Intan sedari tadi hanya mengikuti Dirganta, bak anak ayam yang mengekor pada induknya. Dirganta bahkan sudah menyuruhnya pergi dan mengusirnya dengan cukup kasar. namun ia tidak mau. Ya Intan yang keras kepala, jadi sudah tidak heran.
"Dokter mau ya nanti malem datang ke rumah saya. Mama sama papa saya undang dokter loh buat makan malam sebagai tanda terima kasih karena udah mau anter saya kemarin. Dokter Dirganta harusnya bangga karena cuman dokter laki-laki yang pernah diundang makan malam ke rumah saya." ucap Intan Intan panjang lebar sambil menampilkan raut wajah memohon.
"Saya gak bisa. Dan katakan pada kedua orang tua kamu tidak perlu mengundang saya makan malam hanya untuk berterima kasih karena saya tidak mau. Dan juga kamu yang memaksa saya untuk mengantarkan kamu pulang, Bahkan kamu juga mengancam saya." ujar Dirganta membela dirinya.
Untuk apa dia berbangga diri hanya karena menjadi orang pertama yang diundang makan malam ke rumahnya. Dirganta bahkan tidak mau lagi untuk hanya untuk melewati rumah gadis keras kepala itu. Dan juga Dirganta tidak peduli dan tidak memiliki perasaan apapun pada putri mereka itu. Jadi tidak perlu sampai begitu nya.
Dirganta hanya acuh, ia tetap pelaksanaan pekerjaan walaupun ada lalat pengganggu (jahat banget Intan dibilang lalat). Dirganta dari tadi sudah mencoba sabar. Namun Intan tetap tak memberinya waktu tenang.
Dirganta menghela nafasnya "Keputusan buat nerima permintaan dokter Gina salah besar. Malah jadi Boomerang ke aku. Harusnya aku tolak aja langsung pada saat itu." ucap nya dalam hati.
"Apa dokter tega biarin mama saya udah capek-capek masak buat dokter tapi dokter gak mau nerima ajakan mereka, pasti mereka sedih banget nanti. Dokter gak kasihan sama kedua orang tua saya?" Intan mencoba mendramatisir keadaan agar Dirganta mau.
"Saya udah bilang kalo saya gak bisa. Kalo kamu masih bersikeras saya bakalan drop out kamu dari rumah sakit ini, Dan juga untuk apa saya kasihan sama kedua orang tua kamu. Saya saja tidak mengenal mereka berdua. Dan juga saya tidak ada hubungan apapun dengan kamu jadi tidak perlu saya harus merasa iba." balas Dirganta sambil mengancam Intan.
Ya Dirganta hanya bisa terus mengancam Intan dengan mengatakan akan mengeluarkan Intan dari rumah sakit itu atau bahkan membuat nilai Intan jelek. Karena dia tidak tau lagi bagaimana cara mengancam gadis itu untuk tidak berulah.
"Dokter gak bisa gitu dong. Ini kan urusan pribadi, masak harus sampai drop out . Dokter ni jahat banget, selalu ngancam saya. Kalau untuk sekarang hubungan kita memang senior dan junior tapi untuk kedepannya kan kita gak pernah tau dokter."
Intan dibuat kesal. Dirganta pasti selalu mengancamnya seperti ini.
"Hubungan? Bahkan setelah dokter Gina kembali nanti saya harus mengadakan syukuran karena saya terbebas dari kamu. Jadi untuk kedepannya saya tidak akan berhubungan dengan kamu. ucap Dirganta dengan pedasnya.
"Ya udah kalo dokter gak mau, saya cuma bisa berharap sampai disini. Terima kasih. Dah dok!"
Intan pergi dari sana melangkah menuju kantin untuk mengisi perutnya, adu mulut dengan Dirganta ternyata harus membutuhkan energi yang kuat. Intan akan mengisi amunisi nya dulu sebelum kembali berperang nanti dengan Dirganta.
Intan mendudukkan dirinya ditempat biasa ia makan siang, dan seperti biasa dia hanya sendirian.
"Kok perkataan aku tadi ambigu ya. Saya cuma bisa berharap sampai disini?? Kok kayak pacar yang udah nyerah sama sikap cowok nya sih."
Intan menggeleng-gelengkan kan kepalanya tidak mau.
"Walaupun Dirganta suatu saat nanti jadi pacar aku, aku gak bakalan nyerah gitu aja. Aku akan tetap bertahan. Masa udah dapetin dengan susah payah, malah mau nyerah gitu aja. Kan gak mungkin."
Saat Intan sedang asyik melamun terdengar teriakan seseorang yang memanggil namanya.
Intan menolehkan kepalanya mencari siapa orang yang memanggil nya, sontak matanya membulat. Ya Tuhan, berapa lama dia sudah tidak melihat orang yang berlari kearah nya dengan senyuman manis terbit diwajahnya itu.
Intan berdiri dan langsung memeluk orang didepannya. Keduanya berpelukan dengan erat.
"Astaga, aku gak nyangka banget kalo kita bakalan ketemu disini. Aku rindu banget sama kamu Intan." Orang itu memeluk Intan dengan erat.
Perpisahan mereka sudah cukup lama. Bahkan mereka tidak pernah lagi berkirim pesan.
"Aku juga rindu banget, udah lama kita gak ketemu. Kamu apa kabar? Dan juga kamu ngapain kesini? Ada yang sakit?"
Intan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia terharu, Ia dan sahabatnya itu sudah berpisah selama 6 tahun. Ketika bangku sekolah, Sahabatnya itu harus ikut pindah dengan orang tua nya karena pekerjaan ayah sahabatnya itu yang mengharuskan mereka untuk pindah.
"Kamu kerja disini Tan?" Tanya Liora, sahabat Intan. Tidak menjawab pertanyaan Intan.
"Enggak kok, masih koas. Tapi gak lama pasti aku bakalan kerja disini juga. Doain ya" Intan tidak percaya jika orang yang duduk didepannya ini adalah sahabat nya.
"Ngomong-ngomong ngapain kamu kesini? Siapa yang sakit?"
Liora akhirnya mau menjawab pertanyaan Intan. "Mama aku sakit Tan, jadi dirawat disini. Kami udah pindah kesini sekitar satu tahun yang lalu. Kondisi mama tiba-tiba drop." Liora menundukkan kepalanya sedih atas apa yang dialami ibunya.
"Yang sabar ya Ra, pasti tante Ima bakalan cepet pulih kok. Kamu tenang aja ya." Intan menggenggam tangan sahabatnya itu, berusaha menguatkan sahabatnya itu.
"Makasih ya Tan, oh ya. Aku boleh minta nomor telepon kamu gak sih. Nomor yang lama udah hilang soalnya. Supaya nanti kita bisa ngumpul bareng lagi"
Intan mengambil ponselnya dan menyerahkan nya pada Liora.
"Boleh lah, kok jadi sungkan gini sih. Santai aja, kita kayak baru kenal aja."
Liora menyimpan nomor Intan begitupun sebaliknya. Keduanya berbincang, bercerita panjang lebar untuk melepas rindu yang selama ini melanda keduanya.
"Ya udah kalo gitu aku pergi dulu ya, Mau liat keadaan mama dulu. Bye Intan."
Intan mengangguk, dia melihat sahabatnya itu sampai tak terlihat lagi, baru berdiri ikut meninggalkan kantin menuju ruangan Dirganta.
*****
"Kamu dari mana aja, kamu gak tau kalo pekerjaan kamu masih banyak. Kamu malah pergi entah kemana."
Intan baru sampai di ruangan Dirganta namun Dirganta sudah lebih dulu mencecarnya dengan banyak nya pertanyaan bahkan sebelum dia bisa membuka mulutnya.
"Saya dari kantin dok. Saya laper, trus sahabat lama saya dateng. Kami ngobrol bentar. Baru saya langsung kesini, Lagian kan tadi masih jam istirahat, bahkan waktu istirahat masih ada 5 menit lagi." ucap Intan menunjukkan jam pada ponselnya. Intan berusaha menjelaskan pada Dirganta, Kenapa sih pemuda itu selalu sensi.
