Intan termenung dikamar nya. Besok adalah hari terakhir dokter Dirganta menjadi dokter seniornya menggantikan dokter Gina. Dan setelah ini mereka pasti akan jarang bertemu. Bahkan bisa jadi tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan Dirganta yang tidak bisa ditebak.
"Gimana ni? Bahkan sampe sekarang aku belum juga ngungkapin perasaan aku sama Dirganta." Intan menutup matanya. menghela nafas. Ia bingung harus bagaimana.
"Besok hari terakhir bareng Dirganta. Setelah ini gak tau apa bakal tetep deket lagi atau enggak. Kalau liat dari sifat Dirganta sih kayaknya bakal jadi orang baru pura-pura gak kenal."
"Dirganta pasti bakalan seneng banget besok karena aku gak bakalan sama dia lagi. Atau mungkin sekarang dia lagi pesta di rumahnya buat rayain hari besok." lanjutnya.
Intan mengambil ponsel nya berniat menghubungi Dirganta namun ia mengurungkan niatnya kembali. Intan kembali meletakkan ponsel itu di atas nakas.
"Mending aku tidur aja dulu. Kalau dipikirin sampe tahun dengan juga bakalan kepikiran. Besok bakalan jadi hari yang menyedihkan buat aku."
Intan menarik selimut. Menyelimuti dirinya, menutup mata dan pergi menuju alam mimpi.
Mungkin jika di mimpi dirinya dan Dirganta bisa bersama.
*****
Intan menuruni tangga dengan lesu. Tidak ada raut kebahagiaan disana. Ibu dan ayahnya yang melihat dia tidak bersemangat pun terheran karena biasanya setiap pagi putri mereka itu akan menampilkan senyum cerah menyambut pagi hari.
"Kenapa sayang? kok lesu gitu mukanya. Kamu gak enak badan?" tanya Ibu Intan sambil menempelkan telapak tangannya pada kening Intan. Suhu tubuh Intan normal, jadi tidak mungkin jika putrinya demam.
"Gak ada ma. Intan gak papa. Lagi gak mood aja hari ini."
"Kamu ada masalah sayang?" tanya papanya.
Namun kembali jawaban Intan tidak membuat kedua orangtuanya akhirnya diam. Tidak ingin membuat mood putrinya semakin buruk.
Intan mendudukkan dirinya di samping ibunya. Mengambil sarapan dan mereka pun memulai sarapan pagi itu dengan tenang. Namun terlampau tenang hingga hanya ada kesunyian. Orang tua Intan hanya saling melirik heran dengan raut wajah putri mereka itu.
"Intan berangkat dulu ya ma. bye ma pa."
Intan melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. Intan melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah. Ia sedih, besok dokter Gina akan kembali. Hari ini terakhirnya dekat dengan Dirganta.
Mobil yang dikemudikan Intan sampai diparkiran rumah sakit tempat ia koas. Intan turun dan berjalan lesu menuju lift. Untuk berjalan saya Intan rasanya malas.
Rekan-rekannya yang melihat ia berjalan lesu pun ikut terheran. Tidak biasanya Intan seperti kurang bersemangat. Biasanya ia akan memulai hari dengan ceria hingga mampu menyebarkan aura semangat pada yang lain tapi kali ini berbeda.
Saat Intan memasuki ruangan Dirganta ia tak melihat Dirganta didalam. Intan mengerutkan keningnya.
"Apa Dirganta belum dateng ya? Tumben banget. Biasanya dia selalu on time. Atau dia hari ini cuti? Tapi kayaknya gak mungkin deh. Kalau Dirganta gak dateng pasti ngasi kabar kan."
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Dirganta yang selalu terlihat tampan bahkan ketampanannya menurut Intan selalu bertambah setiap harinya.
"Dokter Dirganta baru nyampe ya? Tumben banget telat." Intan melipat tangannya di dada, merasa bangga karena datang lebih dulu.
Coba aja aku yang telat pasti udah diceramahi sampe kuping panas. batin Intan.
"Kamu pikir kamu lebih dulu nyampe dari saya. Saya udah lama nyampe disini, bahkan jauh sebelum kamu sampe, tapi karena saya ada rapat penting dengan dokter yang lain jadinya baru sekarang kamu lihat saya."
Intan yang mendengar itu jadi malu. Padahal dia sudah menyombongkan diri karena datang lebih dulu tapi ternyata dia tetap kalah cepat. Memang tidak bisa dibandingkan antara dirinya dengan Dirganta yang sangat produktif ini.
"Kenapa dokter gak ngabarin saya kalau dokter masih ada rapat. Dokter udah sarapan? kalau belum mau saya pesenin gak." tawar Intan.
Dirganta mengerutkan keningnya heran.
"Kamu bukan siapa-siapa saya, kenapa saya harus memberitahu kamu jika saya ada rapat dan saya sudah sarapan lagi pula saya tidak mau menerima sarapan dari kamu." ucap Dirganta dengan pedas tanpa tau perasaan Intan seperti apa.
Dan itu langsung membuat Intan terdiam. Benar sih untuk sekarang mereka belum ada hubungan. Tapi tidak tau kan kedepannya akan seperti apa. Hatinya sedikit nyeri saat mendengar Dirganta tidak mau makan sarapan darinya.
Kalau udah jadi pacar jangan nyuruh buatin sarapan ya. awas aja. batin Intan dengan halunya.
"Sekarang kamu pergi, periksa pasien yang ada didaftar ini. Saya masih ada rapat lagi dengan dokter lain. Ingat jangan lalai lagi, hari ini terkahir kamu sama saya. Jadi saya akan nilai kinerja kamu gimana buat laporan ke dokter Gina."
Dirganta pun pergi meninggalkan Intan yang masih tidak tau perasaannya seperti apa. Berharap dapat selalu bersama Dirganta karena hari terakhir malah sebaliknya. Lagi pula kenapa sih hari ini Dirganta sibuk banget, sebelum hari ini Dirganta tidak pernah sesibuk ini.
Memang hari yang sial. pikir Intan.
"Gimana ni? Pusing banget deh. Dirganta malah sibuk banget. Gimana mau tambah deket coba kalau kayak gini caranya." gerutu Intan setelah Dirganta menutup pintu ruangan itu.
"Kenapa sih Dirganta masih aja dingin. Didekati juga dia yang gak mau. Kalau dia punya pacar ya wajar, ini masih jomblo banyak gaya nolak-nolak perasaan orang lain."
"Eh tapikan nanti bakalan jadi pacar aku. Gak papa deh dokter Dirganta yang tampan dingin ke perempuan jadi as nanti udah jadi pacar aku masih tetap dingin ke perempuan lain."
Intan mengambil peralatannya dengan lesu dan pergi menjalankan tugas yang diberikan Dirganta padanya. Suasana hati nya masih buruk bahkan setelah bertemu Dirganta.
Sebelum memasuki ruangan pasien Intan mencoba menormalkan perasaannya dulu, suasana hatinya masih buruk, Tidak baik jika saat sedang badmood malah memeriksa pasien, pasien bukan malah sembuh malah tambah sakit melihat wajah dokter yang masam. Intan tidak menginginkan itu.
Intan berulang kali menarik menghembuskan nafasnya, hingga senyum cerah di pagi harinya timbul baru dia memasuki kamar nenek yang dulu mengobrol dengannya.
"Siang nek. Gimana keadaan nenek hari ini? Apa nenek ngerasa lebih baik?" Intan berjalan kearah nenek itu.
"Nenek udah mulai membaik kok nak Intan."
Intan mulai memeriksa nenek tua itu dengan telaten. Walaupun ia masih pemula tapi kemampuannya tidak bisa dianggap remeh, Intan sudah banyak belajar dari Dirganta makanya Dirganta memberi tugas seperti ini padanya.
Ya, hasil didikan keras Dirganta membuahkan hasil. Walaupun setiap hari harus makan hati karena perkataan Dirganta.
author: (itu mah bukan pemula namanya.)
"Udah selesai nek. Nenek jangan banyak pikiran lagi ya. Juga harus banyak-banyak istirahat. Supaya keadaan nenek semakin membaik lagi. Makannya juga harus lahap-lahap ya nek biar nenek bisa sehat kembali."
