NovelToon NovelToon

Destiny Of Life

Bab. 1

Langit yang begitu gelap dan berhiaskan taburan bintang berkelap-kelip, membentuk sebuah gugus bintang yang indah.

Di sebuah rumah besar bercahayakan lampu remang-remang, karena lampu utama yang sengaja dimatikan. Duduk termangu seorang diri wanita cantik mengenakan gaun indah. Ia memandangi sebuah kue ultah yang cukup besar di depannya. Kue itu dipenuhi lilin berwarna-warni yang melingkari sekeliling sisinya.

Di samping kue itu ada sebuah kotak kecil yang sudah wanita itu persiapkan sebagai kejutan. Wanita cantik itu berharap suaminya nanti akan menangis haru setelah melihat isi dari kado tersebut.

Tatapan matanya kian kosong memandang pijar lilin yang bergoyang-goyang seirama hembusan nafasnya. Ia mulai bosan menantikan pendamping hidupnya yang tak kunjung datang. Entah lupa ... atau memang pura-pura lupa.

Hari ini tepat satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan yang begitu didamba-damba olehnya akan menjadi pernikahan sekali seumur hidup. Banyak harapan yang Diandra sematkan dalam pernikahannya.

Sebuah hubungan yang hangat, dimana suami selalu mengecup sayang istrinya sebelum pergi bekerja atau ungkapan mesra serta momen-momen romantis yang bisa mereka nikmati bersama untuk membuat hatinya berdesir dengan getaran cinta.

"Hari sudah larut, Nya. Apa sebaiknya Nyonya menunggu Tuan pulang di kamar saja? Nanti Nyonya bisa sakit kalau menunggu di sini!" tegur pelayan yang memandang Diandra dengan empati.

Pelayan berumur 30 tahun itu baru bekerja selama delapan bulan di rumah tersebut. Ia dibawa Romi untuk menggantikan pelayan yang sudah lama melayani Diandra. Romi tak suka dengan pelayan lama Diandra yang terkesan terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga mereka.

Pelayan tua itu kerap protes dan berkomentar atas apa yang ia lakukan terhadap Diandra, dengan alasan menyayangi Diandra layaknya anak kandung sendiri.

Diandra yang sudah terlalu percaya dan pasrah hanya bisa menuruti apa yang dikatakan suaminya.

Cinta membuat seseorang menjadi sangat bodoh. Dengan alasan takut kehilangan orang yang dicintai, membuat seseorang sampai rela melakukan apa pun untuk orang tersebut. Walau sebenarnya pikiran ingin menolak, namun hati menahan.

Diandra selalu diam, tetapi jiwanya tersakiti dengan segala tindakan Romi yang sesuka hati. Namun saat kata 'aku mencintamu' meluncur dengan indah dari mulut suaminya saat merayu, menjadi obat penawar hatinya yang mulai rapuh.

Bodoh bukan?

Begitulah yang Diandra rasakan saat ini. Ia sadar akan kebodohannya, namun ia tak mampu untuk bertindak.

"Saya masih betah di sini, Isa. Jika kamu lelah, kamu masuk saja duluan!" sahut Diandra tanpa mengubah posisinya. Nafas yang berhembus pelan dari mulutnya membuat api pada lilin itu padam.

Isa menghela napas pelan. "Baik, Nya. Jika Nyonya perlu sesuatu, Nyonya bisa panggil saya."

"Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Diandra untuk menanggapi ucapan pelayannya.

Isa pun beranjak ke kamarnya, ia tak tega meninggalkan majikannya seorang diri. Tetapi ia juga tak sanggup harus berdiri tanpa istirahat sepanjang malam. Besok masih banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus ia kerjakan.

Lama Diandra termangu menatap kekosongan, kini ia menegakkan kepalanya kembali. Menatap tajam pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sesibuk itukah kamu bekerja, Mas? Hingga tak bisa menyisihkan satu hari saja untukku!" gumam gadis cantik berambut panjang bergelombang dengan nada kecewa. Gaun terbuka yang ia kenakan, memamerkan kedua sisi bahunya yang putih dan mulus.

Diandra bagai bunga layu yang teronggok disudut ruangan. Tak terjamah. Kering tanpa dirawat dan disirami.

Cahaya rembulan yang terpancar dari balik tirai menemani sunyinya hati Diandra saat ini. Kilau pancarannya yang begitu indah tak cukup mengobati rasa sedihnya. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang pertama.

Hari istimewa yang begitu ia tunggu-tunggu. Demi menyiapkan semua itu, Diandra sudah sibuk sejak pagi untuk menyiapkan semuanya, di antara rasa pusing dan mual yang sesekali mendera. Hanya untuk memasak makanan kesukaan sang suami yang pada akhirnya hanya akan berakhir di tong sampah saja.

Tangannya terulur mengambil telpon genggam yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Jemari lentiknya menekan kombinasi angka di layar benda pipih tersebut dengan lincah. Beberapa kali panggilan telponnya masuk. Tapi tak satu pun yang mendapat jawaban, membuat wanita cantik itu berdecak dengan rasa kesal yang mulai menggelayuti hati.

Hingga panggilan yang entah sudah ke berapa kali. Suaminya itu justru mematikan ponselnya begitu saja sehingga Diandra tak dapat lagi menelponnya.

"Mungkin baterai ponselnya habis. Atau mungkin Mas Romi berada di tempat yang tak ada sinyalnya," lirih Diandra mencoba menghibur hati. Kalimat penenang yang selama ini ia lontarkan pada dirinya sendiri.

Bulir bening yang sedari tadi berkumpul di sudut mata kini mulai meluncur indah tanpa hambatan. Sedih hatinya tak terbendung lagi. Ia mengusap perutnya yang rata dengan perasaan yang bercampur aduk. Malam yang ia khayalkan akan indah, justru berakhir begitu saja dengan derai air mata.

"Sabar ya, Nak. Mungkin hari ini Mama belum bisa memberitahukan keberadaanmu pada Papa. Tapi Mama yakin, papamu pasti akan sangat bahagia mendengar keberadaanmu di rahim Mama. Baik-baik di dalam sana Sayang. Tumbuh sehat dan jadilah alasan agar Mama bisa kuat menjalani hidup ini," lirihnya. Binar matanya begitu sendu.

Diandra menikah dengan Romi satu tahun yang lalu. Lelaki yang begitu ia sayang, ia cintai dan ia percaya sepenuh hati. Diandra memilih Romi sebagai pendamping hidupnya dengan harapan lelaki itu akan menjadi pohon rindang tempat ia berteduh dan bersandar. Namun kenyataannya, lelaki itu justru menjadi pisau tajam yang menyayat-nyayat hati hingga berdarah dan terluka cukup dalam.

Hati adalah bagian tubuh yang sangat sensitif. Ia sangat halus bagai sutra dan rapuh bagai dahan yang kering saat hujan tak turun membasahi.

Sabar dan menunggu adalah dua kalimat yang menjadi teman setia dalam hidup Diandra selama satu tahun terakhir ini. Tapi sampai kapan ia harus sabar? Sampai kapan ia harus menunggu?

Berat?

Tentu saja semuanya kini terasa berat, tak banyak kata yang dapat mendeskripsikan rasa sakit yang ia rasa. Diandra yakin, tak ada satu pun wanita yang ingin berada di posisinya saat ini. Ia seperti janda namun bersuami yang selalu menghabiskan hari-hari dalam kesepian.

Diandra bahkan tak mengerti apa arti dari rumah tangga yang tengah ia jalani saat ini. Terlebih hanya dirinya saja yang berjuang sendiri di dalam hubungan ini. Setiap ia ingin bertahan. Selalu saja ada di sudut hatinya yang terdalam, berbisik menyuruhnya untuk pergi. Pergi dari peran wanita bodoh yang menunggu sesuatu yang tak pasti. Salahkah jika ia terus berharap cinta suaminya? Cinta yang tak pernah ia tahu sejak kapan berpaling.

