PERBINCANGAN DUA WANITA

Tak jauh dari posisi Sabina berada, sebuah mobil sedang mengarah ke Apartemen yang menjadi kediaman Sabina.

Sang lelaki yang merupakan Edo tengah mengendarai mobil sedan keluaran terbaru dengan santainya. Netranya sedang mengedar pandang ke sekitar dalam perjalanan menuju Apartemen saat tiba-tiba ia kaget melihat sosok yang dikenalkan tak jauh dari posisi mobilnya berada, pedal rem pun langsung diinjaknya dengan cepat.

"Mas, berhenti mendadak sih? Ngagetin aja!" imbuh Arumi spontan.

"Sorry!" kata Edo menepikan kendaraan yang ia kemudikan.

"Kok berhenti di sini?" tanya Arumi lagi yang bingung sebab sesuai tujuan awal mereka akan ke sebuah apartemen, tapi baru sampai di taman di sekitaran apartemen suaminya sudah menepikan mobilnya.

"I-tu Sabina," lirih Edo menatap dua wanita yang tengah duduk di bangku taman. Netra Arumi langsung memindai dua wanita sesuai arahan mata Edo.

"Sabina wanita yang berjilbab mocca!" terang Edo lagi melihat tatapan Arumi masih ke arah bangku taman seolah sedang menerka yang mana diantara keduanya yang merupakan Sabina, wanita yang menarik hati suaminya.

"Oh," decak Arumi singkat. Ia tampak menunduk setelahnya. Edo yang melihat perubahan wajah Arumi langsung menggenggam jemari Arumi erat.

"Ma-af," lirih Edo. Arumi melirik Edo singkat dan mengangguk.

"Kau sungguh akan membantuku meyakinkan Sabina, kan?" tanya Edo lagi. Arumi kini menatap lekat wajah Edo.

"Katakan bahwa kamu tak akan membandingkan kami dan akan berlaku adil!"

Edo mencium jemari Arumi lalu berkata. "Kamu adalah cinta pertamaku, Arum. Kamu tetap pemilik hatiku. Pikirkan lah tentang Sabina yang akan melahirkan keturunan kita." Arumi membuang wajahnya sekilas dan menatap Edo lagi. Ia mengangguk.

"Terima kasih. Kita turun, yuk!"

"I-ya."

Berjarak lima meter, Sabina yang sebelumnya duduk bersama Viola kini berdiri mendekati Zio. Sabina berkata pada Zio dengan lembut mengajak putra kecilnya itu untuk pulang. Sabina merasa Zio harus beristirahat.

Zio memberengut menatap wajah Sabina. Nyatanya Zio masih ingin menghabiskan waktu lebih lama di wahana bermain. Zio takut esok Sabina akan bekerja dan tak ada waktu lagi untuknya seperti malam itu.

"Zio, kok malah bengong. Pulang yuk, Sayang! Bunda sudah mengantuk nih," lirih Sabina berusaha meyakinkan Zio. Zio menggeleng.

"Jadi Zio masih ingin main?" Zio mengangguk.

"Kita mainnya di kamar saja, bagaimana? Sambil Bunda bacakan buku cerita sama Zio, mau?"

"En-ngak," kata Zio lantang kini.

"Kenapa Zio nggak mau pulang? Emang Zio nggak capek, Nak?" tanya Sabina ingin tahu yang dipikirkan Zio.

"Zio masih mau main di-sini. Be-sok Bunda kerja!" jawab Zio yang membuat Sabina tercekat. Putra kecilnya ternyata sangat takut tak bisa menghabiskan waktu malam hari bersama Sabina lagi. Sabina mengusap lembut kepala Zio dan menciumnya, Sabina tak menyangka Zio yang masih berusia lima tahun sudah bisa berpikir mengenai hal semacam itu, ia sangat peka.

"Zio, dengar! Mulai malam ini, Bunda janji akan selalu bermain dengan Zio. Kita bisa bermain di wahana seperti malam ini lagi besok, bisa membacakan cerita untuk Zio dan tidur memeluk tubuh Zio."

"Bunda nggak bo-hong?"

Sabina tersenyum. "Enggak dong, Sayang!" Sabina mengarahkan jari kelingkingnya. "Bunda janji!"

Wajah semringah langsung tertangkap mata Sabina. Ia senang. Ketiganya langsung beranjak meninggalkan Taman. Sabina yang melihat beberapa kali Zio menguap meraih tubuh Zio ke dalam gendongannya, ia berjalan setelahnya bersama Viola.

Sabina kembali berbincang dengan Viola, namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara lelaki yang asing berada tak di belakangnya. Sabina dan Viola kompak menoleh dan terhenyak setelahnya. Sabina dan Viola melihat sepasang wanita dan pria yang sedang menatap mereka.

"Sabina," sapa sang lelaki lagi terhadap Sabina. Sabina berdecih. Dia Edo lelaki yang berada di hadapannya sungguh tak bisa menjaga perasaan wanita di sampingnya yang Sabina adalah istrinya. Sabina membuang wajahnya.