"Kalau nenek sembuh nanti nenek bisa kumpul lagi sama keluarga nenek, keluarga nenek pasti udah rindu banget sama nenek." lanjutnya.
Intan tersenyum mengambil kursi dan duduk di samping brankar nenek itu.
"Iya. Makasih ya nak. Oh ya gimana hubungan kamu sama dokter itu. Apa udah ada kemajuan?" Nenek itu tersenyum menggoda Intan.
Intan menunduk. Ia juga berharap jika ada kemajuan tapi malah sebaliknya. Dirganta bahkan selalu bersikap dingin padanya. Semua perhatian yang Intan berikan tidak mampu membuat hati beku Dirganta mencair.
"Belum nek. Bahkan hari ini Intan terakhir sama dokter Dirganta. Setelah ini Intan bakalan sama dokter Gina lagi." ucap Intan sedih.
"Gak usah sedih gitu nak. Apa dia udah tau kalo kamu punya perasaan sama dia?" tanya nenek itu berusaha menghibur Intan.
"Belum sih nek. Intan masih takut kalo ngungkapin perasaan Intan. Intan juga bingung harus ngapain. Takut dokter Dirganta malah benci trus tambah gak mau ketemu sama Intan."
"Hari ini kan hari terakhir kamu sama dokter Dirganta, gimana kalo hari ini aja kamu bilang sama dokter Dirganta. Siapa tau nanti dia juga suka. Kalau pun benci gak masalah, benci juga bisa jadi cinta kan."
Seketika raut wajah Intan berubah setelah mendengar itu. Senyum terbit dibibir merah muda itu. Setelah tugasnya selesai ia akan bicara dengan dokter Dirganta.
"Iya juga ya nek. Kalo gitu Intan pergi dulu nek. Makasih sarannya nenek. Intan harus segera selesain tugas Intan. Bye nek. Makasih."
Nenek tua itu tersenyum melihat Intan yang terlihat sangat bahagia. Ketika dia melihat Intan dia seperti melihat cucu perempuannya yang saat ini kuliah di luar negeri. Dia merindukan cucunya.
"Semoga dokter itu membalas perasaan anak baik seperti Intan." ucapnya dalam hati.
*****
Intan sedang berada di toilet. Tugasnya sudah selesai. Hari juga sudah mulai sore. Dan ia masih gugup sampai sekarang. Jantungnya berdetak kencang, berulang kali Intan menarik nafasnya dalam-dalam mencoba menetralisir rasa gugupnya. Tapi tidak berhasil.
Intan melihat dirinya di cermin.
"Gimana cara ngomongnya ya, Langsung ngomong atau ngajak makan malam dulu. Tapi kayaknya kalau ngajak makan malam dokter Dirganta gak bakalan mau deh."
Namun Intan salfok dengan wajahnya.
"Kok kayak dekil banget sih. Harus dandan dikit ni supaya Dirganta terpana kayak kemaren. Siapa tau nanti ia malah suka lagi"
Padahal wajahnya biasa saja. Wajahnya putih bersih, mungkin karena terlampau gugup jadinya Intan melihat wajahnya menjadi dekil.
Intan memoleskan make up tipis pada wajahnya. Ia sudah sedikit merapikan pakaiannya. Intan memegang dadanya. Jantungnya berdetak kencang. Ia jadi semakin gugup.
"Ayo Intan. Kamu pasti bisa. Gak boleh mundur. Kalau bukan sekarang kapan lagi coba ada kesempatan."
Setelah menyemangati dirinya. Kemudian memasukkan alat make-upnya kedalam saku seragamnya, Intan pun keluar dari toilet itu menuju ruangan Dirganta.
Intan berdiri didepan pintu ruangan Dirganta. Tiba-tiba rasa gugup menyerangnya kembali. Intan menarik nafasnya dalam-dalam. memejamkan mata. Lalu mulai membuka pintu di hadapannya.
Intan dapat melihat dokter Dirganta yang sibuk dimeja kerja nya. terlihat sangat fokus. Tanpa basa basi dan menunggu Dirganta menoleh ia pun berkata.
"Dokter Dirganta saya sebenarnya suka sama dokter bahkan sejak pertama kali saya liat dokter dihari pertama saya datang dilobi."
Dirganta yang mendengar itu pun mengangkat pandangannya dan melihat siapa yang mengucapkan hal konyol itu. Namun ia cukup syok ternyata itu Intan. Gadis batu juga cerewet itu.
Dirganta yang tak tau harus mengatakan apapun setelah mendengar pengakuan pun mengusir Intan.
"Kalo kamu cuma mau ngomong hal konyol sebaiknya kamu keluar dari ruangan saya. Saya lagi sibuk!!"
Intan terdiam. Dirinya sudah mengumpulkan keberanian tadi Dirganta malah mengusirnya.
"Saya bilang saya suka sama dokter." ucap Intan kembali menyatakan perasaan nya.
"Dan saya bilang keluar dari ruangan saya." balas Dirganta tidak ingin mendengar apapun lagi.
Intan yang mendapat penolakan pun kesal. Ia sudah berusaha mengumpulkan keberanian. Bahkan berdandan sedikit. Tapi malah ini yang ia dapat.
Intan mengepalkan tangannya. Ia benar-benar kesal juga sakit hati karena ditolak bahkan diusir. Kenapa sangat sulit mendekati dokter di depannya ini.
"Kalo dokter belum mau nerima perasaan saya gak papa. Tapi saya gak bakal nyerah. Saya bakalan buat dokter klepek-klepek sama saya. Ingat itu dokter Dirganta. Saya tunggu dokter yang menyatakan perasaan balik ke saya. Saya pamit pulang lebih dulu."
Intan berjalan keluar membanting pintu. Tidak peduli bagaimana tanggapan Dirganta dengan pintu ruangan yang sedikit dia banting.
Intan pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ia harus pergi menenangkan diri. Namun jika ia pulang ke rumah, orangtuanya pasti cemas nanti. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih.
Intan pun melajukan mobilnya menuju taman terdekat dari sana, mungkin taman memang pilihan yang bagus untuk saat ini.
Sementara disebuah ruangan bernuansa putih itu Dirganta menatap pintu yang dibanting Intan dengan heran. Ada apa dengan Intan. Bukankah sudah jelas jika ia tidak menyukai gadis itu. Pengusiran yang dia lakukan juga sudah menandakan jika dirinya menolak perasaan gadis itu.
Seharusnya Intan menerima penolakannya. Tapi gadis itu malah terlihat kesal bahkan membanting pintu ruangannya.
Dirganta benar-benar tidak mengerti bagaimana seorang Intan. Sangat sulit untuk ditebak. Tapi apa benar Intan menyukai dirinya? Ia bahkan tidak pernah bersikap lembut pada Intan. Apa benar cinta itu buta??
Intan jika diperhatikan memang terlihat cantik. Apalagi setelah pertemuan keduanya di mall kemarin, Dirganta bahkan tidak bisa tidur. Dia kepalanya hanya ada wajah gadis itu.
Dirganta menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin jika ia juga tertarik pada gadis itu. Tidak. Dirganta pasti salah. Pasti itu hanya kekaguman sesaat.
Dirganta kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia harus segera pulang. Tadi ibunya menelpon dan memaksanya agar pulang ke rumah. Dirganta sudah menolak, tapi Ibunya selalu punya cara tersendiri agar ia tidak bisa menolak perkataan ibunya.
Intan menatap danau didepannya. Ia sudah duduk di taman itu sekitar satu jam. Ia benar-benar patah hati. Ia ditolak mentah-mentah. Namun ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan membuat Dirganta membalas perasaannya.
Apa alasan Dirganta menolak dirinya, dia cantik, pintar, badannya bagus juga dia terbilang tinggi. Kalau untuk alasan Dirganta tidak memiliki perasaan padanya, kenapa tidak mencoba terlebih dahulu.
Mungkin jika mereka mencoba lama-lama perasaan Dirganta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi Dirganta malah menolak dirinya.
Intan akan menyusun kembali rencana bagaimana membuat Dirganta membalas perasaannya. Dirganta hanya miliknya.
Karena dia hanya akan menikah dengan Dirganta seorang.
Note author: Intan cegil sejak awal:)!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments