Sang suami yang mendengar ucapan dari Halimah merasa bimbang. Jujur dia juga tidak ingin mengakhiri pernikahannya dengan Halimah. Namun Halimah sepertinya tidak bisa menerima kehadiran Mayang dan juga anaknya. Dilema batin itu membuat kondisi kesehatan sang konglomerat menurun dan harus di rawat di rumah sakit. Sementara di rumah sakit sendiri, Halimah bahkan anak-anaknya tidak ada sama sekali menjenguk bahkan merawatnya.
Gugatan Cerai Halimah Kepada Suaminya. Hadirnya Orang Ketiga Telah Membuat Rumah Tangga Keduanya Hancur. dan masih banyak lagi judul-judul berita media massa yang beredar setelah pengajuan gugatan perceraian Halimah kepada suami konglomerat nya.
Sang biduan sendiri yang mendengar berita itu hanya tertunduk lesu. Dasar Pelakor jahanam. Pelakor Abadi. Pelakor pemburu harta sang konglomerat. Suatu saat karma yang akan membalas kejahatan dari mengambil pria yang sudah memiliki istri. Dan masih banyak lagi sebutan-sebutan. Hujatan-hujatan yang dilayangkan netizen di wall beranda aplikasi jejaring media sosialnya. Andaikan kalian tahu yang sesungguhnya...Andaikan aku bisa bicara kepada semua...tapi ya sudahlah. Aku akan tidak ada benarnya dimata mereka yang tidak mengenalku. Sudahlah. gumam sang biduan yang kemudian menutup semua jejaring media sosialnya. Sang biduan kemudian memilih menutup diri dari lingkungan sosial maupun lingkungan lingkaran pertemanannya. Dering ponsel sebenarnya hampir setiap hari berbunyi. Banyak sekali teman-temannya yang masih perduli memberikan semangat untuk masalah yang dihadapinya. Atau bahkan hanya sekedar basa-basi sok peduli yang sebenarnya tertawa melihat berita miring tentangnya.
Sang biduan hanya menangis dalam hati. Dia tidak ingin menyalahkan dirinya sendiri maupun suaminya yang telah menikahinya diam-diam selama 7 tahun ini. Menganggap ini semua adalah suratan takdir untuknya dan tidak perlu menyalahkan siapapun terlebih ini menyangkut soal perasaan atau cinta keduanya.
" Sudah puas kan kamu, Pelakor?" Gendis yang marah dengan meremas semua jari-jemarinya. Mengepal penuh amarah dengan menatap kaca jendela, membayangkan wajah sang biduan yang tertawa seolah puas atas kekacauan yang sudah dia perbuat terhadap keluarganya. " Puas kamu Pelakor? Lihat! Lihat! ini semua ulah kamu?" Gendis yang menangis tersungkur di lantai. Meratapi nasib ibunya yang hancur, ayahnya yang kini terbaring di rumah sakit. Dan masih banyak lagi kekacauan yang sudah di lancarkan oleh sang biduan hingga menghancurkan rumah tangga ibu dan ayahnya. Gendis seperti masih tidak rela, jika ibunya pada akhirnya harus memilih menyerah untuk mempertahankan rumah tangga. Gendis masih berharap jika ayahnya akan meninggalkan Pelakor itu dan memperbaiki semuanya. Tentu dengan begitu. Ibu, Panji dan juga dirinya akan memaafkan ayahnya kembali. Keluarga mereka akan utuh kembali seperti sedia kala, biarpun ayahnya pernah melakukan kesalahan besar karena telah melukai perasaan istri dan anak-anaknya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ibunya tetap pada pendiriannya untuk mengakhiri rumah tangganya di meja hijau. Sedangkan ayahnya juga bersikukuh tidak ingin menceraikan keduanya.
" Huft..." Panji yang merasa tidak nyaman berada di rumah.
" Bu, aku mau bicara sama ibu." Halimah yang berdiri dengan tangan kanan yang memegang gagang pintu.
" Masuklah Ndis! duduk sini!" Tangan Halimah yang menepuk kasur empuk disebelahnya untuk Gendis duduk di sebelahnya. Duduk di pinggir ranjang, menatap kaca jendela kamar.
Gendis berjalan menuju ibunya dan duduk dengan rasa yang bercampur aduk dibenaknya. Antara harus ikut campur mengingat dia sudah dewasa. " Hah..." Helaan nafas panjang Gendis. " Apa ibu sudah memikirkan keputusan ibu? Apa tidak ada cara lain Bu? selain mengajukan gugatan cerai itu. Kita belum usaha untuk menemui biduan itu. Bagaimana kalau kita coba menemui biduan itu? Menyuruhnya untuk melepaskan dan meninggalkan ayah. Ayolah Bu! kita belum usaha yang itu."