Bab. 2

Langit malam yang pekat, sudah berganti menjadi cerah berawan disambut kicauan burung menari riang menyambut mentari. Diandra masih terlelap, tepat pukul 3 pagi ia baru memejamkan matanya. Hingga bunyi jam weker yang berdering kencang memekakkan telinga untuk menjalankan tugasnya membangunkan Diandra dari tidurnya.

"Matikan jam itu, Di! Kenapa kamu selalu menggangguku dengan bunyinya yang berisik!" sentak kasar seorang lelaki yang ada di sebelahnya. Tanpa melihat pun Diandra tahu siapa lelaki pemilik suara itu.

Diandra menggapai jam weker tersebut, mematikannya kemudian bangkit perlahan. Matanya kini sudah terbuka dengan sempurna.

Ia menyanggul rambutnya asal. Lalu menatap ke arah suaminya yang tertidur dengan bertelanjang dada. Entah jam berapa lelaki ini pulang, Diandra tidak tahu. Dan hal ini terjadi bukan hanya satu atau dua kali. Tapi berkali-kali selama satu tahun pernikahan mereka.

"Pulang jam berapa tadi malam kamu, Mas?" tanyanya pada sang suami sambil menggoyangkan lengan suaminya pelan.

"Apaan sih, Di?! Jangan ganggu, aku masih ngantuk!" omel Romi. Tangannya menepis kasar tangan sang istri. Lalu berbalik arah begitu saja memunggungi istrinya.

Diandra meremas dadanya erat. Hatinya begitu nyeri diabaikan seperti ini. Lagi-lagi hanya helaan napas saja yang terdengar. Ingin rasanya ia berteriak, memaki atau mengumpat. Tetapi bayangan pertengkaran yang hadir di kepala menghalangi segalanya.

"Mas aku hanya mau tanya padamu, pulang jam berapa kamu semalam? Aku kan sudah minta kamu pulang cepat." Alih-alih menggoyangkan kembali, wanita itu justru memilih tangannya kali ini mengusap punggung itu pelan.

"Diam!" Romi yang terganggu berbalik sejenak untuk mendorong tubuh Diandra kasar. Hingga wanita itu terhuyung ke belakang. Baru kembali berbalik ke arah semula.

Hati wanita itu pun kembali berdenyut nyeri. Ia mengusap perutnya yang masih datar. Untung saja ia bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga tak menyebabkan ia terjerembak ke lantai granit dingin itu.

"Padahal aku ingin memberikan kejutan padamu, Mas. Bisakah kamu tak mengabaikan aku seperti ini?"

Lagi-lagi pertanyaan itu hanya dianggap angin lalu oleh suaminya. Romi tak peduli dengan kado yang dikatakan istrinya. Ia memilih tidur kembali dengan tenang.

Diandra terpaku sesaat menikmati rasa sesak yang kian meledak. Matanya memandang nanar punggung Romi dengan mata yang berkaca-kaca.

Diandra tak kuat lagi menahan sesak di dada. Ia sudah ingin berontak dan berakhir pada sebuah perceraian. Saat ia sudah berada pada batas kesabarannya. Tuhan justru menitipkan sebuah nyawa dalam rahimnya.

Haruskah ia bertahan?

Aroma batter mulai semerbak tercium di penjuru dapur. Wanita cantik itu sudah beraksi dengan celemek yang terpasang di tubuhnya. Tangan lentik dan cekatan itu bergerak lincah mengolah bahan makanan menjadi menu sarapan yang nikmat.

Diandra tahu betul selera suaminya. Sepiring omlet dengan potongan wortel, serta sepiring kecil pancake dengan siraman madu yang manis dan ditemani secangkir Americano hangat.