"Saya gak peduli kamu dari mana! Yang jelas kalo kamu udah lalai lagi dari tugas kamu. Dan juga siapa suruh kamu bantah ucapan saya. Seorang dokter itu harus bersiap siaga walaupun waktu masih banyak. Bayangkan jika ada pasien yang kritis dan kmu tidak mau memeriksanya karena waktu istirahat kamu masih ada 5 menit lagi. Kamu akan menghilang nyawa seseorang dengan alasan kamu. Kamu benar-benar minta dihukum ya."
Ya Intan tau jika dia salah. Dia sadar, Bahkan sangat sadar. Dan benar ucapan Dirganta, harusnya Intan tidak menyia-nyiakan waktu karena nyawa seseorang berada menjadi taruhannya. Dan itu memang resiko seorang dokter.
Dirganta berjalan kearah Intan, berhenti tepat didepan gadis itu.
Intan yang melihat Dirganta berjalan kearahnya pun jadi gugup. Jantungnya berdegup kencang. "Jantung tolong kerja samanya ya, jangan malah joget didalam sana." batin Intan berusaha menormalkan degup jantungnya.
Dirganta memajukan wajahnya, membuat Intan semakin gugup. Telinganya bahkan memerah.
"Sekarang kamu bersihin ruangan saya. Tapi ingat jangan sampai ada barang yang tercecer atau hilang. Harus bersih, tidak ada debu sedikitpun, kalau enggak hukuman kamu akan saya tambah."
Setelah mengatakan itu Dirganta pun pergi meninggalkan Intan yang membulatkan matanya terkejut.
Astaga dia berpikir jika Dirganta akan menciumnya, seperti di drakor-drakor atau pun novel romantis. Namun ternyata ia salah. Apanya yang dicium, ia bahkan harus membersihkan ruangan yang penuh dengan dokumen ini.
Intan memijit pelipisnya pelan. Ia benar-benar akan pingsan. Intan menarik nafasnya dan mulai melakukan apa yang Dirganta perintahkan. Jika dia menolak pasti Dirganta akan kembali mengancamnya. Terkadang Intan bertanya-tanya. Dirinya ini calon dokter atau OB. Karena sering kali Dirganta menghukumnya dengan membersihkan ruangannya.
Mungkin Intan merangkap sebagai asisten sekaligus pembantu.
Setelah kurang lebih 3 jam, Intan sudah selesai membersihkan ruangan Dirganta. Intan meregangkan ototnya. Jika Ia tidak harus membaca satu-satu dokumen itu untuk memisahkan mana yang bisa dibuang atau tidak, Hukumannya pasti akan cepat selesai karena sebenarnya ruangan itu tidak kotor sama sekali.
"Pinggang ku bener-bener sakit. Istirahat disini dulu deh."
Intan merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruangan itu. "Rasanya nyaman banget lagi." Saking nyamannya Intan bahkan tak sadar jika ia sudah tertidur dengan pulas nya.
Dirganta melihat jam tangannya, hari sudah malam. Ia baru teringat jika ia memberi Intan hukuman. Dirganta harus melihat apakah Intan sudah selesai atau belum.
Sebenarnya Dirganta tadi juga sedikit gugup saat dia tersadar jika dirinya berjalan mendekat kearah Intan. Bahkan jarang wajah mereka sangat dekat. Dirganta yang melihat telinga Intan memerah juga semakin membuat dia gugup hingga akhirnya Dirganta dengan buru-buru pergi meninggalkan ruangannya agar Intan tidak bisa melihat wajahnya yang memerah.
Dirganta mempercepat langkahnya, membuka pintu ruangannya lalu masuk kedalam.
Ruangan itu sudah bersih dan rapi. Ekor matanya tak sengaja melihat seorang perempuan yang tertidur di sofa ruangan kerjanya.
"Malah tidur, bukannya pulang!! Hei, bangun. Kamu mau nginep disini?" ucap Dirganta mencoba membangunkan Intan, Tapi sang empu tak mau membuka matanya.
Dirganta menyesal sudah tersipu tadi. Jika seperti ini bukannya gugup malah dia jadi kesal.
"Gadis satu ini benar-benar nyusahin banget., udah keras kepala, cerewet, dan sekarang bertambah lagi jadi nyusahin."