" Percuma Ndis. Ayah kamu saja tidak pulang ke rumah dan lebih memilih tinggal bersama wanita itu. Mereka juga sudah memiliki seorang anak. Pasti ayah kamu juga sangat mencintai istri mudanya berikut anaknya. Jadi menurut ibu percuma. Hanya ayah kamu yang bisa memutuskan, bukan wanita itu!"
" Siapa tahu Bu? masih ada jalan untuk menyelamatkan rumah tangga ibu dan ayah."
" Sudahlah Ndis. Ibu juga sudah sangat matang mempertimbangkan segalanya. Ibu tidak ingin terus-terusan memikirkan masalah ini. Ibu juga menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Ibu sudah mengikhlaskan segalanya."
" Tapi Bu..."
" Sudah Ndis, ibu ingin pergi keluar sebentar. Ke rumah budhe kamu dan membicarakan masalah terkait perceraian ini. Ini semua ibu lakukan untuk kamu dan juga Panji adik kamu. Jadi ibu harap, hargai keputusan ibu untuk kebaikan bersama. Kalau kamu belum ikhlas. Sama. Ibu juga tidak mudah mengikhlaskan segalanya secepat ini. Namun, jika masalah ini terlalu berlarut-larut, malah akan semakin menimbulkan masalah yang lebih besar. Belum lagi kesehatan ibu yang pasti akan menurun jika terus memikirkannya tiada henti. Dan ibu tidak mau itu. Hidup ibu terlalu berharga jika hanya untuk menangisi masalah yang ujungnya akan membuat sakit badan dan pikiran kita sendiri."
Gendis seperti melihat ibu yang tidak lemah lagi. Ibu sepertinya memang benar-benar mengikhlaskan semuanya. Karena jika tidak, ibu tidak akan sekuat ini. Ibu tidak mampu bicara seperti ini. " Baiklah Bu." Gendis yang masih tidak sanggup menerima kenyataan semua ini. Gendis berlari keluar dari kamar tidur ibunya dengan menahan air mata.
" Kak..." Panji berusaha menahannya namun kakaknya masuk ke dalam kamarnya sambil menangis.
" Bu, ibu mau kemana?"
" Ke rumah budhe kamu."
" Kakak kenapa? berlari menangis setelah keluar dari kamar ibu."
"Tanya sendiri sama kakakmu!"
" Bu? Apa benar berita yang sedang beredar?"
" Menurut kamu?"
" Aku tidak tahu, makanya Panji tanya ibu?"
" Iya benar."
Panji yang berdiri, terdiam. Wajahnya tertunduk lesu, setelah mendengar perkataan dari ibunya. " Apa ibu benar-benar sudah pikirkan."
" Persis seperti pertanyaan kakak kamu. Dan jawaban yang sama pula, iya...ibu benar-benar sudah memikirkannya masak-masak."
" Ya sudah kalau begitu Bu, aku akan dukung apapun yang menjadi keputusan ibu."
" Makasih anak jagoan ibu. ibu pergi dulu ya.". Halimah yang mengelus pipi anak laki-laki yang seperti baru kemarin masih ada di gendongannya, sekarang dia menatap anak lelakinya yang tampan. Berharap suatu saat tidak melukai hati wanitanya yang membuat hancur rumah tangganya sendiri.
Halimah menuruni anak tangga dan menuju mobil yang sudah menunggu untuk membawanya ke rumah kakaknya.
Sesampainya di rumah kakak perempuannya.
" Kapan sidangnya akan digelar?"
" Kalau sidangnya masih lama mbak yu, masih menunggu mediasi pertama dulu."
" Kapan itu?"
" Sekitar 1 Minggu lagi. Itu pun kalau, tidak ada halangan."
" Apa suami mu sudah sembuh?"
" Aku tidak tahu, aku dan anak-anak tidak menjenguk ke sana?"
" Kalau dia tidak datang di mediasi pertama bagaimana?"
" Pengadilan akan menundanya mbak yu. Jadi prosesnya akan memakan waktu lama."
" Hah..." Kakak Halimah menghela nafas panjang. " Sejujurnya aku tidak ingin melihat keluargamu berantakan. Tapi apa daya, kamu yang berhak menentukan nasib rumah tanggamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments