Bab. 3

"Kenapa kamu tidak memberitahu saya akan hal ini?" geram Diandra setelah mendengar kabar yang tak mengenakkan.

Diandra menelpon Violet, wanita yang bekerja sebagai manager keuangan di perusahaannya. Ia sudah bekerja puluhan tahun di perusahaan itu, ia juga termasuk salah satu orang kepercayaan Saladin Suhendra–papa Diandra.

Diandra berdiri di dekat meja makan memandang dinding-dinding kaca yang menjadi pembatas antara ruangan itu dan taman samping sambil menelpon. Di taman samping terdapat kolam renang yang panjang dengan tangga besi di salah satu sisi yang menghubungkan bagian dasarnya.

Di seberang kolam renang itu menyisakan lahan kosong dan lapang untuk area bersantai sebelum di tutup dengan pagar beton putih tinggi yang menjulang. Terdapat gazebo di salah satu sisinya lagi, serta bangun area dengan rumput-rumput jepang dan lantai keras.

"Maafkan saya, Bu. Tapi Pak Romi bilang ia sudah mengatakan pada Ibu langsung soal dana-dana yang ia minta untuk dicairkan itu, Bu," jelas wanita di seberang telpon itu gugup.

Nominal yang dipinta Romi adalah nominal yang cukup besar dan dicairkan secara berulang dalam waktu yang berdekatan. Bagaimana bisa ia baru mengetahuinya sekarang dan tak ada satu pun yang memberitahukan hal itu padanya.kl

"Seharusnya kamu tanya saya dulu. Setidaknya saya tahu akan hal ini!" omelnya. Jari tangannya mulai memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.

"Tapi sudah ada tanda tangan Ibu dalam proposal pengajuan dana itu. Saya pikir Ibu memang sudah tahu dan menyetujuinya," imbuhnya lagi.

Penjelasan wanita di seberang telepon membuat kepala Diandra semakin pusing. Itu artinya bukan Violet yang bersalah disini. Tetapi dirinyalah yang ceroboh.

Ia mulai mengingat-ingat, kapan ia menandatangani setiap proposal pencairan dana cukup besar yang diajukan Romi padanya? Seingatnya pencairan dana yang Romi berikan padanya selalu dalam jumlah yang masuk akal serta jelas kegunaannya untuk apa.

Diandra memang memasrahkan perusahaan miliknya untuk dikelola oleh suaminya. Namun untuk setiap pencairan dana perusahaan, Romi memerlukan tanda tangannya.

"Jadi berapa total semua uang yang sudah suami saya ambil untuk penggunaan dana yang tidak jelas itu?"

"Sekitar 6,3 triliun. Total keseluruhan selama 6 bulan ini," jelas Violet.

Degh!

Tubuh Diandra menegang mendengar ucapan Violet barusan. Dengan raut kaget dan tidak percaya, tubuhnya mulai terhuyung ke belakang.

Tangannya langsung meraih pinggiran meja makan untuk menahan tubuhnya yang mulai limbung. Untuk sesaat Diandra terdiam. Lalu menarik kursi kemudian menghempaskan pantatnya ke atas kursi itu dengan kasar.

Enam koma tiga triliun dalam waktu 6 bulan bukanlah nominal yang sedikit. Itu baru sebagian kecil dana yang ia ketahui, Diandra yakin masih banyak lagi yang tidak ia ketahui. Wanita itu terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri.

"Apa sekarang suami saya ada di kantor?" tanya Diandra. Ia berusaha mengontrol laju jantungnya yang berdetak tak beraturan karena menahan amarah di hatinya.

Diandra paling tak suka dibohongi, apalagi yang dilakukan suaminya ini menyangkut kelangsungan perusahaan yang orang tuanya bangun dengan susah payah.

Dana segitu bukanlah jumlah yang sedikit, pasti ada keterangan sumber dana itu digunakan untuk apa saja. Tak mungkin Romi menghabiskan dana itu tanpa ada sedikit pun jejak.

"Baiklah kalau begitu, kamu salin semua laporan data pengeluaran perusahaan selama satu tahun ini. Lalu kirimkan ke email saya. Kalau bisa malam ini juga saya sudah dapat salinannya!" titah Diandra tegas.

"Baik, Bu. Selamat siang," tandas Violet menutup pembicaraan mereka secara sepihak.

Diandra terdiam, ia mulai menyusun rencana untuk mengatasi masalah ini. Mungkin langkah awal ia harus memeriksa kembali semua laporan itu. Kesalahan yang paling fatal yang ia lakukan saat ini adalah tidak teliti terhadap setiap berkas yang Romi sodorkan padanya.

Entah bodoh atau karena terlalu cinta, Ia meletakkan seluruh hatinya pada Romi hingga membuat ia terlalu percaya pada suaminya itu. Hingga selama ini, ia tak pernah sedikit pun mengecek kembali setiap kertas-kertas yang suaminya minta ia tanda tangani.

"Pantas saja kamu bilang perusahaan Papa hampir pailit, Mas. Ternyata kamulah penyebabnya!" gumamnya kesal.

