"Wajah Zidan semakin mirip sama bang Radis!"
"Oh ya?" imbuh Viola.
Sabina mengangguk. Ia menatap intens ke luar jendela lagi menatap pemandangan asri yang ia lalui setelah beberapa saat lalu meninggalkan pondok Zidan. Untuk hari biasa memang pihak pondok membatasi pertemuan Zidan dan Sabina. Pihak pondok tak ingin ada santri lain yang melihat pertemuan itu dan iri. Oleh karenanya pertemuan pun dilakukan saat jam belajar agar Santri lain tidak tahu. Bagaimana pun pihak pondok memiliki kebijakan dan Sabina harus menurut. Sabina bahkan merasa berterima kasih karena sudah diizinkan datang dan bertemu Zidan di luar jam berkunjung.
"Zidan itu anak yang dewasa ya, Mbak? Walau ia jelas-jelas terlihat sedih tapi ia tetap tenang dan tak menangis." Sabina menoleh mendengar ucapan Viola. Ia mengangguk. Bulir seketika menetes dari pelupuk mata Sabina. Kesedihan yang sejak tadi ditahan kini tak sanggup ia bendung lagi. Sabina terisak.
"Kamu hanya tahu Zidan setelah masuk ke Pondok. Dulu Zidan tak begitu, ia pribadi keras dan sulit dinasehati. Tapi ya, Alhamdulillah tempat yang baik merubahnya, sifat buruknya seolah lebur.
"Pasti semua berat untuk Mbak?"
Sabina mengangguk lirih.
"Jika berpisah itu berat, mengapa Mbak menyekolahkan Zidan di pondok dan tidak di sekolah umum saja? Setiap hari kalian bisa bertemu dan Mbak tak akan sedih!" ucap Viola tak melepas sedikit pun tatapannya dari wajah Sabina. Viola tampak merogoh tasnya, mengambil dua helai tisu dan mengulurkannya pada Sabina. Sabina tersenyum menerima tisu yang disodorkan.
"Dalam kepercayaan agama Mbak, kehidupan dunia hanya persinggahan sementara. Semua yang dimiliki di dunia tak ada yang dibawa mati kecuali ilmu, doa anak yang Sholeh dan shadaqah jariyah. Mbak sadar dalam kehidupan ini terlalu banyak cela yang Mbak lakukan, keperihan hidup juga sering membuat Mbak menyerah dan menyalahkan takdir. Intinya banyak hal buruk yang terjadi. Mbak sangat takut, di dunia Mbak sudah merasa kepayahan dan di akhirat Mbak juga harus menanggung dosa atas kelalaian Mbak____
Melihat air mata kembali mengalir lagi, Viola mengarahkan tisu lagi membuat cerita Sabina terhenti. Sabina menghapus bulir dengan tisu yang diberikan Viola. Ia tersenyum dan kembali bicara.
____Kamu tahu Vi, secara ilmu, ilmu agama Mbak ini masih minim. Sejak kecil hingga besar Mbak bersekolah di sekolah umum yang hanya mengajarkan agama satu pekan seminggu. Mulai bekerja Mbak baru mendalami agama, tapi belum lagi ilmunya banyak Mbak sudah dipinang bang Radis. Mbak nggak bisa mengandalkan secuil ilmu yang Mbak punya untuk memasukkan Mbak ke syurga. Sedang untuk amal jariyah, hidup Mbak pas-pasan, belum bisa memberi banyak manfaat untuk sesama, nah satu-satunya jalan pintas Mbak adalah Zidan dan Zio. Berharap anak-anak kelak bisa membantu menarik Mbak dari panasnya api neraka, siksa atas perbuatan buruk Mbak. Mbak butuh doa dari anak-anak, keshalihan mereka, tapi Mbak pun sadar tak bisa membimbing agama yang sempurna untuk anak-anak karena Mbak pun masih belajar. I-tulah yang akhirnya membuat Mbak memutuskan harus memondokkan Zidan." Ucapan Sabina terhenti, ia meneguk air mineral membasahi kerongkongannya yang kering.
"Apa siksa itu sungguh ada? Kenapa agama Mbak begitu mengerikan!" lirih Viola.
