Salah paham?

Intan berdiri di samping Dirganta. Dirganta menyuruh nya agar memperhatikan apa ia yang lakukan dan sampaikan dengan fokus. Namun sedari awal fokus Intan bukan pada apa yang disampaikan Dirganta, melainkan fokus pada wajah tampan dokter itu.

Wajah Dirganta ketika fokus ternyata beribu-ribu kali lipat lebih tampan. Intan bukannya lebay, tapi yang dia lihat memang apa adanya.

"Duh, dari jarak segini aja udah ganteng banget. Bisa-bisa aku bakalan kena serangan jantung ni kalo gini terus. jantung please kerja samanya. Jangan buat malu, gimana kalo dokter Dirganta denger nanti." ucap Intan dalam hati.

"Apa kamu sudah paham dengan apa yang saya lakukan?" tanya Dirganta kepada gadis di sampingnya ini, Tapi tidak ada respon balik yang ia dapat. Rasanya sunyi..

Dirganta melihat gadis didepannya yang hanya termenung terlihat sama sekali tidak memperhatikan apa yang dia lakukan. Hah, Dirganta menarik nafasnya kasar.

"Kamu bener-bener menguji kesabaran saya ya. Dari tadi kamu cuman bengong aja. Apa kamu sudah paham dengan apa yang saya lakukan tadi?" ucap Dirganta mengulangi pertanyaannya membuat lamunan Intan buyar seketika.

"Maaf dok. Sa_saya tadi banyak pikiran dok. Bisa tolong ulangi lagi dokter. Kali ini saya bakalan fokus." pinta Intan mencoba membujuk Dirganta.

Jangan salahkan dirinya. Salahkan wajah tampan dokter ini saja.

Dirganta mendengar itu menjadi semakin kesal. Jika gadis didepannya ini tidak mendengarkan juga memperhatikan apa yang dia lakukan untuk apa dia sampai menjelaskan semuanya, hanya buang-buang waktu.

Dirganta lagi-lagi menghela nafasnya. Sudah berapa kali dia menghela nafasnya hari ini? Rasanya sudah tidak terhitung. Stok kesabaran nya juga sudah mulai menipis. Dirganta tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari nya untuk satu minggu ke depan.

Pulang bekerja nanti Dirganta harus pergi untuk menenangkan pikirannya. Agar besok kesabaran juga kewarasannya kembali pulih. Belum satu hari Dirganta rasanya sudah mau menyerah.

"Saya gak punya waktu buat orang seperti kamu. Jika besok kamu kembali berbuat hal seperti ini, kamu akan saya adukan kepada universitas kamu. Sekarang catat semua laporan ini dan jangan keluar jika belum menyelesaikan semuanya, hukuman kamu akan saya tambah jika kamu melanggar." ucap Dirganta keluar dari ruangannya meninggalkan Intan sendiri.

Intan yang melihat Dirganta keluar pun mengerjabkan matanya, lalu pandangan nya berpindah pada apa yang Dirganta suruh.

"Astaga banyak banget, kalo gini kapan selesai nya. Atau temenin kek disini. Ini enggak malah ditinggal, untung tampan plus udah cinta kalau enggak, gak tau deh."

Intan pun mendudukkan dirinya di kursi kerja Dirganta, Kemudian memeriksa dan mencatat semua laporan itu. Jika dia tau akan dihukum seperti ini dia pasti tidak akan memperhatikan wajah tampan itu tadi. Dia pasti akan fokus, dan dipastikan saat ini dia pasti sedang berada di kantin, memakan makan siangnya.

"Tahan dulu deh perut atau Dirganta bakalan ngamuk lagi. Dia kalau ngamuk serem soalnya." ucap Intan menyemangati dirinya.

Padahal ketika memeriksa pasien tadi hubungan keduanya sudah mulai membaik. Intan bahkan ragu jika dokter yang kemarin memarahinya adalah Dirganta. Tapi sekarang Intan tidak ragu lagi, ya benar. Dokter yang memarahinya kemarin benar Dirganta.

