Destiny Of Life

Destiny Of Life

Bab. 1

Langit yang begitu gelap dan berhiaskan taburan bintang berkelap-kelip, membentuk sebuah gugus bintang yang indah.

Di sebuah rumah besar bercahayakan lampu remang-remang, karena lampu utama yang sengaja dimatikan. Duduk termangu seorang diri wanita cantik mengenakan gaun indah. Ia memandangi sebuah kue ultah yang cukup besar di depannya. Kue itu dipenuhi lilin berwarna-warni yang melingkari sekeliling sisinya.

Di samping kue itu ada sebuah kotak kecil yang sudah wanita itu persiapkan sebagai kejutan. Wanita cantik itu berharap suaminya nanti akan menangis haru setelah melihat isi dari kado tersebut.

Tatapan matanya kian kosong memandang pijar lilin yang bergoyang-goyang seirama hembusan nafasnya. Ia mulai bosan menantikan pendamping hidupnya yang tak kunjung datang. Entah lupa ... atau memang pura-pura lupa.

Hari ini tepat satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan yang begitu didamba-damba olehnya akan menjadi pernikahan sekali seumur hidup. Banyak harapan yang Diandra sematkan dalam pernikahannya.

Sebuah hubungan yang hangat, dimana suami selalu mengecup sayang istrinya sebelum pergi bekerja atau ungkapan mesra serta momen-momen romantis yang bisa mereka nikmati bersama untuk membuat hatinya berdesir dengan getaran cinta.

"Hari sudah larut, Nya. Apa sebaiknya Nyonya menunggu Tuan pulang di kamar saja? Nanti Nyonya bisa sakit kalau menunggu di sini!" tegur pelayan yang memandang Diandra dengan empati.

Pelayan berumur 30 tahun itu baru bekerja selama delapan bulan di rumah tersebut. Ia dibawa Romi untuk menggantikan pelayan yang sudah lama melayani Diandra. Romi tak suka dengan pelayan lama Diandra yang terkesan terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga mereka.

Pelayan tua itu kerap protes dan berkomentar atas apa yang ia lakukan terhadap Diandra, dengan alasan menyayangi Diandra layaknya anak kandung sendiri.

Diandra yang sudah terlalu percaya dan pasrah hanya bisa menuruti apa yang dikatakan suaminya.

Cinta membuat seseorang menjadi sangat bodoh. Dengan alasan takut kehilangan orang yang dicintai, membuat seseorang sampai rela melakukan apa pun untuk orang tersebut. Walau sebenarnya pikiran ingin menolak, namun hati menahan.

Diandra selalu diam, tetapi jiwanya tersakiti dengan segala tindakan Romi yang sesuka hati. Namun saat kata 'aku mencintamu' meluncur dengan indah dari mulut suaminya saat merayu, menjadi obat penawar hatinya yang mulai rapuh.

Bodoh bukan?

Begitulah yang Diandra rasakan saat ini. Ia sadar akan kebodohannya, namun ia tak mampu untuk bertindak.

"Saya masih betah di sini, Isa. Jika kamu lelah, kamu masuk saja duluan!" sahut Diandra tanpa mengubah posisinya. Nafas yang berhembus pelan dari mulutnya membuat api pada lilin itu padam.

Isa menghela napas pelan. "Baik, Nya. Jika Nyonya perlu sesuatu, Nyonya bisa panggil saya."

"Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Diandra untuk menanggapi ucapan pelayannya.

Isa pun beranjak ke kamarnya, ia tak tega meninggalkan majikannya seorang diri. Tetapi ia juga tak sanggup harus berdiri tanpa istirahat sepanjang malam. Besok masih banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus ia kerjakan.

Lama Diandra termangu menatap kekosongan, kini ia menegakkan kepalanya kembali. Menatap tajam pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sesibuk itukah kamu bekerja, Mas? Hingga tak bisa menyisihkan satu hari saja untukku!" gumam gadis cantik berambut panjang bergelombang dengan nada kecewa. Gaun terbuka yang ia kenakan, memamerkan kedua sisi bahunya yang putih dan mulus.

Diandra bagai bunga layu yang teronggok disudut ruangan. Tak terjamah. Kering tanpa dirawat dan disirami.

Cahaya rembulan yang terpancar dari balik tirai menemani sunyinya hati Diandra saat ini. Kilau pancarannya yang begitu indah tak cukup mengobati rasa sedihnya. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.

Hari istimewa yang begitu ia tunggu-tunggu. Demi menyiapkan semua itu, Diandra sudah sibuk sejak pagi untuk menyiapkan semuanya, di antara rasa pusing dan mual yang sesekali mendera. Hanya untuk memasak makanan kesukaan sang suami yang pada akhirnya hanya akan berakhir di tong sampah saja.

Tangannya terulur mengambil telpon genggam yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Jemari lentiknya menekan kombinasi angka di layar benda pipih tersebut dengan lincah. Beberapa kali panggilan telponnya masuk. Tapi tak satu pun yang mendapat jawaban, membuat wanita cantik itu berdecak dengan rasa kesal yang mulai menggelayuti hati.

Hingga panggilan yang entah sudah ke berapa kali. Suaminya itu justru mematikan ponselnya begitu saja sehingga Diandra tak dapat lagi menelponnya.

"Mungkin baterai ponselnya habis. Atau mungkin Mas Romi berada di tempat yang tak ada sinyalnya," lirih Diandra mencoba menghibur hati. Kalimat penenang yang selama ini ia lontarkan pada dirinya sendiri.

Bulir bening yang sedari tadi berkumpul di sudut mata kini mulai meluncur indah tanpa hambatan. Sedih hatinya tak terbendung lagi. Ia mengusap perutnya yang rata dengan perasaan yang bercampur aduk. Malam yang ia khayalkan akan indah, justru berakhir begitu saja dengan derai air mata.

"Sabar ya, Nak. Mungkin hari ini Mama belum bisa memberitahukan keberadaanmu pada Papa. Tapi Mama yakin, papamu pasti akan sangat bahagia mendengar keberadaanmu di rahim Mama. Baik-baik di dalam sana Sayang. Tumbuh sehat dan jadilah alasan agar Mama bisa kuat menjalani hidup ini," lirihnya. Binar matanya begitu sendu.

Diandra menikah dengan Romi satu tahun yang lalu. Lelaki yang begitu ia sayang, ia cintai dan ia percaya sepenuh hati. Diandra memilih Romi sebagai pendamping hidupnya dengan harapan lelaki itu akan menjadi pohon rindang tempat ia berteduh dan bersandar. Namun kenyataannya, lelaki itu justru menjadi pisau tajam yang menyayat-nyayat hati hingga berdarah dan terluka cukup dalam.

Hati adalah bagian tubuh yang sangat sensitif. Ia sangat halus bagai sutra dan rapuh bagai dahan yang kering saat hujan tak turun membasahi.

Sabar dan menunggu adalah dua kalimat yang menjadi teman setia dalam hidup Diandra selama satu tahun terakhir ini. Tapi sampai kapan ia harus sabar? Sampai kapan ia harus menunggu?

Berat?

Tentu saja semuanya kini terasa berat, tak banyak kata yang dapat mendeskripsikan rasa sakit yang ia rasa. Diandra yakin, tak ada satu pun wanita yang ingin berada di posisinya saat ini. Ia seperti janda namun bersuami yang selalu menghabiskan hari-hari dalam kesepian.

Diandra bahkan tak mengerti apa arti dari rumah tangga yang tengah ia jalani saat ini. Terlebih hanya dirinya saja yang berjuang sendiri di dalam hubungan ini. Setiap ia ingin bertahan. Selalu saja ada di sudut hatinya yang terdalam, berbisik menyuruhnya untuk pergi. Pergi dari peran wanita bodoh yang menunggu sesuatu yang tak pasti. Salahkah jika ia terus berharap cinta suaminya? Cinta yang tak pernah ia tahu sejak kapan berpaling.

Terpopuler

Comments

Nur fadillah

Nur fadillah

Sedih ceritanya....😥😥

2023-09-29

0

Tamiang

Tamiang

saya ikut disini kok Popy

2023-07-16

0

Ayoung Lely

Ayoung Lely

masih nyimak

2022-10-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!