sempat kusiapkan dijadwalkan nanti siang sehingga pagi ini aku masih sempat untuk menyusunnya walaupun tidak akan terlalu optimal.
Suasana hatiku sedikit terganggu setelah melihat wajah si gondrong nyebelin itu. Semakin hari, aku makin tidak menyukainya. Aku benar-benar heran kenapa aku membenci si gondrong nyebelin itu hingga mempengaruhi suasana hatiku.
*********
Haaaaah… akhirnya tugas mengajarku di hari ini berakhir juga dengan cukup sukses. Yah, walaupun materi pelajaran kusiapkan dengan tergesa dan seadanya tapi tidak terlalu berakibat buruk pada performa mengajarku. Mahasiswa-mahasiswaku terlihat enjoy menerima materi yang kuberikan. Mereka juga sangat aktif saat di kelas. Keaktifan dan antusiasme mahasiswa di dalam kelas bisa menjadi salah satu tanda jika metode mengajarku memang menarik dan bisa diterima oleh mereka.
Setelah menunaikan kewajiban salat asar, aku merapihkan bentuk jilbabku dan memoleskan sedikit bedak dan lipgloss berwarna pink agar wajahku tidak terlihat kusam. Aku seorang dosen, tentu saja aku harus memperhatikan penampilanku karena sebagai seorang pengajar yang bertemu dengan banyak orang, penampilan harus menarik agar orang tidak merendahkan atau memandang sebelah mata kepada kita.
Ketika aku berjalan menuju tempat parkiran, aku melihat si gondrong nyebelin itu lagi. Kali ini dia sedang bercengkrama dengan perempuan yang berbeda.
“Cih…dasar playboy.” aku mendumel karena kesal.
Melihatnya dengan perempuan yang berbeda dalam satu hari membuatku semakin tidak menyukainya. Ini bukanlah perasaan cemburu karena tidak ada rasa cinta sedikitpun untuk si gondrong nyebelin itu. Jangankan rasa cinta, rasa suka saja tidak ada, malah rasa tidak suka atau benci yang semakin membesar.
Aku sangat menyadari bahwa aku tidak boleh membenci orang apalagi orang itu tidak pernah sekalipun menyakitiku. Jangankan menyakiti, kenal dekat saja tidak. Aku baru bertemu dengan si gondrong nyebelin itu satu kali, eh dua kali dengan pagi tadi dan tiga kali sore ini. Aku tidak memahami hatiku. Kenapa aku bisa membenci dia? Aku segera beristigfar karena tidak ingin memupuk rasa benci yang terus bertumbuh dengan subur dalam hatiku.
Aku menatap wajahnya dengan kobaran kebencian yang terpancar dari mata. Ketika dia menatap ke arahku, aku segera melengoskan wajah dan segera pergi menuju tempat parkir.
Setelah berada dalam mobil, aku segera menenangkan detak jantung yang berdebar-debar dengan keras. Aku juga tidak menyangka jika ketidaksukaanku melihat wajahnya bisa berakibat pada debaran detak jantung yang tidak normal. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Aku mengulangi kegiatan menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan beberapa kali hingga debaran jantungku kembali normal.
Aku mulai menstater mobil. Percobaan pertama gagal, aku coba sekali lagi dan masih saja mesinnya belum bisa menyala. Aku coba berkali-kali tapi nahas mesin mobilku masih belum mau menyala. Aku mencoba membuka kap mobil. Walaupun aku buta tentang mesin mobil sama sekali tapi aku penasaran dan ingin mengetahui masalah di mesin mobil yang terbilang masih cukup baru ini.
Aku keluar dari mobil dan melihat mesin mobilnya. Sudah kuduga, aku memang benar-benar buta tentang mesin mobil. Aku hanya menatap nanar ke dalam bagian depan mobil. Tidak tahu harus melakukan apa.
“Kenapa mobilnya?”
Suara berat khas laki-laki menyentuh gendang telingaku. Aku menghidu wangi maskulin yang menguar dari tubuhnya. Seketika detak jantungku seperti bersalto ria. Aku menoleh ke sebelah kanan di mana aku merasa bibirnya sangat dekat dengan telingaku.
Deg
“Si gondrong nyebelin!” pekikku dalam hati.
Aku memundurkan tubuh agar bisa menjauh dari tubuhnya yang sedang melihat-lihat mesin mobilku.
“Kenapa mobilnya?” tanyanya lagi karena memang aku belum memberikan jawaban atas pertanyaannya.
“Saya juga tidak tahu. Pas distater gak mau nyala.” jawabku ragu-ragu.
“Mau saya bantu?” tanya si gondrong nyebelin itu.
“Eh…” Aku terkesiap mendengar tawarannya.
“Mau tidak?” Si gondrong nyebelin itu bertanya lagi dengan nada ketusnya karena lagi-lagi aku mengabaikan tawarannya.
Aku tidak bermaksud mengabaikan tawarannya. Aku hanya terkejut saja mendengar bantuan yang dia tawarkan.
“Eh… m - mau.” Aku tergagap menanggapi tawarannya.
Kemudian si gondrong nyebelin itu masuk ke dalam mobil dan mencoba untuk menstater. Hasilnya masih sama seperti yang sejak tadi aku coba.
Tidak lama kemudian, dia keluar dari mobil dan membanting pintunya dengan sedikit kasar.
“Dasar ceroboh!” dengusnya pelan yang masih bisa terdengar oleh telingaku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Makanya kalau punya mobil itu jangan ceroboh. Cek dulu sebelum mengendarainya.” Dia menatap ke arahku dengan tatapan tajamnya.
“Memangnya kenapa?” tanyaku sengit karena aku tidak terima dia membanting pintu mobil dan berkata ketus kepadaku.
“Bensinnya habis.”
“Astagfirullah…aku lupa untuk mengisi bensinnya. Kemarin aku kan ke luar kota dan lupa untuk mengeceknya.”
“Dasar perempuan!”
“Apa maksud kamu?” tanyaku marah karena dia membawa-bawa masalah gender dalam hal ini.
Dia membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan meninggalkanku.
“Hei, kamu mau kemana?” teriakku.
“Pulang!” jawabnya sambil tetap berjalan.
“Menolong kok setengah-setengah?” seruku memprotes sikapnya yang cuek.
Si gondrong nyebelin itu tidak mengindahkan protesku dan tetap berjalan semakin jauh.
“Dasar cowok gondrong nyebelin.” Aku menghentak-hentakkan kakiku dengan kesal.
Area parkir mobil ini sudah sepi. Hanya tinggal beberapa mobil saja yang masih ada. Maklum saja ini area parkir khusus dosen sehingga tidak banyak mahasiswa yang melewati area ini.
Masih dengan hati yang dongkol, aku memesan ojek online dan memutuskan untuk meninggalkan mobilku di tempat parkir.
**********
to be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments