Bab. 9

Diandra justru terpaku pada punggung seseorang yang sangat ia kenal, sedang membelakanginya. Tampaknya orang itu sedang sibuk menyusun roti yang ada di di keranjang yang tergantung di tangannya.

"Nora!" panggil Diandra. Jantungnya berdegup kencang dengan kedua tangan yang saling meremas.

Wanita yang dipanggil itu pun berbalik. Ada raut keterkejutan di wajahnya. Namun hanya sesaat.

"Eh ... Di? Kok kamu bisa tahu kalau aku kerja disini?" ujar Nora dengan senyuman. Jauh bertolak belakang dengan apa yang ada di pikiran Diandra.

"Aku tanya sama Frans. Dia bilang kamu kerja di tempat ini, jadi aku langsung saja ke sini. Nora apa kabar?"

"Kabar baik. Eh ... kok kita berdiri di sini. Ayo kita duduk di samping aja, yuk!" Nora memberikan keranjang yang ia pegang tadi pada salah satu gadis berseragam itu. Lalu ia menarik tangan Diandra untuk beralih ke samping toko. Ada beberapa bangku untuk pengunjung dengan konsep kafe outdoor.

Atap kanopi yang di tumbuhi tanaman menjalar. Serta lampu-lampu yang terpasang menambah kesan estetik tempat itu.

"Kita duduk sini! Kamu mau minum apa?" tanya Nora. Wanita itu begitu ramah, seakan tak terjadi apa-apa diantara mereka. Padahal Diandra sudah takut wanita itu tidak mau lagi berteman dengannya.

"Nggak usah, aku nggak mau merepotkan kamu,"

"Tak ada yang direpotkan. Kamu tunggu sebentar, ya!" Nora berdiri dari duduknya. Ia kembali masuk ke dalam toko. Tak sampai 15 menit, wanita itu kembali dengan sebuah nampan yang berisi dua cup jus dengan dua piring cake potong yang dihiasi dengan potongan buah-buahan segar.

"Ayo dicobain kuenya! Aku harap kamu suka," Nora mempersilahkan Diandra untuk mencicipi salah satu desert yang paling diminati di toko tersebut. Diandra pun mengangguk patuh. Ia mencicipi kue itu beberapa potong.

Diandra yang merasa canggung dan tak enak hati. Menatap gadis yang ada di hadapannya itu.

"Nora ... maafkan aku!" ucap Diandra akhirnya. Ucapan itu pun meluncur begitu mudahnya dari mulutnya.

Ia sadar, ialah yang salah disini. Begitu mudahnya ia terhasut dengan bujuk rayuan dan fitnah Lisa. Hingga ia yak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

"Maaf untuk apa? Memangnya kamu ada salah padaku?" balas Nora santai.

"Atas kesalahanku dulu yang memaki dan memarahimu tanpa bertanya padaku lebih dulu tentang apa yang terjadi. Sekarang aku tahu, bukan kamu yang melakukan semua itu. Tapi Lisalah yang mencuri kalung peninggalan Mama dan meletakknanya di dalam tasmu. Maafkan aku," ujar Diandra. Ia menyesal jika mengenang semua itu.

Nora menghela napas panjang. "Sudahlah, jangan dikenang lagi masalah itu. Yang beralu biarlah berlalu. Sekarang aku senang melihat kamu datang kesini. Aku pikir kamu tidak akan mau menemuiku lagi, Di." jelas Nora. Diandra merasa lega. Mereka berdua pun mulai mengobrol panjang sambil melepas kerinduan.

Seberat apa pun permasalahan dan salah paham. Akan selesai jika dua belah pihak mau duduk bersama dan berbicara dati hati ke hati berdua. Kesalahan Diandra saat itu, ia lebih menelan mentah-mentah aduan dari satu pihak dan menghindari Nora tanpa mencari tahu kebenarannya lebih dulu.

Ia menganggap Nora yang tak tahu berbalas budi padanya. Hingga mencuri perhiasan yang sangat berarti bagi wanita itu dan menjualnya ke toko perhiasan. Padahal Nora tahu jika benda itu sangat berarti untuknya. Karena kalung itu adalah salah satu tanda cinta kedua orang tuanya yang diwariskan padanya.

