Langit malam yang pekat, sudah berganti menjadi cerah berawan disambut kicauan burung menari riang menyambut mentari. Diandra masih terlelap, tepat pukul 3 pagi ia baru memejamkan matanya. Hingga bunyi jam weker yang berdering kencang memekakkan telinga untuk menjalankan tugasnya membangunkan Diandra dari tidurnya.
"Matikan jam itu, Di! Kenapa kamu selalu menggangguku dengan bunyinya yang berisik!" sentak kasar seorang lelaki yang ada di sebelahnya. Tanpa melihat pun Diandra tahu siapa lelaki pemilik suara itu.
Diandra menggapai jam weker tersebut, mematikannya kemudian bangkit perlahan. Matanya kini sudah terbuka dengan sempurna.
Ia menyanggul rambutnya asal. Lalu menatap ke arah suaminya yang tertidur dengan bertelanjang dada. Entah jam berapa lelaki ini pulang, Diandra tidak tahu. Dan hal ini terjadi bukan hanya satu atau dua kali. Tapi berkali-kali selama satu tahun pernikahan mereka.
"Pulang jam berapa tadi malam kamu, Mas?" tanyanya pada sang suami sambil menggoyangkan lengan suaminya pelan.
"Apaan sih, Di?! Jangan ganggu, aku masih ngantuk!" omel Romi. Tangannya menepis kasar tangan sang istri. Lalu berbalik arah begitu saja memunggungi istrinya.
Diandra meremas dadanya erat. Hatinya begitu nyeri diabaikan seperti ini. Lagi-lagi hanya helaan napas saja yang terdengar. Ingin rasanya ia berteriak, memaki atau mengumpat. Tetapi bayangan pertengkaran yang hadir di kepala menghalangi segalanya.
"Mas aku hanya mau tanya padamu, pulang jam berapa kamu semalam? Aku kan sudah minta kamu pulang cepat." Alih-alih menggoyangkan kembali, wanita itu justru memilih tangannya kali ini mengusap punggung itu pelan.
"Diam!" Romi yang terganggu berbalik sejenak untuk mendorong tubuh Diandra kasar. Hingga wanita itu terhuyung ke belakang. Baru kembali berbalik ke arah semula.
Hati wanita itu pun kembali berdenyut nyeri. Ia mengusap perutnya yang masih datar. Untung saja ia bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga tak menyebabkan ia terjerembak ke lantai granit dingin itu.
"Padahal aku ingin memberikan kejutan padamu, Mas. Bisakah kamu tak mengabaikan aku seperti ini?"
Lagi-lagi pertanyaan itu hanya dianggap angin lalu oleh suaminya. Romi tak peduli dengan kado yang dikatakan istrinya. Ia memilih tidur kembali dengan tenang.
Diandra terpaku sesaat menikmati rasa sesak yang kian meledak. Matanya memandang nanar punggung Romi dengan mata yang berkaca-kaca.
Diandra tak kuat lagi menahan sesak di dada. Ia sudah ingin berontak dan berakhir pada sebuah perceraian. Saat ia sudah berada pada batas kesabarannya. Tuhan justru menitipkan sebuah nyawa dalam rahimnya.
Haruskah ia bertahan?
Aroma batter mulai semerbak tercium di penjuru dapur. Wanita cantik itu sudah beraksi dengan celemek yang terpasang di tubuhnya. Tangan lentik dan cekatan itu bergerak lincah mengolah bahan makanan menjadi menu sarapan yang nikmat.
Diandra tahu betul selera suaminya. Sepiring omlet dengan potongan wortel, serta sepiring kecil pancake dengan siraman madu yang manis dan ditemani secangkir Americano hangat.
Saat semuanya telah terhidang di atas meja. Romi turun dengan setelan kerjanya yang melekat rapi di badannya.
"Ayo kita sarapan dulu, Mas! Aku sudah siapkan semua ini untukmu," ajak Diandra. Ia menyambut kedatangan suaminya dengan senyum sumringah.
Tangannya bergerak lincah dan cepat melepas celemek yang ia kenakan. Lalu duduk di hadapan suami yang memasang wajah seakan tak berdosa atas apa yang telah ia lewatkan semalam.
"Mas, tadi malam kenapa kamu pulangnya larut. Bukankah aku sudah memintamu untuk pulang cepat semalam."
Diandra memberanikan diri mengutarakan kembali isi hatinya di sela-sela kegiatan mereka menikmati sarapannya. Rasa penasaran terus mengusik hatinya..
Romi melirik sekilas. "Banyak kerjaan yang harus diselesaikan," jawabnya santai, lalu melanjutkan kembali makannya.
Diandra tak tahu harus berekspresi seperti apa atas tanggapan suaminya itu. Sesibuk itukah dirinya dengan pekerjaan? Haruskah ia merasa beruntung memiliki suami yang pekerja keras, hingga suaminya terus membiarkan hatinya selalu diabaikan.