"Aku bisa minta waktumu sebentar, Bina," kata Edo lagi.

"Untuk apa Bapak datang? Apa kata-kata saya tempo hari belum jelas?" ucap Sabina lantang. Ia melirik ke arah Arumi yang sedang menatap ke arahnya dengan sorot yang tampak tenang, tapi Sabina yakin semua sesungguhnya tak baik. Tak ada wanita manapun yang akan siap berbagi, itu pendapat Sabina.

"Bina, tolong! Biarkan saya bicara dulu! Oh ya, kenalkan ini Arumi istri saya."

"Saya tak ingin mengenal istri Bapak!"

"Bina, please!" Edo mengiba. Sabina paling tak bisa melihat orang memohon padanya.

Sabina merasakan kepala Zio semakin lemas bersandar di bahunya. Zio sudah tertidur. Ia menatap ke arah Viola.

"Bisa tolong bawa Zio ke dalam, Vi?" kata Sabina dan Viola mengangguk. Ia meraih tubuh Zio dan menggendongnya.

"Aku masuk duluan ya, Mbak!"

"Iya, maaf merepotkan kamu." Viola tersenyum.

"Kita duduk di sana, Bina!" kata Edo setelahnya menunjuk kursi panjang yang sebelumnya ia dan Viola duduki. Sabina mengangguk.

"Hai Sabina," sapa Arumi setelah keduanya duduk di kursi sementara Edo izin membeli minuman. Edo memang sengaja memberi waktu keduanya berbincang.

Sabina mengangguk menanggapi sapaan Arumi.

"Sabina, perkenalkan saya Arumi. Oke kita akan langsung saja. Begini, saya sudah tahu semua yang terjadi, tentang kamu dan mas Edo, tentang keinginan mas Edo tepatnya. Sabina, saya mohon terimalah pinta Edo. Kasihanilah kami yang begitu mendamba anak, mas Edo sangat ingin memiliki anak. Aku pun setelah melihatmu yakin kamu wanita baik, kita akan bersama-sama membahagiakan mas Edo. Saling rukun berada di sisinya. Ka-mu mau kan menolong ka-mi?"

Sabina tersenyum getir. "Kenapa Mbak membohongi diri Mbak? Yakin Mbak siap dimadu? Mbak, ayolah! Jangan bodoh. Lupakan rencana ini! Jangan masukkan wanita mana pun dalam rumah tangga Mbak! Yakin lah kelak kalian akan memiliki anak sendiri, Allah SWT itu Maha Baik, doa kalian pasti dijabah, kalian hanya perlu bersabar!" ucap Sabina. Arumi menatap Sabina dengan pancaran sedih yang tak ditutupi kini.

"Tapi Mas Edo tak bisa sabar!"

"Karena Mbak tak jujur! Katakan pada mas Edo bahwa kondisi kesehatan Mbak juga baik. Mbak bukan penyebab anak itu tak kunjung hadir, tapi memang semua kuasa Allah SWT yang belum menakdirkannya," lantang Sabina.

"Tapi tetap saja aku belum bisa memberi anak! Apa bedanya aku dengan wanita mandul!"

"Astagfirullah, Mbak! Mbak sudah shuudzon pada Allah. Bertaubatlah Mbak!"

Air mata seketika menetes dari pelupuk mata Arumi, kesedihan itu tak terbendung. Hal yang selama ini ia tahan sendiri tak bisa ia tutupi di hadapan Sabina. Sabina sedih melihat kesedihan Arumi. Ia merasakan berada di posisi Arumi yang hampir menyerah sementara suaminya meragukannya. Sabina meraih jemari Arumi dan menggenggamnya, membantu meredakan kesedihan Arumi.

"Please Sabina, terima lah mas Edo! Apa kurangnya dia? To-long bantu a-ku!" lirih Arumi lagi dengan air mata terus membasahi pipi.

"Ini bukan solusi, Mbak. Ja-ngan lakukan i-ni! Berjuang lah bersama mas Edo, saling berangkulan menghadapi ini, luap kan setiap gundah Mbak pada mas Edo! Aku masih melihat mas Edo begitu mencintai Mbak Arumi, aku yakin ia akan memahaminya!"

"Ka-mu melihat i-tu? Ka-mu yakin?" Sabina mengangguk, tangisan itu pun kembali pecah. Arumi mendengar hal yang belakangan mulai ia ragukan, rasa Edo padanya.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus bahagia

2022-11-06

0

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

Mbak Arumi please deh,jangan mendzolimi diri sendiri dg membawa perempuan lain masuk ke rumahtanggamu

2022-10-07

0

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

Pak Edonya sdh periksa belum, kalo nggak berdua deh bareng periksa kesuburan. kan kalo ada masalah bisa segera ditangani ahlinya

2022-10-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!