...🍁🍁🍁🍁...
Dirganta melihat jam tangannya, ia sudah menunggu sekitar satu jam. Namun gadis itu belum juga keluar. Apa gaun itu kembali susah dilepas? Tapi jika iya, kenapa Intan tak meminta bantuan orang lain?
Dirganta yang penasaran pun pergi melihat Intan. Namun saat tirai itu ia buka, Intan tidak ada di sana. Kemana gadis itu pergi? pikirnya.
Dirganta lalu bertanya ada penjaga toko di sana apakah melihat Intan atau tidak.
"Permisi, mbak liat gadis yang sama saya tadi gak? Soalnya udah satu jam dia gak keluar dari ruang ganti. Pas saya cek, dia gak ada di sana."
"Mbak yang sama mas udah pulang dari tadi mas. Dia lewat pintu belakang. Dan untuk gaunnya mbak tadi ninggalin gitu aja. Jadi saya kasi ke mas aja ya." Penjaga toko itu tersenyum menyerahkan sebuah paper bag pada Dirganta.
Dirganta mengerutkan keningnya. Ia sudah menunggu gadis itu selama satu jam. Bayangkan satu jam!!! Tapi dia malah ditinggal, gaun yang dipakai tadi juga ditinggalkan begitu saya.
"Apa dia marah? Tapi kenapa juga dia marah?" Dirganta pergi sana. Pekerjaannya masih ada di rumah sakit, namun gara-gara menunggu gadis itu, Ia harus meninggalkan pekerjaannya sebentar.
Dirganta melajukan mobilnya. Didalam perjalanan ia masih memikirkan tentang Intan yang tiba-tiba pergi. Apa karena ciuman itu? Atau karena perkataannya? Hah....Dirganta harus bertanya pada gadis itu apa yang terjadi. Intan sangat senang berada didekatnya jadi tidak mungkin jika ia tiba-tiba tidak bersedia pulang dengannya.
Dirganta tak ambil pusing. Biarlah itu menjadi urusan nanti. Sekarang ia harus segera sampai..
*****
Intan membaringkan tubuhnya di atas kasurnya. Ia sudah sampai di rumah. Syukur saja kedua orangtuanya belum pulang.
Intan sangat bingung dengan apa yang ia rasakan sekarang. Mereka hanya pasangan pura-pura jadi untuk apa Intan sedih dengan perkataan Dirganta adanya. Namun di samping itu Dirganta juga bersalah karena telah menciumnya.
Sekarang Intan tidak tau apakah Dirganta sudah tau ia menghilang atau masih menunggunya. Intan juga belum siap jika harus bertemu Dirganta. Ia bimbang.
Intan memejamkan matanya sejenak. Ia lelah, Seharian jalan-jalan bersama kedua orang tua Dirganta. Dan akhirnya Intan pun tertidur..
Dirganta sampai di rumah sakit. Ia segera mempercepat langkahnya karena dari tadi ponselnya sudah berbunyi. Ketika Dirganta mengangkatnya yang menelpon mengatakan jika ada keadaan darurat.
Dirganta masuk kedalam ruangan yang biasa digunakan untuk rapat jika membahas sesuatu.
"Ada apa?" tanya Dirganta mengambil duduk disalah satu kursi didalam sana.
"Dokter ada masalah. Di desa X terjadi longsor, Akses jalan juga tertutup karena tertimbun tanah. Mereka membutuhkan bantuan obat dan tenaga medis."
"Baiklah atur semua tenaga medis yang bisa ke sana untuk ikut. Dan juga siapkan obat-obatan. Kita akan berangkat ke sana besok. Karena jika sekarang, tidak akan bisa lewat disebabkan jalan yang tertutup material longsor."
Semua yang ada di sana mengangguk.
"Sekarang semuanya kembali bekerja."
Satu persatu yang berada di sana pun pergi untuk melanjutkan pekerjaannya mereka. Dirganta menghela nafasnya. Apa dia harus mengajak Intan juga? Tapi gadis itu keras kepala. Bagaimana jika hanya akan membuat susah?
Dirganta akan mencoba bertanya ada gadis itu. Dirganta menelpon Intan. Namun panggilan itu tidak dijawab.
"Apa dia masih marah?" Dirganta kembali menghubungi nomor gadis itu, namun tetap sama. Hasilnya nihil.
Dirganta lalu mengambil kunci mobilnya. Ia akan pergi melihat gadis itu ke rumahnya.
Setelah menempuh jarak yang lumayan, Dirganta kini telah sampai didepan rumah itu. Dirganta ingin mengetuk pintu didepannya, tapi ia takut.
Dirganta membalikkan tubuhnya berniat pulang saja. Namun ia sudah jauh-jauh kemari. Apa ia akan menyerah begitu saja?
Dirganta mengetuk pintu besar rumah itu. Ia juga memencet bel namun tak ada yang membuka pintu.