Intan tidak pernah membayangkan jika cinta datang dengan cara seperti ini. Walaupun pertemuan pertama mereka dibilang tidak mengenakan tapi Intan pikir itu tidak masalah.

Seperti kata pepatah Benci bisa menjadi Cinta.

Dan Intan sangat percaya dengan pepatah itu. Lagi pula selama dia koas disini masih banyak waktu untuknya bisa mendekati Dirganta. Selama Dirganta masih diketahui belum memiliki kekasih maka Intan masih memiliki kesempatan.

Memikirkan Dirganta membuat Intan jadi merindukan pemuda itu. Padahal baru 30 Dirganta keluar dari ruangan ini. Intan menghirup udara didalam ruangan itu. Bahkan aroma parfum Dirganta masih tercium di ruangan ini.

Intan berjalan, menyusuri ruangan Dirganta. Tapi siang dia belum sempat melihat-lihat ruangan ini karena Dirganta yang langsung membawanya pergi. Dan sekarang Intan dengan puas dapat menyusuri setiap inci ruangan Dirganta ini.

Untuk ruangan dokter senior Intan rasa ruangan Dirganta sudah cukup luas. Bahkan sangat luas, astaga. Ruangan ini juga jauh lebih besar dari pada ruangan dokter Gina.

Memangnya apa kedudukan Dirganta di rumah sakit ini hingga Dirganta mendapatkan ruangan sebesar ini. Intan rasa karena dokter Dirganta merupakan dokter yang kompeten. Ya mungkin karena itu.

Di ruangan itu bahkan terdapat perpustakaan kecil disudut dekat jendela. Juga sebuah pintu yang Intan yakini pasti kamar mandi. Tapi tidak sopan kan jika Intan masuk kesana.

Intan mengakhiri penyusuran nya dan kembali mengerjakan hukumannya. Intan harus cepat menyelesaikan nya jika tidak mau tinggal hingga larut malam.

Hari sudah sore ketika Intan melihat kearah jendela ruangan itu. Ternyata senja sudah menampakkan dirinya. Intan bahkan tidak sadar sudah beberapa jam yang dia lalui.

"Udah sore tapi belum selesai. Gimana ni. Capek banget tangan aku juga udah sakit, ayang Dirganta bener-bener keterlaluan sih ngasi hukumannya kalo gini. Setidaknya temenin kek atau bawa makan siang gitu, laper juga. Gak peka banget jadi cowok."

Intan menarik nafasnya lelah lalu. Jika menunggu kapan Dirganta peka mungkin akan menghabiskan waktu hingga dia selesai melakukan koas.

Intan pun kembali melanjutkan tugasnya. Dia harus tetap semangat. Demi masa depannya. Jika dia menyerah ditengah jalan maka sia-sia saja semua yang dia lakukan selama ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika Intan akhirnya menyelesaikan tugas yang diberikan Dirganta. Oh lebih tepatnya hukuman.

Intan meregangkan otot pinggangnya yang kaku karena terlalu lama duduk.

"Udah malem lagi mending pulang sekarang. Pasti udah sepi banget ni rumah sakit. Dirganta juga gak keliatan dari tadi, bener-bener ditinggal seharian aku mah."

Intan pun membereskan semuanya kemudian mengambil tasnya dan pergi dari ruangan Dirganta menuju lift.

Didalam lift itu hanya ada dia sendiri.

"Jangan takut. Gak usah takut. Gini doang mah kecil." ucap Intan mencoba menenangkan dirinya. Jantungnya lumayan berdegup kencang karena suasana yang sangat sunyi. Kenapa tiba-tiba sunyi begini. Dia merinding.

Dan degup jantung Intan bertambah kencang saat lift yang membawanya tiba-tiba berhenti dilantai 6 menambah rasa takutnya.

"Lah kok berhenti, apa ada orang yang mau masuk ya? Tapi kok pintunya gak kebuka-buka sih malah tetep nutup." Intan mencoba menormalkan detak jantungnya yang bertambah kencang. Bulu-bulu halus ditangannya berdiri, meremang. Ia merinding.

Tak lama lift kembali turun. Intan bernafas lega walaupun degup jantung tetap menggila. Lift itu pun telah sampai di basement yang digunakan sebagai parkiran.

Intan lalu mempercepat langkahnya menuju mobil merahnya. Namun saat mencari kunci mobilnya didalam tas ia dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namanya.

Intan melihat ke sekeliling tapi tidak ada orang. Apa dia salah dengar? atau dia berhalusinasi? Intan mengorek telinga nya mungkin hanya perasaan nya saja. Namun suara itu kembali terdengar dengan samar.

"Siapa? Apa ada orang?" tanya Intan berteriak menunggu jawaban tapi tidak ada orang. Suasananya benar-benar sunyi.p

"Gak usah iseng deh, Jangan nakut-nakutin. Ini udah malem, gak tau apa orang capek seharian kerja." tambah Intan mencoba berani. Diparkiran itu ia memang tidak melihat seorang pun, mobil yang terparkir bahkan sangat sedikit, mungkin karena parkiran disini jika malam hari cukup menyeramkan jadi orang-orang lebih memilih parkiran yang berada diluar.

Intan mengedarkan matanya ke sekeliling. Matanya kemudian melihat kearah sudut parkiran. Di sana terparkir sebuah mobil berwarna hitam. Tapi karena jarak juga cahaya yang minim, membuat Intan tidak tau mobil siapa itu.

Tapi tak lama matanya membulat. Ia berteriak kencang. Intan segera berlari masuk kedalam mobil dan menancap gas nya pergi meninggalkan rumah sakit itu. Tidak memperdulikan siapa yang memanggil nya tadi.

Intan sudah memasuki jalan raya. Intan menormalkan detak jantungnya dan menarik nafasnya. "Itu siapa sih. Gak mungkin juga hantu, Tapi pakaian nya putih, kakinya gak ada. Bikin takut aja. Mana dia cuman berdiri diem doang. Ah bodo amat la, sekarang yang penting harus sampai rumah dulu."

Ketakutan Intan berkurang saat perutnya berbunyi. Ah dia lupa jika dirinya belum makan siang gara-gara Dirganta.

Sementara diparkiran rumah sakit Dirganta menatap mobil merah yang sudah pergi dengan kecepatan penuh itu dengan heran. Alisnya berkerut tak habis pikir.

"Dia kenapa sih, kok kayak ketakutan gitu. Padahal aku cuma mau nanya apa tugas yang aku kasih udah selesai atau belum." ucap Dirganta mengingat teriakan Intan tadi. Bersyukur hanya ada mereka berdua, Jika ada orang lain bisa-bisa Intan dikira sedang dijahati.

Saat hendak pulang dia baru teringat jika gadis itu pasti belum makan siang karena memang tugas yang dia kerjakan sangat banyak dan juga dia yang melarang Intan keluar sebelum tugas yang dia berikan selesai.

Sebut saja dia kecam, Dirganta tau itu. Tapi dia sudah rela-rela membeli makanan untuk gadis bebal itu, namun saat melihat gadis itu yang sudah mau pulang membuat dia memanggil nama nya untuk memberikan makanan yang dia bawa. Namun yang dia dapat malah teriakan takut.

Dirganta menatap bungkusan makanan ditangannya. Jika dia tau akan seperti ini maka dia tidak akan membelikan gadis itu makanan. Dan juga mungkin dia sudah beristirahat di apartemennya.

Mungkin makanannya akan Dirganta berikan kepada satpam penjaga di kawasan apartemen nya saja.

"Emang gadis aneh."

Dirganta lalu memasuki mobilnya, melaju membelah jalanan padat kota Jakarta dimalam hari menuju apartemennya.

*****

Intan kini sedang bersantai di atas kasur empuk miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, terlalu dini jika ingin tidur. Intan memang selalu tidur di atas jam 10 malam karena semenjak kuliah, Intan harus selalu belajar dengan tugas yang tidak ada habisnya. Jadi dia sudah terbiasa.

Tapi disamping karena itu sering kali Intan juga maraton Netflix. Ya, Intan sangat suka menonton film, drama-drama baik genre romantis, komedi bahkan horor.

Intan tidak pernah pilih-pilih jika akan menonton. Yang jelas ketika film atau drama itu ditayangkan maka Intan pasti akan menontonnya pada malam harinya.

"Dirganta tadi pergi kemana ya? kok gak balik-balik lagi? Apa dia udah pulang kali ya." Intan menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan Dirganta membuatnya pusing.

"Nomor telepon nya juga gak ada. Kan gak mungkin aku hubungin dokter Gina cuman buat mintak nomor Dirganta. Coba cari di Instagram deh, siapa tau nemu akunnya."

Pun Intan mengetikkan nama lengkap Dirganta di sana, dan keluar. Intan bersorak kecil. Syukurlah jika Dirganta memiliki akun media sosial. Intan membuka akun Dirganta tapi keningnya malah berkerut heran menatap akun itu.

"Ini bener akunnya? kok gak ada foto sama sekali sih. Tapi pengikutnya banyak banget." Ucap Intan heran.

"Coba dm deh, siapa tau emang bener akun Dirganta kan." Intan lalu mengirim pesan pada Dirganta. Intan gugup bukan main menunggu balasan. Tapi sudah lama menunggu Intan tak kunjung mendapat balasan.

"Apa mungkin cuma akun fans dia doang ya. Tapi kalau akun fans masa gak ada foto nya satu pun. Atau bener akunnya tapi dia lagi sibuk."

Saat tengah asyik melamun Intan merasakan jika ponsel yang dia pegang bergetar. Intan lalu melihat layar ponselnya, matanya membulat sempurna. Intan langsung mendudukkan dirinya saking kagetnya.

"Apa ini, ini bener gak sih?? Ini gak mimpi kan? Dirganta bales dm aku?? Oh may God harus bales apa ni."

Intan merasa sebentar lagi jantungnya akan meledak, Ia bahkan senyum-senyum sendiri sudah seperti orang gila. Senyum bodohnya tidak dapat dia sembunyikan. Jika ada yang melihat senyuman maka orang itu akan jijik.

"Hmm tenang, tenang jangan panik. Harus tetap santai. Tapi kalo gini gak bisa santai. Aaaa." Intan menyembunyikan kepalanya dengan bantal lalu berteriak tak ingin kedua orangtuanya mendengar teriakannya. Intan benar-benar terlihat seperti ABG yang baru mengenal cinta.

Intan pun memutuskan untuk tidak membalas dm itu lagi, Intan hanya memfollow akun Dirganta. Jika dia teruskan dipastikan malam ini dia tidak akan bisa tertidur. Kalau dia begadang maka bisa-bisa dia kembali terlambat seperti tadi. Dan jangan lupakan jika dokter seniornya sekarang adalah Dirganta bukan dokter Gina.

Intan memilih untuk tidur.

"Sekarang mending tidur dulu deh, tapi kalo gini gak bisa tidur. Malam ini pasti mimpinya indah banget."

Intan meletakkan ponselnya di atas nakas, pun dia menutup matanya, mencoba tidur walaupun sulit.

Sementara disebuah apartment terlihat seorang laki-laki yang sedang duduk di atas ranjang king size tanpa mengenakan atasan sambil melihat ponselnya dengan kesal.

"Kok bisa ke pencet emoticon lambai sih. Pasti nanti gadis bebal itu bakal salah paham lagi."

Saat hendak menghapus pesannya, Dirganta terlambat. Intan ternyata sudah membaca apa yang dia kirim. Dirganta menarik nafasnya pasrah. Dia akhirnya hanya membiarkan pesan itu. Lagian sudah terlanjur kan.

Dirganta meletakkan ponselnya di atas nakas. Membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata menuju alam mimpi. Dirganta harus menyiapkan dirinya besok untuk menghadapi kelakuan Intan yang selalu berhasil memancing emosinya.

Malam itu keduanya memulai kesalahpahaman yang berujung pada takdir yang membuat mereka selalu terikat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!