Menghela nafas lelah, Dirganta akhirnya menggendong Intan, Ia terpaksa melakukan ini. Ingat ia hanya terpaksa.
Dirganta mendudukkan Intan di kursi samping kemudi, memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu, kemudian ikut masuk kedalam mobilnya.
Dirganta melajukan mobil itu membelah jalanan padat malam hari Kota Jakarta yang terlihat sedikit ramai.
Dirganta melihat kesamping nya, Intan masih tertidur lelap. Apa wanita itu terlalu lelah? Apa ia memberikan hukuman yang terlalu berat? Jika ia maka Dirganta sudah keterlaluan.
Bahkan gadis itu tidak sadar jika dia sudah dipindahkan, digendong dengan jarak yang tidak dekat. Jika ada yang menculik gadis itu mungkin saja gadis itu tidak akan menyadarinya.
Dirganta memperhatikan wajah tertidur Intan yang terlihat polos. Jika diperhatikan wajahnya ternyata cukup cantik dan imut. Hidungnya sedikit mancung, wajahnya tirus dengan bulu mata yang lentik serta alir yang tebal.
Dirganta menggelengkan kepalanya. Apa yang ia pikirkan. Apa ia berpikir jika Intan cantik dan imut??? Tidak mungkin.
Dirganta menambah kecepatannya. Ia harus segera sampai di rumah gadis ini sebelum kewarasannya hilang.
Dirganta membuka sabuk pengaman Intan lalu menggendong gadis itu turun. Dirganta menendang pelan pintu rumah itu, agar sang pemilik rumah keluar. Karena tangannya yang sudah terisi tubuh Intan membuat dia tidak bisa memencet bel. Tak lama, seorang paruh baya membuka pintu dengan raut wajah kesal namun seketika berubah menjadi terkejut.
"Astaga Intan, kamu kenapa nak?" Wanita paruh baya didepannya terlihat panik.
"Tenang aja tante. Intan baik-baik aja kok. Dia cuma ketiduran aja." Dirganta menjawab pertanyaan wanita paruh baya didepannya. Sepertinya wanita yang didepannya ini adalah Ibu Intan.
"Pa, papa ayo turun sini, cepetan." teriak ibu Intan memanggil suaminya untuk turun kebawah.
"Ada apa ma? kok teriak-teriak?" Ayahnya berjalan kearah mereka.
"Ini pa, Kata dokter tampan ini, Intan ketiduran. Papa tolong gendong intan ke kamar nya ya."
Ayah Intan mengangguk. Dia mengambil putrinya dari gendongan Dirganta kemudian membawa putrinya itu ke kamar, lalu turun kembali kebawah untuk menemui pemuda yang sudah repot-repot membawa putrinya pulang.
"Terimakasih dok, karena udah bawa putri saya pulang. Maaf repotin dokter. Oh ya, nama dokter tampan siapa ya?" tanya Ibu Intan benar-benar kepo. Baru kali ini putrinya diantar seorang laki-laki bahkan menggendong putrinya yang tertidur itu.
"Nama saya Dirganta tante. Saya dokter senior nya Intan." Ucap Dirganta memperkenalkan diri.
"Dokter yang kemarin anterin anak saya juga ya? Oh ya maaf dok, Dokter mau masuk dulu gak? Saya udah masak banyak buat dokter. Ayo ayo masuk dulu dok, gak udah sungkan."
Valen menarik Dirganta masuk. Dirganta hanya diam, tidak berani menolak saat melihat tatapan berharap dimata paruh baya itu. Menolak pun rasanya tidak berguna karena sebelum menjawab dirinya sudah masuk kedalam rumah itu.
Mereka memakan makan malam itu dengan berbagai perbincangan. Melupakan Intan yang tertidur di kamar.
Dirganta pikir orang tua Intan merupakan merupakan tipe orang tua yang membosankan, tapi ternyata tidak. Mereka sangat welcome juga selalu tau batasan dari pertanyaan mereka.
Mereka juga tidak memaksa Dirganta untuk menjawab pertanyaan mereka. Bolehkah Dirganta nyaman berada disana?
Kalau boleh haruskah Dirganta datang kembali?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments