Bab 18

" Apa selanjutnya rencana kita kak?"

" Aku juga tidak tahu dik."

Sebaiknya kita pulang menemui ibu.

Halimah yang sudah pulang dari rumah sakit. Mengemasi barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam koper. " Kebetulan kalian sudah datang. Bantu ibu memasukkan koper-koper ini ke mobil."

" Apa ibu sudah siap kembali ke Jakarta?"

" Hah...." Halimah yang menghela nafas panjang. " Mau bagaimana lagi?"

" Apa tidak sebaiknya kita berada disini dulu bu? Sampai berita tentang ayah dan wanita itu mereda."

" Tidak Ndis, Ibu ingin pulang sekarang."

" Apakah ibu sudah benar-benar sehat dan kuat?" Panji yang meragukan kondisi kesehatan ibunya.

Halimah hanya duduk dan menganggukkan kepala diikuti dengan kedipan matanya.

Ketiganya akhirnya kembali ke Jakarta. Halimah yang kembali dan masuk ke kamarnya. Memandangi sembari mengingat foto-foto pernikahan yang telah usang dalam album foto. Setiap momen dalam album foto itu tidak sekalipun dia lewatkan. Dari prosesi suaminya yang melamarnya hingga acara pernikahan mereka puluhan tahun lalu. Masih terlihat jelas senyum mengembang antara keduanya saat Gendis masih berada dalam perutnya hingga lahir di dunia dan mengadakan rangkaian acara dari 7 bulanan dan seterusnya. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan, melihat setiap momen yang tersimpan jelas di depan mata. Tanpa terasa kenangan demi kenangan dalam album foto membuat bulir-bulir bening jatuh dari kedua bola mata. Jemarinya seperti tidak sanggup, jika harus membuka setiap lembaran-lembaran kebahagiaan mereka dua puluh tahun silam yang tersimpan dalam album foto.

Terlihat Kebahagiaan hadir kembali di tengah-tengah keluarga mereka. Dengan hadirnya Panji anak kedua mereka yang melengkapi rumah tangga mereka. Foto Panji yang sangat menggemaskan, tanpa terasa sudah menjadi sosok laki-laki dewasa yang tampan. Halimah tiada henti bersedih menangisi semua momen berharga 20 tahun silam ketika suaminya belum bertemu wanita lain. Wanita yang sudah tahu pasti, jika suaminya memiliki keluarga, namun dengan tega dia menghancurkan kebahagiaan keluarga kami. Merasa sangat hancur dan terpukul atas peristiwa ini. Ditambah dengan suaminya yang masih menjalin dengan wanitanya itu. Membuat Halimah seperti patah arang untuk mempertahankan rumah tangganya kembali.

Satu bulan, dua bulan sampai tiga bulan semenjak kemunculan berita itu. Halimah yang tidak mendapati suaminya pulang ke rumah dengan etikat baik. Suaminya yang tidak berusaha mempertahankan rumah tangga bersama dengannya. Sementara dirinya juga tidak menginginkan apabila suaminya memiliki istri lain selain dirinya. Sekuat tenaga yang dia kumpulkan. Halimah mempersiapkan semua berkas yang dibutuhkan untuk mengurus perceraian.

" Ibu mau kemana?" Tanya Gendis yang melihat ibunya membawa map berwarna merah berjalan keluar dari pintu utama.

" Ibu ada urusan sebentar Ndis." Halimah yang bergegas naik mobil berikut dengan sopir yang sudah terparkir di halaman depan rumah.

Sesampainya di Pengadilan Agama. Tangan dan kaki Halimah bergetar memasuki Kantor Pengadilan Agama. Berjalan dengan ragu, namun pasti adanya menapaki tangga menuju tempat penyerahan berkas pengajuan perceraian.

Salah petugas yang tidak asing dengan wajah maupun nama berkas yang tertulis dalam Surat Nikah maupun Kartu Keluarga. Siapa yang tidak mengenalnya? Nama besar mertua dan juga setiap anggota keluarga mertuanya ikut tersorot dengan adanya Berita yang muncul kembali di media massa. Berita pengajuan gugatan cerai yang dia layangkan untuk suaminya.

Halimah yang menyerahkan berkas pengajuan gugatan cerai kepada petugas yang ada di Kantor Pengadilan Agama. Mata berkaca-kaca tidak bisa dia tutupi begitu saja. Tangan dan kaki yang bergetar meskipun sudah coba dia kuat kan untuk berjalan sejauh ini dan tempat yang menjadi pelabuhan terakhir setiap masalah yang hadir di rumah tangganya akhir-akhir ini tidak lain tidak bukan adalah Kantor Pengadilan Agama. Sesak rasanya dada Halimah. Nestapa yang harus dia rasakan ketika 20 tahun hidup bersama dengan sang suami harus berakhir di meja hijau. Pernikahannya karam. Sungguh tidak akan pernah terselamatkan.

Halimah kemudian kembali masuk ke dalam mobil. Hatinya menangis sakit bagai teriris-iris. Hanya air mata berlinang tanpa suara yang menetes setiap saat tanpa terduga. " Jalan pak!" Harus terlihat kuat meskipun sebenarnya dia rapuh dan seperti ingin mengakhiri hidup. Tapi jika melihat anak-anak. Rasanya sayang, jika hidup harus dikorbankan hanya untuk segelintir orang yang haus akan keegoisan. Halimah mencoba tegar dengan garis takdir Tuhan yang membuatnya berjalan harus seperti ini. Keputusan bercerai adalah keputusan terbaik yang harus dia ambil mengingat dia juga ingin menata masa depannya kembali dengan hidup tenang bersama kedua anak-anaknya.

Halimah yang bersandar melamun di dalam mobil. Hingga tidak sadar bahwa mobil sudah sampai di halaman rumah.

" Sudah sampai Nya."

" Oh." Halimah yang terkejut dan segera mengambil tas yang berada di samping tempat dia duduk dan keluar dari mobil.

" Kasihan Nyonya." Gumam lirih supir pribadinya.

" Ibu sudah kembali."

Halimah yang menatap senyum putrinya.

" Ibu darimana saja Bu?"

" Ibu ada urusan sebentar anak manis?" Halimah dengan senyumnya menepuk pipi kanan anak perempuannya. Halimah tetap berjalan menuju kamarnya.

Gendis yang merasa heran dengan keadaan ibunya yang terlihat lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Keesokan harinya. Lama tidak pulang ke rumah akhirnya sang konglomerat pulang ke rumah Halimah. Kehadirannya bahkan sudah asing di rumahnya sendiri.

" Apa maksud kamu mengirim surat ini?" Nada marah Sang konglomerat kepada Halimah.

Halimah masih tak bergeming.

Gendis yang mengintip pembicaraan ayah dan ibunya dari balik pintu yang sepenuhnya tidak menutup rapat.

" Apa kamu tidak dengar?" Teriak sang konglomerat. " Apa ini mau kamu?" suara keras dengan nada marah Sang konglomerat semakin bertambah.

Halimah masih tak bergeming. Dia tetap berdiri dengan tangan bersedekap menatap suasana halaman dari kaca jendela kamarnya.

Suaminya menarik lengannya. " Jawab!" teriak lebih keras Sang konglomerat.

Halimah yang tak kuasa meneteskan bulir-bulir bening dari pelupuk matanya. Entah yang kesekian ribu kalinya, bulir-bulir bening sekedar menetes dan membasahi pipinya. " Bukan kah ini yang kamu harapkan?" Jawaban elegan dari seorang wanita yang tengah tersakiti oleh hubungan gelap suaminya. Berani menikah diam-diam selama 7 tahun bahkan memiliki seorang anak. " Apa lagi yang kamu harapkan dari pernikahan kita?"

Sang suami yang melepaskan lengan Halimah dengan tertunduk lesu.

" Kamu bahkan tidak pulang berbulan-bulan, dan lebih memikirkan perasaan istri muda kamu ketimbang hancurnya hatiku dan anak-anak. Apa itu adil?"

Sang suami yang masih berdiri terpaku tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya.

" Saya rasa ini jalan terbaik untuk pernikahan kita. Kamu tidak rela meninggalkan dia. Sementara aku dan anak-anak, juga tidak sanggup menerima dia menjadi bagian dari keluarga kita. Dan kamu! Harusnya kamu sudah pertimbangkan sejak awal, sebelum menikahinya secara diam-diam." Halimah lantas meninggalkan suaminya yang masih berdiri mematung di dalam kamar. Halimah membuka pintu dan melihat Gendis yang menguping pembicaraannya.

" Ibu." Gendis yang mengucapkan kata ibu tanpa bersuara. Menatap dalam ibunya yang mencoba tangguh demi kehormatan dirinya dan juga keluarga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!