Bab. 5

"Mas! Kenapa kamu diam saja. Ayo!" suara Lisa menyadarkan Romi dalam keterpakuannya yang sesaat.

Untuk sesaat ia memang merasa iba pada Diandra yang tak berdaya. Namun, nafsu dan keserakahan lebih dominan menguasai hati dan pikirannya.

Diandra melirik kepergian Romi yang berjalan ke belakang mobil. Dia ingin berteriak dan meminta tolong, tapi suaranya seakan tergantung di tenggorokan. Air mata kini kian menetes.

Romi dan Lisa sudah berdiri di belakang mobil, mereka sudah bersiap-siap untuk mendorong mobil itu. Tak butuh tenaga ekstra, hanya dengan sebuah dorongan pelan, mobil itu kini mulai bergerak dan melaju masuk ke dalam jurang.

Byuuurrr!

Lisa tertawa bahagia melihat air laut beriak disertai ombak yang menggulung mobil yang jatuh itu. Diandra yang berada di dalam mobil itu pun mulai ikut tenggelam. Ia pasrah, tak ada yang dapat ia lakukan saat ini. Tubuhnya bahkan tak mampu hanya untuk menggerakkan satu jari, lalu bagaimana ia bisa selamat dari marabahaya ini?

Jatuh cinta membuat seseorang bodoh dalam menilai. Lelaki yang Diandra harapkan menjadi pelindung serta tempat ia bersandar setelah kepergian kedua orang tuanya. Justru menjadi alasan ia menjemput ajalnya dengan cepat. Dengan cara menyedihkan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dinginnya air laut seakan menyayat kulit, air mata yang mengalir menjadi satu dengan air. Tak dapat dibedakan. Gelembung udara keluar dari dalam mulutnya, menandakan masih adanya nafas di tubuh wanita itu. Namun kecil gelembung yang keluar, semakin sedikit pasokan oksigen mengalir di otaknya.

Untuk beberapa saat, hingga pasokan udara tak ada lagi di tubuhnya. Tubuh Diandra kaku, tenggelam seiring laju mobil yang semakin jauh jatuh ke dasar air. Semuanya gelap dan dingin.

Bukan hanya tubuhnya saja kini yang membeku, tapi hatinya pun ikut membeku. Di ujung ajalnya, Diandra terkenang kembali adegan yang ia lihat beberapa waktu lalu. Bagaimana suaminya begitu bergelora mencumbu mesra dengan wanita yang ia anggap sebagai sahabat yang ternyata seekor rubah licik.

Penyesalan selalu datang terlambat. Seperti Diandra yang menyesal karena baru menyadari semua kebusukan suami dan sahabatnya di detik dimana ia tak dapat lagi bertindak. Bahkan untuk sekedar menyelamatkan nyawanya dari jurang kematian.

^^^^^^^^^^

Sosok itu terperanjat dengan mata yang melebar sempurna. Keringat dingin membasahi pelipis dan tubuhnya. Nafasnya sesak dan tersengal-sengal, seakan ada penumpukan air di kantong paru-parunya.

"Di ... Diandra? Bangun, Nak!" ujar seseorang terdengar panik.

"Nona Diandra?" seorang wanita paruh baya menggoyang-goyangkan pelan lengan Diandra, seperti menyadarkan.

Diandra menoleh ke sebelah ranjang. Itu suara Ayyana–istri dari saudara sepupu ibunya yang sudah seperti saudara kandung. Ia besama pelayan yang sudah mengasuhnya sejak ia kecil. Mereka adalah dua orang yang selalu dekat dengannya dulu. Sebelum akhirnya Romi memintanya untuk memecat pelayan itu dan membuat tantenya itu membencinya.

Dengan kesadaran yang masih linglung, Diandra menyadarkan punggungnya pada sandaran ranjang. Ia menatap heran dengan dahi yang berkerut pada dinding-dinding kamar yang ia yakini adalah kamarnya di rumah lama. Sebelum akhirnya ia menjual rumah tersebut dan membeli rumah baru yang lebih kecil untuk dia dan Romi tinggali.

"Kenapa aku berada di kamar ini? Bukannya aku sudah mati. Apa ini yang namanya alam barzah?" batin Diandra berujar menatap heran. Kematian yang begitu menyakitkan masih membekas di ingatanya. Setiap mengenang semua itu, hatinya selalu berdenyut sakit. Luka di hatinya masih basah dan tergores berulang-ulang.

Diandra kembali melihat tubuhnya, tangan kanannya mencubit lengan kirinya sendiri dengan kuat. Sakit. Itu artinya apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Namun bagaimana ia berada di tempat ini?

Ayyana dan pelayan itu saling bertukar pandang heran melihat tingkah Diandra yang aneh.