Diandra kecewa, marah. Ia melampiaskan semua kemarahannya pada Nora waktu itu tampa memberi gadis itu kesempatan untuk membela diri. Padahal kenyataannya, Lisalah yang menjual barang itu. Hal itu baru Diandra ketahui beberapa hari terbongkarnya perselingkuhan wanita itu dengan suaminya. Membuat ia hidup menyimpan rasa bersalah. Di kehidupan kali ini, ia ingin minta maaf pada orang yang sama sekali tidak bersalah dan sudah ia lukai dengan kata-katanya saat itu.

"Sudah lupakan itu, aku sudah memaafkanmu. Jangan pasang wajah sedihmu itu. Oh ... ya aku dengar kamu sebentar lagi akan menikah, Di. Selamat ya, Di," ujar Nora tulus. Namun kenyataan membuat Diandra tersenyum tipis.

"Aku nggak jadi nikah!" jawab Diandra sambil menghela napas.

" Apa? Nggak jadi nikah gimana?" tanya Nora terkejut. Baru dua hari yang lalu ia mendapat kabar itu. Kini sang calon mempelai sendiri yang mengatakan tak jadi menikah di hadapannya.

"Ya ... tak jadi nikah! Batal!" responsnya begitu santai.

"Tapi kenapa?!"

"Karena aku tak mau menikah dengan lelaki bejat dan tak tahu malu yang hanya ingin menguasai hartaku saja," jelas Diandra.

"Ini maksudnya gimana, Di. Kamu tahu informasi itu dari mana? Jangan terlalu mudah percaya dengan omongan orang lain, Di. Bisa jadi orang itu hanya ingin merusak hubunganmu saja!" nasehat Nora.

Lagi-lagi Diandra bingung harus menjelaskan semua yang ia tahu dan ia lihat pada temannya itu hingga ia bisa mengambil keputusan seperti ini. Tapi lagi-lagi Diandra mengurungkan niatnya. Ia lebih baik di cap gegabah dari pada di cap gila.

"Tidak, Ra. Aku tidak terpengaruh oleh orang lain, kok. Aku sudah belajar, dan tak mungkin kan aku mengulangi kesalahan yang sama. Tapi kalau soal aku dan Romi. Ini adalah keputusanku sendiri. Ada alasan kuat yang membuatku seperti itu, dan ... maaf, aku tak bisa jelaskan padamu,"

"Privasi?"

"Ya ... kamu tahukan, ada hal-hal yang tak bisa kita ceritakan pada orang lain. Walau sedekat apa pun orang itu,"

"Ya ... aku mengerti. Apa pun keputusanmu, semoga itu yang terbaik untukmu, Di. Sebagai teman aku hanya bisa berdoa saja,"

"Oh ... ya, ngomong-ngomong apa ini toko rotimu? Aku lihat para karyawanmu begitu patuh dan segan padamu?" ujar Diandra mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Ini toko roti milik suamiku, Di. Kebetulan aku sudah menikah lima bulan yang lalu dan sekarang aku sedang hamil 2 bulan," jawab Nora bahagia. Ia mengusap perutnya yang masih datar. Diandra ternganga tak percaya. Ia ikut bahagia mendengarnya.

"Serius? Kok kamu nggak ngundang aku sih?"

"Oh ... ya, aku dan kamu kan hilang kabar. Kita juga dalam suasana yang nggak bersahabat, bagaimana mungkin kamu undang aku," lanjut Diandra sedikit kecewa. Ia justru kecewa pada dirinya sendiri.

Di kehidupannya yang lalu, sejak kejadian itu ia memang sudah hilang kontak dengan wanita ini. Jadi mana dia tahu jika Nora sudah menikah saat ini.

"Maaf, jangan marah. Aku hanya tak mau kamu semakin marah padaku. Lagi pula, sekarang kitakan sudah ketemu lagi. Aku janji, nanti pas anakku lahir kamu akan jadi orang pertama yang aku kabari. Tapi jangan lupa kadonya, ya! Yang banyak!" Nora melebarkan kedua tangannya membentuk lingkaran. Memperagakan seperti anak kecil yaang nuntut hadiah.

"Aman! Nanti tokonya kita beli sekalian, jadi dedek bayinya bisa tinggal pilih. Sombong banget ya aku?" Kelakar Diandra dengan tawa yang berderai. Membuat Nora pun ikut tertawa.

"Memang. Baru sadar?" timpalnya. Tawa mereka berderai. Pertemuan kembali dengan sahabat lama membuat mereka berdua bahagia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!