Saat semuanya telah terhidang di atas meja. Romi turun dengan setelan kerjanya yang melekat rapi di badannya.

"Ayo kita sarapan dulu, Mas! Aku sudah siapkan semua ini untukmu," ajak Diandra. Ia menyambut kedatangan suaminya dengan senyum sumringah.

Tangannya bergerak lincah dan cepat melepas celemek yang ia kenakan. Lalu duduk di hadapan suami yang memasang wajah seakan tak berdosa atas apa yang telah ia lewatkan semalam.

"Mas, tadi malam kenapa kamu pulangnya larut. Bukankah aku sudah memintamu untuk pulang cepat semalam."

Diandra memberanikan diri mengutarakan kembali isi hatinya di sela-sela kegiatan mereka menikmati sarapannya. Rasa penasaran terus mengusik hatinya..

Romi melirik sekilas. "Banyak kerjaan yang harus diselesaikan," jawabnya santai, lalu melanjutkan kembali makannya.

Diandra tak tahu harus berekspresi seperti apa atas tanggapan suaminya itu. Sesibuk itukah dirinya dengan pekerjaan? Haruskah ia merasa beruntung memiliki suami yang pekerja keras, hingga suaminya terus membiarkan hatinya selalu diabaikan.

"Tapikan semalam adalah anniversary pernikahan kita, Mas. Seharusnya kamu—"

"Sudahlah Diandra, jangan seperti anak kecil yang harus mempermasalahkan hal sepele. Masalah perayaan ulang tahun pernikahan, bisa kita rayakan kapan saja. Lagi pula aku itu kerja, setiap hari harus memutar otak untuk memajukan perusahaan. Untuk siapa lagi kalau bukan untukmu, untuk kita! Jadi tolong mengerti sedikitlah!" omel Romi memotong ucapan Diandra. Nada suaranya naik satu oktaf membuat Diandra terkesiap.

Ia hanya ingin memberikan kabar kehamilannya pada suaminya. Tapi Romi seakan tak mau mendengarkan suaranya. Lagi-lagi hatinya berdenyut nyeri.

"Tapi Mas, Papa juga mengatur perusahaan. Namun ia selalu ada waktu untuk aku dan Mama. Sedangkan kamu setiap hari pulang malam, bahkan satu jam saja tak bisa menyempatkan waktu untukku. Apa di kantor memang sesibuk itu?!" protes Diandra cepat.

Ia mulai kesal dan tak percaya dengan semua alasan yang dilontarkan suaminya. Hormon kehamilan yang ia alami membuat mood-nya naik turun tak beraturan.

Brak!

Romi menghentak meja dengan begitu keras, membuat wanita itu terhenyak. Matanya melebar melihat wajah Romi memerah menahan amarah. Ia tak menyangka suaminya itu akan semarah ini. Hanya karena ia protes. Apa salah jika ia meminta sedikit saja waktu dari suaminya?

"Kamu tahu apa tentang mengurus perusahaan, Diandra?! Kamu hanya tahu menghambur-hamburkan uang saja. Sedangkan kondisi kantor yang hampir bangkrut, apa kamu tahu. Tidak, kan!" geram lelaki itu.

Jika dulu Romi selalu berkata lembut padanya, bahkan menaikkan satu oktaf suaranya di depan Diandra saja tak pernah. Namun kini, lelaki itu justru membentaknya membuat Diandra semakin tak percaya.

"Apa? Perusahaan Papa hampir bangkrut?! Mana mungkin, aku selalu menggunakan debit card pribadiku dari pendapatan yang lain untuk memenuhi kebutuhanku. Sedangkan dana perusahaan semuanya kamu yang mengendalikan. Lalu bagaimana bisa hampir bangkrut?!"

Air mata jatuh di pipi mulus wanita itu. Ia panik. Matanya kini sedikit cekung akibat kurang tidur beberapa hari ini. Wajah cantik Diandra tampak begitu pucat seakan tak dialiri darah.

