"Jadi sejak kapan Abang mencurangi aku?"
Sabina menatap lekat wajah sang suami yang diketahuinya ternyata memiliki wanita lain di belakangnya dengan bulir yang terus menetes. Sabina meringis setelahnya sambil menatap Zio dan Zidan yang tengah tertidur. Zio saat itu berusia 4 bulan, sedang Zidan anak pertama Sabina berusia 6 tahun.
Ponsel yang menjadi sebab terbukanya hubungan terlarang Radis dan wanita berinisial M itu tergeletak di lantai setelah Sabina spontan menjatuhkannya.
Sabina wanita sholehah yang penurut, ia tak pernah menuntut Radis harus begini dan begitu. Setiap perilaku acuh Radis di masa-masa kehamilan Zio selalu dibalas kelembutan Sabina. Sabina selalu sabar dan berfikir positif menghadapi lelaki yang telah menghalalkannya tersebut. Radis yang berasal dari pulau Sumatera memang memiliki nada bicara yang keras berbanding terbalik dengan Sabina yang berasal dari Solo. Sabina berperangai lembut seperti wanita Solo kebanyakan. Menghadapi perbedaan karakter itu bahkan Sabina kesulitan di awal pernikahan. Kini, dengan terbukanya hubungan terlarang Radis, sungguh membuat kesabaran Sabina kembali diuji.
"Bin, pahami aku, ini hanya sebatas hubungan bisnis!" Radis tampak berlutut kini di hadapan Sabina. Ia yang melihat wajah Sabina menahan kesedihan yang teramat membuatnya tak tega, Radis juga tercekam perih harus bermain api, tapi keadaan memaksanya walau ia terlarut setelahnya dalam hubungan tanpa status yang berkedok hubungan bisnis.
"Abang tidak perlu menyentuhku! Abang sudah menyakiti aku," lirih Sabina dengan linangan air mata yang semakin deras.
"Bina, ma-af .... Abang tahu sudah bersalah sama kau. Tapi Abang terpaksa. Wanita itu telah menanamkan saham yang cukup besar pada perusahaan yang Abang rintis. Abang memang bodoh! Abang tak bisa menolak saat ia meminta Abang menemaninya, tapi semua Abang lakukan demi kau dan anak-anak, Bin. Sungguh!" Radis menjatuhkan kepalanya pada jemari Sabina. Ia jelas merasa bersalah, tapi sayangnya hati Sabina sudah terluka. Sabina menghempaskan jemarinya hingga kepala Radis nyaris terjatuh.
"Bina, to-long maafkan, A-bang!" Kata permohonan itu terlontar lagi. Sabina membeku tak bergerak. Bongkahan sesak menyergap batinnya dan Sabina hanya bisa meluapkan sesaknya melalui tangisan.
"Ja-di selama ini Abang memberiku dan anak-anak makan dari uang investasi wanita itu. Menjijikkan, Abang menanam keburukan di tubuh Zidan dan Zio yang bahkan belum mengerti apa-apa!"
"Bin, jangan membahas ini! Bagaimana pun kita butuh suntikan dana darinya. Kalau tak ada dia usaha Abang tak akan berkembang seperti sekarang." Kata itu memang terucap lirih, tapi sangat menusuk. Bagaimana Radis telah mengorbankan anak-anak dan dirinya demi kesuksesan dunia.
"Urus perceraian kita, Bang!" lugas Sabina setelahnya.
"Tidak, Bin. Aku cinta kau dan anak-anak. Aku tak kan membiarkan kalian pergi jauh dari hidup Abang!"
"Cinta? Cinta macam apa? Bahkan Abang selama ini tak menghargai keberadaanku! Abang telah mendapat kepuasan dari wanita lain dan Abang mengabaikanku!" Sabina yang melihat Zio terbangun mendekatkan tubuh pada putra kecilnya itu dan terus menepuk punggung Zio. Zio tak lama terlelap lagi.
"Ma-af, Bina. A-bang sudah letih setelah menghabiskan waktu bersamanya hingga A-bang terpaksa menghindarimu. Sejujurnya semua sulit Abang lakukan, Bin. Abang juga ingin bermesraan denganmu."
"Stop. Kalimat Abang sangat menyakitkan! Dasar pembohong! Abang sedang merayuku tapi aku tak kan tergoda!"