"Karena Allah SWT Tuhan Mbak menciptakan manusia bukan hanya untuk sekedar tidur, bekerja, makan maupun minum melainkan untuk melengkapi bumi ini dengan beribadah kepada-Nya. Tuhan Mbak juga tidak menciptakan makhluk begitu saja tanpa pelarangan atau perintah. Tujuan ini untuk mendidik manusia agar senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Kita sebagai ciptaan juga sewajarnya menurut pada Pencipta. Maha baiknya Tuhan Mbak juga ia tak pernah tidur, ia selalu tahu sekecil apa pun kebaikan dan keburukan yang kita lakukan. Ia pun memberi ganjaran untuk itu pahala dan dosa yang kelak akan ditimbang yang mana yang lebih berat diantara keduanya."
"Mbak tidak terbebani dengan kewajiban-kewajiban itu?" tanya Viola lagi.
"Kamu gerah, ya? Buka aja, Sayang, toh kita sudah nggak di pondoknya Zidan," kata Sabina melihat beberapa kali Viola mengibaskan jilbab yang dikenakan. Viola tersenyum getir. Sejak tadi memang ia menahan panas karena tak biasa menutup rambut dengan jilbab. Viola pun dengan santai membuka kain penutup kepala yang dipinjamnya dari Sabina. Viola memang selalu meminta ikut saat Sabina menjenguk Zidan, ia tak Masalah menggunakan hijab mengikuti Sabina. Setelah melihat Viola terlihat nyaman dengan penampilan dirinya apa adanya, Sabina barulah menjawab tanya Viola.
"Mbak tidak terbebani karena ini semua dari hati. Karena kami sadar semua kewajiban kami sesuai syariat agama yang kami anut."
Viola menatap Sabina seksama dan bicara lagi. "Agama Mbak terlalu banyak aturan. Sepertinya aku harus bahagia tidak pernah dikenalkan Tuhan oleh orang tuaku. Aku merasa bebas!"
Sabina tersenyum. "Tapi tanpa aturan kita akan hidup semaunya. Kita masuk perusahaan saja ada aturan, setiap pemimpin perusahaan tahu hal yang akan mengganggu hingga ia melarang kita melakukannya dan tahu pula hal yang baik bagi perusahannya hingga meminta kita melakukannya. Apalagi memasuki dunia yang begitu luasnya ini, apakah Tuhan yang menciptakan kita akan membiarkan kita berjalan tanpa arah?" Sabina yang melihat Viola terdiam seolah mencerna setiap kalimat yang agaknya sulit ia pahami akhirnya memilih mengakhiri pembicaraan tersebut.
"Duh, Mbak keenakan kan, kamu berat nggak mangku Zio? Sini kasih ke Mbak Zio-nya."
"Vii?"
"Eh, a-pa Mbak?"
"Sini biar Mbak aja yang mangku Zio, kamu pasti keberatan!"
"Nggak berat kok, Mbak, " kata Viola sambil menyugar rambut Zio yang berkeringat. Viola menunduk sesaat dan menatap ke arah Sabina lagi.
"Mbak, Mbak kan lebih cantik tanpa jilbab. Kenapa Mbak mau mengikuti keinginan Tuhan Mbak untuk menutupnya. Untuk apa Ia memberi kecantikan kalau harus ditutupi?"
"Justru jilbab ini sebagai bukti cinta Tuhan kepada kami, Sayang. Wanita itu kan cantik. Dengan jilbab dan pakaian yang terjaga, kaum lelaki jahil akan berpikir dua kali menggoda kami. Mereka cenderung menyukai yang terbuka, bukan? Dan kami tidak termasuk target mereka." Viola kembali terdiam dan mengangguk lirih.
"Sudah ya, kita hentikan pembahasan ini! Mbak juga masih belajar jadi hamba yang benar. Takut salah!" Sabina tersenyum. "Eh kamu sudah lapar belum, Vi? Nanti turun dari bis cari makan yuk!" tambah Sabina mengalihkan perbincangan.
"I-ya boleh, Mbak," lirih Viola menjawab ajakan Sabina.
"Oh ya Mbak. Kemarin kenapa Mbak gak masuk kerja? Tapi syukur sih jadi aku bisa nge-long shift gantiin salah satu karyawan yang nggak masuk."
Sabina menatap Viola sembari tersenyum getir. "Aku sudah resign, Vi!"
"Lho, kok bisa? Bagaimana ceritanya, Mbak! Oh ya, Mbak juga tempo hari katanya mau cerita sesuatu sama aku, kan? Ayo cerita Mbak!" Sorot mata Viola membulat sempurna menatap Sabina.
"Kamu tuh, lucu tau nggak kalau lagi penasaran begini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
lancar rejekinya
2022-11-06
1
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
keppo.. 😁
2022-10-07
2
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
wow.. pemikiran mu sama denganku
2022-10-07
1