"Tapikan semalam adalah anniversary pernikahan kita, Mas. Seharusnya kamu—"
"Sudahlah Diandra, jangan seperti anak kecil yang harus mempermasalahkan hal sepele. Masalah perayaan ulang tahun pernikahan, bisa kita rayakan kapan saja. Lagi pula aku itu kerja, setiap hari harus memutar otak untuk memajukan perusahaan. Untuk siapa lagi kalau bukan untukmu, untuk kita! Jadi tolong mengerti sedikitlah!" omel Romi memotong ucapan Diandra. Nada suaranya naik satu oktaf membuat Diandra terkesiap.
Ia hanya ingin memberikan kabar kehamilannya pada suaminya. Tapi Romi seakan tak mau mendengarkan suaranya. Lagi-lagi hatinya berdenyut nyeri.
"Tapi Mas, Papa juga mengatur perusahaan. Namun ia selalu ada waktu untuk aku dan Mama. Sedangkan kamu setiap hari pulang malam, bahkan satu jam saja tak bisa menyempatkan waktu untukku. Apa di kantor memang sesibuk itu?!" protes Diandra cepat.
Ia mulai kesal dan tak percaya dengan semua alasan yang dilontarkan suaminya. Hormon kehamilan yang ia alami membuat mood-nya naik turun tak beraturan.
Brak!
Romi menghentak meja dengan begitu keras, membuat wanita itu terhenyak. Matanya melebar melihat wajah Romi memerah menahan amarah. Ia tak menyangka suaminya itu akan semarah ini. Hanya karena ia protes. Apa salah jika ia meminta sedikit saja waktu dari suaminya?
"Kamu tahu apa tentang mengurus perusahaan, Diandra?! Kamu hanya tahu menghambur-hamburkan uang saja. Sedangkan kondisi kantor yang hampir bangkrut, apa kamu tahu. Tidak, kan!" geram lelaki itu.
Jika dulu Romi selalu berkata lembut padanya, bahkan menaikkan satu oktaf suaranya di depan Diandra saja tak pernah. Namun kini, lelaki itu justru membentaknya membuat Diandra semakin tak percaya.
"Apa? Perusahaan Papa hampir bangkrut?! Mana mungkin, aku selalu menggunakan debit card pribadiku dari pendapatan yang lain untuk memenuhi kebutuhanku. Sedangkan dana perusahaan semuanya kamu yang mengendalikan. Lalu bagaimana bisa hampir bangkrut?!"
Air mata jatuh di pipi mulus wanita itu. Ia panik. Matanya kini sedikit cekung akibat kurang tidur beberapa hari ini. Wajah cantik Diandra tampak begitu pucat seakan tak dialiri darah.
"Jadi maksudmu ... aku yang tak becus mengelola perusahaan, gitu?!" balas Romi tak terima tanpa rasa kasihan melihat kondisi sang itu yang begitu lemah. Lelaki itu menatap wajah Diandra tajam hingga Diandra bisa menangkap tak ada lagi binar cinta di matanya.
Diandra tak bermaksud menyudutkan ataupun menuduhnya. Namun kenyataannya memang seperti itulah adanya. Setahunya, perusahaan papanya selama ini dalam keadaan baik-baik saja.
"Bukan begitu maksudku, Mas. Aku—" Belum selesai ia berbicara, Romi sudah memotongnya terlebih dahulu.
"Sudahlah! Aku memang selalu salah di matamu. Aku selalu tak becus untukmu, padahal memang Papamu saja yang kejam!Masa meninggalkan warisan padamu berupa perusahaan yang hampir pailit!" balas Romi cepat. Ia tak ingin sedikit pun disalahkan.
Lelaki itu kembali menghentak meja dengan keras, menunjukkan seberapa hebat dirinya. Lagi-lagi membuat jantung Diandra tersentak. Lalu lelaki itu melengos pergi begitu saja, meninggalkan istrinya dalam kesedihan.
Romi berlalu dengan nafas yang tampak memburu karena kesal pada sang istri yang seakan-akan sedang menghakiminya.
Diandra sampai terheran-heran menatap punggung suaminya yang menjauh, hanya sebuah pertanyaan darinya 'kenapa tidak pulang cepat?' Justru merembet dan menjadi perdebatan yang memancing keributan yang membuat dadanya semakin sesak. Air mata yang tadi terjatuh kini sudah mulai mengering di pipi. Namun hatinya makin tersobek perih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Nur Kholif
selidiki diandra jangan 2 main api di luar
2022-08-21
0
Author_A.S [Vacum]
Jatuh Cinta Pada Istri Kontrak, hadir
2022-08-19
0
mama Al
sabar Diandra
2022-08-17
0