"Sabina!"
"Eh, i-ya, Pak?" Edo mengedar pandang. Berhubung Sabina yang posisinya paling dekat darinya, ia pun memanggil Sabina.
"Nanti ada seorang teman yang akan datang. Tolong kamu arahkan ia langsung ke ruangan saya, ya!" titah Edo pada Sabina yang baru kelar membersihkan meja setelah tamu yang belum lama menempati meja itu pergi.
"Iya, Pak. Ta-pi, seperti apa wa-jah teman Ba-pak?" kata Sabina dengan terbata. Ia masih sungkan bicara pada Edo sang atasan.
"Ia bertubuh tinggi dan kulitnya putih. Ada tahi lalat kecil di sudut bibir."
Sabina terdiam membayangkan wajah teman atasannya. Ia mengangguk setelah mendapat gambaran di otak.
"Tolong katakan padanya nanti aku ada urusan di luar sejenak. Kamu temani lah dia dulu selama aku belum sampai!"
"Oh." Sabina masih mencerna ucapan Edo, tapi Edo sudah menghilang saja dari pandangannya.
Flashback
"Tapi kami lebih mengutamakan mencari posisi waiters dahulu, bagaimana?"
Sabina terdiam mematung, ia bingung apakah harus menerima tawaran menjadi waiters, tapi itu artinya ia akan bekerja di depan banyak manusia termasuk lelaki. Sabina ingin menolak, tapi ia sangat butuh pekerjaan itu.
"Jadi bagaimana Sa-bi-na?"
"Boleh saya mengajukan syarat?"
Setelah sempat terdiam beberapa saat Sabina bicara, namun kata-kata uang ke luar dari bibir Sabina di luar dugaan Edo. Edo mengerutkan alis bingung dengan maksud perkataan Sabina.
"Mak-sud ka-mu?" tanya Edo sembari menyesap sedikit teh di hadapannya.
"Jika boleh saya melakukan masa percobaan dulu sebagai waiters, kalau saya merasa tidak nyaman mohon Bapak bisa memindahkan saya ke bagian dapur saja. Saya siap bekerja apa pun sela-ma tidak bertemu ba-nyak orang, Pa-k," terang Sabina. Ia menatap lekat netra Edo sebagai luapan kesungguhannya.
"Katakan dulu apa alasan kamu takut bertemu banyak orang!" pungkas Edo.
"Hmm ... i-ni bersinggungan de-ngan hal pribadi sa-ya, Pak!"
Edo terdiam kembali memperhatikan wanita yang sudah tak sopan mengajukan syarat padanya. Seharusnya Edo bisa saja langsung mengabaikan dan meminta Sabina pulang karena telah bersikap lancang sok dibutuhkan, tapi entah mengapa prinsip Sabina terlihat menarik untuk Edo. Edo sungguh penasaran dengan calon perkerjanya itu.
"Hm, jadi saya tak boleh tahu alasan kamu?" Sabina menggeleng tegas. Edo berdecak kesal sekaligus bangga pada keberanian Sabina.
"Maaf tapi saya tidak menerima syarat tanpa tahu alasan yang mendasarinya. Itu pun jika kamu memang benar-benar butuh pekerjaan ini. Jika saya tahu alasan kamu, bukan tidak mungkin saya akan mempertimbangkannya."
Sabina terdiam sesaat. Ia yang butuh pekerjaan itu akhirnya bicara. "Semua tentang status saya, Pak!" Edo kini memperhatikan Kartu identitas milik Sabina yang menyebutkan status Sabina tidak menikah alias single.
"Apa salahnya dengan single? Banyak karyawan di sini masih single, tapi tak bermasalah," lontar Edo mantap.
"Ya, saya single, berstatus tidak menikah, tapi saya memiliki dua anak. Saya janda, Pak. Tahukah anda, berat menjadi seorang janda, Pak. Kami harus tetap menjaga harkat dan martabat diri di tengah–tengah stigma negatif masyarakat, kami juga harus mampu bertahan demi diri sendiri dan anak-anak. Saya trauma dikatakan pelakor, Pak. Ki-ni saya memilih membatasi interaksi dengan lelaki," terang Sabina membuat Edo terdiam. Edo kini tahu kini tahu status Sabina sesungguhnya. Ia menatap lagi wajah Sabina yang walau tanpa pewarna apa pun jelas terlihat kecantikannya. Kendati seharusnya Sabina tak perlu sampai begitu, tapi ia paham. Sabina memiliki sesuatu yang membuatnya patut awas.
"Hm, saya sebetulnya sulit mengambil keputusan ini, tapi saya akan memberi kesempatan kamu, demi anak-anak kamu. Saya harap kesepakatan ini hanya antara kita saja!"