"Jadi maksudmu ... aku yang tak becus mengelola perusahaan, gitu?!" balas Romi tak terima tanpa rasa kasihan melihat kondisi sang itu yang begitu lemah. Lelaki itu menatap wajah Diandra tajam hingga Diandra bisa menangkap tak ada lagi binar cinta di matanya.

Diandra tak bermaksud menyudutkan ataupun menuduhnya. Namun kenyataannya memang seperti itulah adanya. Setahunya, perusahaan papanya selama ini dalam keadaan baik-baik saja.

"Bukan begitu maksudku, Mas. Aku—" Belum selesai ia berbicara, Romi sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Sudahlah! Aku memang selalu salah di matamu. Aku selalu tak becus untukmu, padahal memang Papamu saja yang kejam!Masa meninggalkan warisan padamu berupa perusahaan yang hampir pailit!" balas Romi cepat. Ia tak ingin sedikit pun disalahkan.

Lelaki itu kembali menghentak meja dengan keras, menunjukkan seberapa hebat dirinya. Lagi-lagi membuat jantung Diandra tersentak. Lalu lelaki itu melengos pergi begitu saja, meninggalkan istrinya dalam kesedihan.

Romi berlalu dengan nafas yang tampak memburu karena kesal pada sang istri yang seakan-akan sedang menghakiminya.

Diandra sampai terheran-heran menatap punggung suaminya yang menjauh, hanya sebuah pertanyaan darinya 'kenapa tidak pulang cepat?' Justru merembet dan menjadi perdebatan yang memancing keributan yang membuat dadanya semakin sesak. Air mata yang tadi terjatuh kini sudah mulai mengering di pipi. Namun hatinya makin tersobek perih.

Bab. 3

"Kenapa kamu tidak memberitahu saya akan hal ini?" geram Diandra setelah mendengar kabar yang tak mengenakkan.

Diandra menelpon Violet, wanita yang bekerja sebagai manager keuangan di perusahaannya. Ia sudah bekerja puluhan tahun di perusahaan itu, ia juga termasuk salah satu orang kepercayaan Saladin Suhendra–papa Diandra.

Diandra berdiri di dekat meja makan memandang dinding-dinding kaca yang menjadi pembatas antara ruangan itu dan taman samping sambil menelpon. Di taman samping terdapat kolam renang yang panjang dengan tangga besi di salah satu sisi yang menghubungkan bagian dasarnya.

Di seberang kolam renang itu menyisakan lahan kosong dan lapang untuk area bersantai sebelum di tutup dengan pagar beton putih tinggi yang menjulang. Terdapat gazebo di salah satu sisinya lagi, serta bangun area dengan rumput-rumput jepang dan lantai keras.

"Maafkan saya, Bu. Tapi Pak Romi bilang ia sudah mengatakan pada Ibu langsung soal dana-dana yang ia minta untuk dicairkan itu, Bu," jelas wanita di seberang telpon itu gugup.

Nominal yang dipinta Romi adalah nominal yang cukup besar dan dicairkan secara berulang dalam waktu yang berdekatan. Bagaimana bisa ia baru mengetahuinya sekarang dan tak ada satu pun yang memberitahukan hal itu padanya.kl

"Seharusnya kamu tanya saya dulu. Setidaknya saya tahu akan hal ini!" omelnya. Jari tangannya mulai memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.

"Tapi sudah ada tanda tangan Ibu dalam proposal pengajuan dana itu. Saya pikir Ibu memang sudah tahu dan menyetujuinya," imbuhnya lagi.

Penjelasan wanita di seberang telepon membuat kepala Diandra semakin pusing. Itu artinya bukan Violet yang bersalah disini. Tetapi dirinyalah yang ceroboh.