"Nona Diandra? Apa Anda baik-baik saja? Apa ada yang aneh dengan kamar ini?" tanya pelayan yang berumur sudah berkepala empat itu. Ia heran dan bingung dengan reaksi yang ditunjukkan majikannya saat tersadar.

"Bi Yuni, kenapa Bibi di sini? Bukannya Bibi sudah pulang kampung satu tahun yang lalu?"

Bi Yuni terkejut. "Kapan saya balik kampung, Non? Nona kan sendiri tahu, di kampung saya tak punya sanak saudara. Anak saya juga nggak ada," jawabnya membuat Diandra semakin bingung. Ia seperti seorang bayi yang baru lahir dan tak tahu apa-apa.

Kini Diandra beralih pada Ayyana. "Tante juga disini? Tante udah nggak marah dan benci Diandra lagi?" tanya Diandra dengan polosnya.

Ia ingat betul bagaimana Ayyana memarahinya saat itu. Karena ia telah berlaku curang dengan memanipulasi semua data hingga membuat seolah Daka Kenzie Zendarion menyerahkan 10% saham yang dimilikinya, ia berikan secara cuma-cuma untuk Diandra selaku pemegang saham terbesar.

Semua itu Diandra lakukan demi keinginan Romi yang mengatakan ingin memajukan perusahaan yang ditinggalkan oleh almarhum orang tuanya itu. Namun nyatanya, semua itu hanyalah bualan belaka. Romi hanya ingin mengusai semuanya. Semua yang Diandra miliki, hanya demi kepuasannya semata.

Dijauhi keluarga, menjalani hidup dalam kesendirian dan kesepian. Semua itu Diandra lakukan demi mengabdi pada lelaki yang ia cintai. Tapi apa yang ia dapat? Sebuah pengkhianatan yang keji. Bahkan mereka sudah menyiapkan kematian untuknya hanya demi uang asuransi. Diandra tertawa renyah dengan lelehan air mata. Namun tawanya sarat akan kepedihan dan kegetiran hidup.

"Diandra, apa kamu baik-baik saja sayang?" Ayyana menatap keponakannya dengan bingung. Ia merasa aneh dengan ponakannya ini.

"Apa saat jatuh tadi kepala Non Diandra terbentur, Bu?" bisik Yuni sambil menatap Diandra dengan penuh tanda tanya.

"Mana aku tahu, Bi. Bukannya kamu yang bersama Diandra saat ia pingsan tadi?" balas Ayyana. Walau mereka berdua berbicara dengan nada pelan. Tetap saja Diandra mendengar apa yang diucapkan.

Bi Yuni mendekat, ia meletakkan telapak tangannya pada dahi Diandra. Ia juga memeriksa di sekitar area kepalanya.

"Nggak ada benjol kok, Nya. Non Diandra juga sehat saja, hanya sedikit basah karena keringat dingin,"

"Ada apa sih, Bi. Memangnya aku kenapa? Jangan aneh-aneh deh,"

"Tadi Non tiba-tiba pingsan di depan pintu sehabis pulang diantar Tuan Romi," jawab Bi Yuni menjelaskan.

"Diantar Romi? Memangnya aku dari mana, Bi?" tanya Diandra lagi. Ia masih bingung dengan keadaan yang ia hadapi saat ini.

"Tapi dari butik, habis mencoba gaun pengantin Non Diandra yang sudah siap,"

"Gaun pengantin?" cicit Diandra kembali.

Bi Yuni dan Ayyana mengangguk mantap. Tatapan mata mereka masih intens menatap ke arah Diandra. Mereka berdua kompak mengerutkan dahi, Diandra hanya pingsan tapi terasa seperti orang yang habis mengalami kecelakaan hebat. Bangun-bangun sudah hilang ingatan.

"Bukankah seharusnya aku berada di mobil dan tenggelam di laut?" gumam Diandra seorang diri.

"Tenggelam? Kamu kan pandai berenang, sayang. Bagaimana mungkin kamu bisa tengelam?" tanya Ayyana saat mendengar ucapan ngelantur dari keponakannya.

"Mungkin kamu sedang bermimpi buruk, Nak. Sudah, sebaiknya kamu istirahat kembali. Biar Tante dan Bik Yuni keluar dulu," Ayyana mengajak Bi Yuni untuk keluar kamar tersebut. Sebelum pergi, Ayyana mengecup puncak kepala keponakannya dengan sayang.

"Mimpi? Bagaimana mungkin kejadian yang serasa begitu nyata ternyata hanya sebuah mimpi belaka," Diandra kembali bergumam seakan tak percaya sambil melihat punggung dua wanita yang berlalu pergi itu.

Terpopuler

Comments

نورالجنة √🍁 _✍︎

نورالجنة √🍁 _✍︎

hidup kembali gitu?? atau emang cuma mimpi??? walaupun cuma mimpi amit2 deh jan sampe mimpi kek gitu, syediiih...

2022-11-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!