"Terima kasih banyak, Pak." Sabina terharu. Ia mengambil seragam yang disodorkan dan izin berlalu setelahnya.
Flashback off
"Kamu kenapa, Bin? Kamu kayak resah begitu." Santi seorang waiters baru seperti Sabina menyapa Sabina yang sejak tadi fokus melihat ke arah pintu masuk Kafe.
"Ini katanya teman pak Edo ada yang mau datang, aku diminta pak Edo mengarahkan dia ke ruangannya." Sabina menjawab dengan polosnya.
"Oh. Kayaknya pak Edo percaya banget ya sama kamu. Padahal banyak karyawan yang lebih lama dari kamu loh. Kamu beruntung Bina." Sabina tersenyum getir. Mendadak ia menatap wajah Santi temannya itu. Sungguh Sabina takut Santi atau karyawan lain berpikir buruk padanya.
"Biasa saja, kali, San. Mungkin tadi memang pak Edo lihatnya aku jadi dia kasih amanah sama aku."
"Iya juga sih."
"Ada customer laki-laki datang tuh, jatah kamu! Buruan gih samperin!" Santi tersenyum kepada Sabina, ia dengan cepat menghampiri tamu Kafe berjenis kelamin lelaki yang baru saja duduk.
Astagfirullah, aku harus jaga jarak sama pak Edo atau karyawan lain akan berpikir macam-macam sama aku! Tapi memang pak Edo yang sering suruh aku ini itu.
Sabina yang melihat wanita muda masuk ke dalam Kafe dan kini duduk di sudut segera mengambil draft menu dan menghampiri wanita itu. Sabina tetap awas melirik ke arah pintu kalau-kalau teman pak Edo tiba.
Beberapa waktu berlalu, seorang lelaki muda dengan tas ransel dan topi bertengger di kepala masuk ke dalam Kafe. Sabina yang baru saja membersihkan meja langsung menatap lelaki itu. Ia yang melihat tahi lalat di sudut bibir pemuda langsung paham dia lah teman yang dimaksud pak Edo kendati terlihat dari usianya ia lebih muda dari pak Edo.
"Permisi, Pak. Bapak temannya pak Edo, ya?" tanya Sabina dengan rona datar. Sesaat Sabina merutuki diri karena lupa bertanya siapa nama tamu Edo itu. Si lelaki muda mengangguk sembari menatap aneh ke arah Sabina, jarang-jarang ada waiters yang tak sopan hingga tak menatap wajah tamu yang datang.
Melihat si lelaki mengangguk, Sabina langsung meminta tamu itu mengikutinya. Keduanya berjalan lurus melewati koridor yang bersebrangan dengan posisi dapur berada. Sabina langsung menghentikan langkah saat sebuah pintu berwarna putih berada di hadapan mereka.
"Mari masuk, Pak!" kata Sabina seperti sebelumnya tanpa menatap wajah si tamu.
Sabina meminta setelahnya tamu itu duduk di sofa. Ia terlihat mengedar pandang ke setiap dinding dengan berbagai foto-foto dan lukisan abstrak terpasang.
"Bapak mau minum apa? Oh ya, pak Edo sedang ada urusan di luar sejenak mohon Bapak menunggu."
"Ada apa saja menu di sini?" Sabina pun menyebutkan berbagai jenis minuman yang tersaji di Kafe itu. Ia melirik sekilas si lelaki yang membuka topi hitamnya hingga wajah tampannya tampak jelas. Sabina segera mengalihkan tatapannya lagi setelahnya.
"Saya mau manggo smoothie!"
"Baik, mohon di tunggu, Pak," kata Sabina beranjak ke luar ruangan.
Beberapa saat kemudian Sabina kembali dengan gelas tinggi berisi minuman berwarna hijau kekuningan dan putih di bagian atasnya.
"Silahkan diminum, Pak. Hm__ apa ada yang Bapak butuhkan lagi?" kata Sabina lagi melirik sekilas wajah lelaki dan mengalihkan.
"Sementara ini saja!"
"Kalau begitu saya permisi ya, Pak!"
"Tunggu!" panggil si lelaki saat Sabina baru saja berbalik.
"Apa kamu mau meninggalkan saya di sini sendiri, Sa-bi-na?"
"Hah?"
____________
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2022-11-06
1
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
lah Pak masak ya harus lihat bibir laki2 yg datang ,mengamati ada tahi lalatnya /enggak ,mana kecil lagi
2022-10-06
0
Ety Nadhif
tamunya pak Edo calon suami Sabina😁😁😁
2022-09-06
1