Ia mulai mengingat-ingat, kapan ia menandatangani setiap proposal pencairan dana cukup besar yang diajukan Romi padanya? Seingatnya pencairan dana yang Romi berikan padanya selalu dalam jumlah yang masuk akal serta jelas kegunaannya untuk apa.

Diandra memang memasrahkan perusahaan miliknya untuk dikelola oleh suaminya. Namun untuk setiap pencairan dana perusahaan, Romi memerlukan tanda tangannya.

"Jadi berapa total semua uang yang sudah suami saya ambil untuk penggunaan dana yang tidak jelas itu?"

"Sekitar 6,3 triliun. Total keseluruhan selama 6 bulan ini," jelas Violet.

Degh!

Tubuh Diandra menegang mendengar ucapan Violet barusan. Dengan raut kaget dan tidak percaya, tubuhnya mulai terhuyung ke belakang.

Tangannya langsung meraih pinggiran meja makan untuk menahan tubuhnya yang mulai limbung. Untuk sesaat Diandra terdiam. Lalu menarik kursi kemudian menghempaskan pantatnya ke atas kursi itu dengan kasar.

Enam koma tiga triliun dalam waktu 6 bulan bukanlah nominal yang sedikit. Itu baru sebagian kecil dana yang ia ketahui, Diandra yakin masih banyak lagi yang tidak ia ketahui. Wanita itu terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri.

"Apa sekarang suami saya ada di kantor?" tanya Diandra. Ia berusaha mengontrol laju jantungnya yang berdetak tak beraturan karena menahan amarah di hatinya.

Diandra paling tak suka dibohongi, apalagi yang dilakukan suaminya ini menyangkut kelangsungan perusahaan yang orang tuanya bangun dengan susah payah.

Dana segitu bukanlah jumlah yang sedikit, pasti ada keterangan sumber dana itu digunakan untuk apa saja. Tak mungkin Romi menghabiskan dana itu tanpa ada sedikit pun jejak.

"Baiklah kalau begitu, kamu salin semua laporan data pengeluaran perusahaan selama satu tahun ini. Lalu kirimkan ke email saya. Kalau bisa malam ini juga saya sudah dapat salinannya!" titah Diandra tegas.

"Baik, Bu. Selamat siang," tandas Violet menutup pembicaraan mereka secara sepihak.

Diandra terdiam, ia mulai menyusun rencana untuk mengatasi masalah ini. Mungkin langkah awal ia harus memeriksa kembali semua laporan itu. Kesalahan yang paling fatal yang ia lakukan saat ini adalah tidak teliti terhadap setiap berkas yang Romi sodorkan padanya.

Entah bodoh atau karena terlalu cinta, Ia meletakkan seluruh hatinya pada Romi hingga membuat ia terlalu percaya pada suaminya itu. Hingga selama ini, ia tak pernah sedikit pun mengecek kembali setiap kertas-kertas yang suaminya minta ia tanda tangani.

"Pantas saja kamu bilang perusahaan Papa hampir pailit, Mas. Ternyata kamulah penyebabnya!" gumamnya kesal.

Belum selesai dengan kenyataan yang mengejutkan tadi. Kini Diandra di hadapkan oleh kenyataan yang baru.

"Bu ini ada amplop coklat yang dikirimkan oleh pihak Bank," ujar salah satu pelayan rumahnya.

Sontak Diandra menoleh, ia menerima amplop panjang itu dengan dahi yang berkerut.

"Pihak Bank? Kenapa pihak Bank mengirimkan ini?" tanya Diandra heran.

Pelayan itu hanya menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban. Tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaan itu sebelum ia membaca isi dari surat itu secara langsung.

Setelah menyerahkan amplop itu, pelayan tadi langsung berbalik arah menuju dapur. Menyelesaikan apa yang tadi sedang ia kerjakan. Diandra pun tak memperdulikannya, jantungnya kini sedang terpompa dengan cepat.

Tangannya mulai gemetar membuka amplop tersebut. Segala pertanyaan mulai bergelayut dalam benaknya saat ini.