Belum selesai dengan kenyataan yang mengejutkan tadi. Kini Diandra di hadapkan oleh kenyataan yang baru.

"Bu ini ada amplop coklat yang dikirimkan oleh pihak Bank," ujar salah satu pelayan rumahnya.

Sontak Diandra menoleh, ia menerima amplop panjang itu dengan dahi yang berkerut.

"Pihak Bank? Kenapa pihak Bank mengirimkan ini?" tanya Diandra heran.

Pelayan itu hanya menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban. Tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaan itu sebelum ia membaca isi dari surat itu secara langsung.

Setelah menyerahkan amplop itu, pelayan tadi langsung berbalik arah menuju dapur. Menyelesaikan apa yang tadi sedang ia kerjakan. Diandra pun tak memperdulikannya, jantungnya kini sedang terpompa dengan cepat.

Tangannya mulai gemetar membuka amplop tersebut. Segala pertanyaan mulai bergelayut dalam benaknya saat ini.

Diandra kembali terkejut. Iris matanya membesar setelah membaca kata demi kata yang tertulis rapi di dalam kertas tersebut. Andai ia memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin dirinya sudah berakhir di rumah sakit meregang nyawa, karena mendapatkan kejutan berulang-ulang yang cukup menghantam kewarasannya.

"Ya Tuhan, apalagi ini? Bagaimana kartu kredit bisa nunggak pembayarannya dan dalam jumlah yang cukup besar? Untuk apa Mas Romi menggunakan semua uang-uang ini?" Diandra histeris.

Ia membuka lembaran demi lembaran kertas. Membaca dengan teliti apa yang tertulis di dalam sana.

"Kalung berlian, cincin, mobil, apartemen dan—" Nafas Diandra tercekat. Begitu banyak daftar dalam jumlah fantastis hingga ia tak sanggup lagi menyebutkannya kembali satu demi satu.

Ia menggigit bibir bawahnya erat, matanya nanar dengan tubuh yang bergetar. Tangannya menggenggam kertas itu erat, hingga kertas tersebut remuk tidak berbentuk lagi. Amarahnya membuncah di dada.

Seperti kata pepatah, jika sedang dalam kondisi marah. Manusia yang dominan dikuasai emosi akan mengesampingkan akal.

Diandra yang sudah diliputi emosi yang membuncah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi saat ia mengetahui di mana keberadaan suaminya. Ia membelah jalanan di bawah langit yang mulai menggelap karena matahari yang sudah mulai naik keperaduan.

Bukanlah hal yang mustahil baginya untuk mengetahui di mana posisi Romi berada saat ini. Diandra hanya perlu membayar seorang hackers handal untuk melacak posisi suaminya dari GPRS yang terpasang di ponselnya.

Mobilnya melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dua jam perjalan ia tempuh untuk sampai ke tempat itu, dua kali lebih cepat dari seharusnya.

Diandra kini berada di sebuah hotel mewah yang ada di pinggiran pantai. Dengan uang yang ia miliki, Diandra bisa dengan mudah menyogok karyawan untuk mendapatkan nomor hotel berserta kartu akses untuk masuk ke dalam kamar yang Romi tempati.

Tangan gemetar wanita itu mulai membuka pintu kamar 2673 perlahan. Pelan, tapi pasti. Pintu itu pun terbuka, semuanya tampak sunyi. Diandra melangkahkan kakinya dengan pelan. Pikiran aneh sudah berkelebat di kepalanya. Ia bukan gadis kecil yang polos lagi.

Ia cukup paham dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Kalung berlian, cincin, apartemen serta mobil baru, cukup menjelaskan jika saat ini suaminya sedang bermain gila dengan wanita lain di belakangnya. Tentu saja untuk menyenangkan kekasih haramnya itu, Romi menggunakan uang perusahaan yang merupakan miliknya.

Diandra tak menyangka sedikit pun, cinta dan ketulusan hati yang ia berikan pada suaminya akan dibalas dengan sebuah penghianatan yang begitu perih. Namun satu hal yang masih menjadi tanda tanya di kepalanya saat ini. Siapa wanita yang menjadi duri di dalam pernikahannya itu?

Air mata yang tadi tertahan kini meluncur dengan derasnya. Diandra menutup mulutnya dengan telapak tangan agar suara isak tangisnya tak terdengar.

Tepat di ruang TV, ia mendapati pakaian lelaki dan perempuan yang berserakan. Diandra tanda betul dengan pakaian itu, itu adalah kemeja yang digunakan Romi tadi pagi sebelum berangkat kerja.

Hati Diandra kembali berdenyut nyeri. Walau ia sudah menduga, tetapi melihat dengan mata kepalanya sendiri jauh lebih sakit. Tak terkira betapa sesak hatinya saat ini. Dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah berharap berada dalam posisi menyedihkan seperti ini.

Terpopuler

Comments

Nur Kholif

Nur Kholif

tuh kan diandra ...apa kataku

2022-08-21

0

mama Al

mama Al

Thor kamu kok bawa bawang sih

2022-08-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!