"Semua jujur dari hatiku, Bin. Coba pikir, jika kita berpisah bagaimana kau menjalani hidup. Berstatus janda itu tak mudah. Kau ingin bekerja lagi? Lalu siapa yang akan menjaga anak-anak? Jika kau tak bekerja, tak ada yang menjamin hidupmu! To-long, buang pikiran cerai dan tetaplah di sisiku!"
Sabina terdiam. Ia mencerna ucapan Radis. Entah mengapa ia tiba-tiba dicekam ketakutan tak bisa hidup tanpa Radis, ia tak ingin melalaikan kewajibannya pada anak-anak, tapi ia juga butuh uang untuk menjalani hidupnya.
"Apa jika aku bertahan Abang akan melupakan wanita itu?"
"Itulah, Bin. Ia sedang mengandung dan meminta Abang menikahinya, tapi Abang juga tak ingin berpisah denganmu!"
"Jadi dia hamil? Menjijikkan! Dan Abang ... A-bang sungguh egois!"
"Tolong Bina, akan lebih berdosa jika Abang membiarkannya menggugurkan janin itu!" Radis masih terus memohon. Ia benar-benar tak ingin berpisah dari Sabina. Berpisah dari anak-anaknya tepatnya.
"Bin .... Sebetul-nya tanpa meminta izinmu pun Abang bisa menikahi dia, tapi Abang menghargai ka-u. Bagaimana pun kau ibu anak Abang. Kau wanita yang selalu mendukung A-bang."
Sabina memejamkan mata beberapa saat. Ia menatap wajah Radis intens setelahnya. "Jika Abang menghargai a-ku, Abang tidak akan mencurangiku dan me-minta i-ni!" Akhirnya Sabina bicara. Kalimat yang kini membuat Radis harus berpikir keras menjawabnya.
"Kenapa Abang tidak menjawab? Apa pertanyaanku begitu sulit?" Sabina menunggu respon Yoga tapi tak jua ada jawaban.
"Agar Abang tahu, seperti itu pun aku saat ini menangapi permintaan Abang. Sulit, Bang!" Sabina beranjak, ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan terisak. Sabina merasa kehidupan sudah tak adil untuknya.
Tok ... Tok ....
Sabina tersadar. Ketukan pintu membuyarkan kejadian masa lalu yang tiba-tiba muncul di otaknya setelah permintaan Yoga sang majikan yang dilontarkan padanya pagi tadi. Sabina menatap jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, ia merapihkan selimut Zio baru kemudian berdiri membuka pintu.
"Aku tenang mbak ada di sini!" Gadis berusia 22 tahun dengan keringat membasahi beberapa bagian tubuh langsung memeluk Sabina.
"Teman kamu pasti yang ngasih tau kalau mbak minta berhenti jadi pengasuh anak kakaknya." Dia Viola mengangguk di bahu Sabina.
"Kamu capek, 'kan? Tadi Mbak masak buat kamu, yuk ke ruang makan!" Keduanya menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur sambil terus berangkulan.
"Mbak ngapain sih repot-repot?" kata Viola membuka tudung saji dan melihat capcai juga perkedel kesukaannya.
"Gak repot, kebetulan di kulkas ada bahan, jadi Mbak masak aja!" Viola tersenyum.
"Terima kasih kamu nggak merubah kode apartemen ini, kalau nggak mbak gak tau akan ke mana lagi." Sabina berkata lagi dengan sangat lembut dan menerbitkan senyum ramahnya. Ia mengambil piring dan mengarahkannya pada Viola.
"Karena aku memang pelupa, Mbak. Cuma kode itu yang aku hapal. Itu tanggal lahir mendiang mama aku." Sabina mengangguk.
"Sudah makan sana dan lekas istrirahat. Mbak duluan ke kamar ya, belum sholat isya!"
"Mbak memang sudah makan?"
"Sudah tadi sambil menyuapi Zio," kata Sabina berjalan menuju kamar yang sebelumnya diketuk Viola.
"Mbak."
"Ya?"
"Besok aku libur, mbak harus cerita semua yang terjadi sama mbak!" Sabina tersenyum sembari mengangguk lirih. Beberapa saat setelahnya bayang Sabina menghilang di balik pintu.
Bersambung ....
_____________
🕷️Happy reading❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus berkarya
2022-11-06
0
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
astagaaa..
2022-10-06
1
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
berarti Radis dibeli dong
2022-10-06
1