Diandra kembali terkejut. Iris matanya membesar setelah membaca kata demi kata yang tertulis rapi di dalam kertas tersebut. Andai ia memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin dirinya sudah berakhir di rumah sakit meregang nyawa, karena mendapatkan kejutan berulang-ulang yang cukup menghantam kewarasannya.

"Ya Tuhan, apalagi ini? Bagaimana kartu kredit bisa nunggak pembayarannya dan dalam jumlah yang cukup besar? Untuk apa Mas Romi menggunakan semua uang-uang ini?" Diandra histeris.

Ia membuka lembaran demi lembaran kertas. Membaca dengan teliti apa yang tertulis di dalam sana.

"Kalung berlian, cincin, mobil, apartemen dan—" Nafas Diandra tercekat. Begitu banyak daftar dalam jumlah fantastis hingga ia tak sanggup lagi menyebutkannya kembali satu demi satu.

Ia menggigit bibir bawahnya erat, matanya nanar dengan tubuh yang bergetar. Tangannya menggenggam kertas itu erat, hingga kertas tersebut remuk tidak berbentuk lagi. Amarahnya membuncah di dada.

Seperti kata pepatah, jika sedang dalam kondisi marah. Manusia yang dominan dikuasai emosi akan mengesampingkan akal.

Diandra yang sudah diliputi emosi yang membuncah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi saat ia mengetahui di mana keberadaan suaminya. Ia membelah jalanan di bawah langit yang mulai menggelap karena matahari yang sudah mulai naik keperaduan.

Bukanlah hal yang mustahil baginya untuk mengetahui di mana posisi Romi berada saat ini. Diandra hanya perlu membayar seorang hackers handal untuk melacak posisi suaminya dari GPRS yang terpasang di ponselnya.

Mobilnya melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dua jam perjalan ia tempuh untuk sampai ke tempat itu, dua kali lebih cepat dari seharusnya.

Diandra kini berada di sebuah hotel mewah yang ada di pinggiran pantai. Dengan uang yang ia miliki, Diandra bisa dengan mudah menyogok karyawan untuk mendapatkan nomor hotel berserta kartu akses untuk masuk ke dalam kamar yang Romi tempati.

Tangan gemetar wanita itu mulai membuka pintu kamar 2673 perlahan. Pelan, tapi pasti. Pintu itu pun terbuka, semuanya tampak sunyi. Diandra melangkahkan kakinya dengan pelan. Pikiran aneh sudah berkelebat di kepalanya. Ia bukan gadis kecil yang polos lagi.

Ia cukup paham dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Kalung berlian, cincin, apartemen serta mobil baru, cukup menjelaskan jika saat ini suaminya sedang bermain gila dengan wanita lain di belakangnya. Tentu saja untuk menyenangkan kekasih haramnya itu, Romi menggunakan uang perusahaan yang merupakan miliknya.

Diandra tak menyangka sedikit pun, cinta dan ketulusan hati yang ia berikan pada suaminya akan dibalas dengan sebuah penghianatan yang begitu perih. Namun satu hal yang masih menjadi tanda tanya di kepalanya saat ini. Siapa wanita yang menjadi duri di dalam pernikahannya itu?

Air mata yang tadi tertahan kini meluncur dengan derasnya. Diandra menutup mulutnya dengan telapak tangan agar suara isak tangisnya tak terdengar.

Tepat di ruang TV, ia mendapati pakaian lelaki dan perempuan yang berserakan. Diandra tanda betul dengan pakaian itu, itu adalah kemeja yang digunakan Romi tadi pagi sebelum berangkat kerja.

Hati Diandra kembali berdenyut nyeri. Walau ia sudah menduga, tetapi melihat dengan mata kepalanya sendiri jauh lebih sakit. Tak terkira betapa sesak hatinya saat ini. Dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah berharap berada dalam posisi menyedihkan seperti ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!