"Apa gak ada orang ya? Tapi mobilnya disini." Dirganta kembali mengetuk pintu itu tapi lebih keras, namun hasilnya tetap sama.
Saat Dirganta akan meninggalkan rumah itu, sebuah mobil nampak berhenti didekat mobilnya. Lalu turunlah kedua orang paruh ayah yaitu ayah dan ibu Intan.
"Loh kok nak Dirganta gak masuk? Atau udah mau pulang?" tanya Ibu Intan terkejut melihat Dirganta yang berada didepan rumah mereka.
"Enggak tante. Dirganta mau ketemu Intan. Ada yang mau Dirganta omongin, tapi Dafi tadi gak ada yang bukain pintu tante." Dirganta tersenyum kikuk.
"Ya udah ayo masuk." Ibu Intan membuka pintu rumah mereka, mempersilahkan Dirganta untuk masuk.
"Duduk disini dulu ya. Tante mau keatas dulu liat Intan."
Dirganta hanya mengangguk, lalu duduk di sofa rumah itu bersama ayah Intan. Kedua nya berbincang dengan serius.
Nyonya rumah besar itu membuka pintu kamar putrinya, menggelengkan kepala. Pantas saja putrinya itu tidak membuka pintu, rupanya karena ini.
"Sayang, bangun." Ibunya menepuk pelan pipi Intan. Intan yang merasa terganggu hanya bergumam kecil.
"Sayang, ayo bangun. Ada tamu tuh dibawah, kasian kalo nunggu lama." Akhirnya Intan pun membuka matanya.
"Siapa yang dateng ma?" Intan meregangkan otot-ototnya, Hari ternyata sudah hampir malam. Ia tertidur cukup lama."
Intan dan ibunya beranjak dari kamar itu menuruni tangga. Intan melihat siapa yang dikatakan mamanya. Seketika matanya langsung cerah, tak terlihat jika ia baru bangun.
"Dokter ngapain kesini?" tanya Intan to the point.
Dirganta yang mendengar suara gadis itu pun merubah arah pandangannya, dan melihat Intan yang sedang berjalan kearahnya.
"Saya mau ngomong sesuatu yang penting sama kamu." Dirganta berdiri dari duduknya.
"Ma pa, Intan ngomong dulu sama Dirganta ya." Intan berjalan lebih dulu, diikuti Dirganta dari belakang.
Keduanya duduk di kursi yang berada di taman belakang. Intan hanya diam, sedangkan Dirganta bingung harus memulai dari mana.
"Saya kesini mau nanya sesuatu. Di desa X terjadi longsor, jadi mereka butuh obat-obatan dan juga tenaga medis. Apa kamu bisa ikut berpartisipasi?" Dirganta tidak bisa berbasa-basi, memang sangat payah.
"Saya bisa kok dok. Tadi dokter Gina juga udah. ngirim pesan sama saya." Intan tidak tau bagaimana berbicara Dengan Dirganta. Ia masih sedikit marah sekarang.
"Oh ya, kenapa kamu pergi gitu aja dari mall tanpa kasi tau saya? Saya udah nunggu kamu 2 jam, tapi pas saya nanya ke penjaga tokonya, katanya kamu udah pergi dari pintu belakang." Dirganta menatap Intan. Ia menunggu jawaban dari gadis didepannya.
"Maaf dok. Saya tadi ada keperluan mendadak. Jadi saya gak bisa kasi tau dokter kalo saya pulang duluan." Pandangan Intan hanya tangannya yang tanpa sengaja meremas baju yang ia pakai.
"Saya tau kamu marah. Saya minta maaf jika saya udah lancang cium kamu. Bahkan dengan tega saya ngomong seperti itu sama kamu. Saya benar-benar merasa bersalah." Dirganta tanpa sadar menggenggam tangan Intan.
Jantung Intan memompa dengan cepat. Apa ia tidak salah dengar? Dirganta baru saja meminta maaf padanya bahkan merasa bersalah? Dirganta juga menggenggam tangannya.
Intan tidak tau harus bereaksi seperti apa.
"Saya udah maafin dokter kok. Saya juga gak marah sama dokter." Intan berusaha tetap tenang ketika mengatakannya. Ia gugup.
"Terima kasih karena udah mau maafin saya." Dirganta tersenyum, Ia lega sekarang. "Dan juga saya udah bilang jangan panggil saya dokter lagi. Panggil nama saya."
Astaga. Selamatkan Intan sekarang, Jantungnya hampir meledak. Intan takut Dirganta mampu mendengar detak jantungnya yang menggila ini.
"Sekarang ayo kita masuk. Nanti orang tua kamu heran lagi kenapa lama." Dirganta menarik tangan Intan lembut.
Hari itu keduanya memulai sebuah hubungan dengan pandangan yang berbeda-beda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments