"Gimana, Mbak? Mbak mau kerja di tempat kakaknya teman aku? Pengasuh anaknya itu tiba-tiba minta berhenti kerja, padahal kakaknya teman aku sibuk sering ke luar kota, kasihan kan anaknya kalau nggak ada yang jaga. Anaknya itu sepantaran Zio, tapi perempuan."
Viola terus menatap wajah bergeming Sabina berusaha menerka apa yang Sabina pikirkan, tapi ia tak juga mendapat jawabannya. Viola takut salah menerka. Maklum lah keduanya baru dekat dua bulan ini, keduanya masih saling menyelami satu sama lain dan Viola tak ingin berasumsi yang belum tentu benar.
"Mbak, gimana?" Viola memutuskan bertanya lagi. "Mbak bingung ya? Aku sih sekadar menyambung mulut aja alias ngasih info, kalau Mbak ragu ya jangan diambil. Sekarang terserah Mbak, tapi ya memang kakak temanku itu berani kasih gaji besar dibanding gaji pengasuh pada umumnya. Sambil Mbak mikir, aku mandi dulu ya, nanti habis mandi aku harap sudah dapat jawaban dari Mbak."
.........
"Mbak Bina, kenalkan aku Puspa dan ini suamiku mas Yoga. Viola pasti sudah ngasih tau pekerjaan Mbak, Mbak cuma harus memastikan anakku Putri makan tepat waktu, tidur siang teratur, nggak banyak main di luar dan tidur nggak terlalu malam. Aku akan pulang jam sepuluh malam dan aku harap Putri sudah tidur di jam itu!" Sabina mengangguk.
Sabina memang akhirnya menerima tawaran Viola. Bukan hanya sekedar gaji yang lumayan, tapi alasan lainnya adalah karena Sabina bisa membawa putranya Tzion Arkana Pandya atau biasa disapa Zio yang genap berusia 5 tahun ke rumah tempatnya bekerja.
Puspa Kirana, wanita yang resmi menjadi majikannya telah berdiri di hadapannya. Wanita cantik dengan tinggi semampai itu begitu anggun dalam pandangan Sabina. Sebetulnya Sabina pun tak kalah cantik darinya, hanya saja nasib mereka berbeda.
Setelah menjelaskan tugas Sabina, tak menunggu lama Puspa langsung bersiap meninggalkan rumah tersebut.
"Yang, aku berangkat dulu ya," kata Puspa memberi kecupan dan pelukan pada Yoga sang suami.
"Hati-hati, Yang. Jaga diri sebaiknya dan semoga kamu pulang membawa keberhasilan," ucap Yoga.
"Aamiin. Do'a yang sama untukmu, Yang!"
"Terima kasih. love you."
"I love you too."
Sabina tertegun, melihat kemesraan Puspa dan Yoga, tiba-tiba ia teringat Radis mantan suaminya. Bagaimana dulu Radis begitu romantis di awal pernikahan, namun selang waktu berjalan keromantisan itu hilang tersapu godaan wanita luar yang terlihat lebih memukau. Jangankan memeluk dan mencium pipi, mencium tangan saja Radis sering menganggap remeh semenjak tahun kelima pernikahan. Ia harus mengejar Radis ke depan rumah dan meminta Radis menunggunya baru ia bisa mencium tangan suaminya. Juga panggilan manis, semua hanya bualan di awal pernikahan, selebihnya Radis terbiasa memanggil nama saja meski di depan kedua anak mereka.
"Sabina ...."
"Eh Pak Yoga. Ma-af." Yoga menatap seksama Sabina yang dengan cepat melesat ke arah dapur.
"Bik, makanan non Putri apa sudah siap?" kata Sabina kepada Suman ART rumah itu.
"Ini sudah saya siapkan, non Putri sangat senang jika makan sambil bermain boneka barbie, Mbak." Sabina mengangguk.
Beruntung Putri gadis yang penurut dan mudah menerima orang baru, maklum lah pengasuh Putri sering bergonta-ganti. Putri juga mudah akrab dengan Zio, seperti saat ini keduanya tampak asik bermain sembari Sabina menyuapi Putri.
.........
Tiga bulan berlalu dengan cepat. Sabina sudah bekerja dengan Puspa selama tiga bulan. Putri semakin dekat dengan Sabina, segala hal yang dibutuhkan Putri akan cepat diberikan Sabina. Putri juga senang tidur di kamar kecil Sabina dan Zio karena mamanya selalu pulang larut demikian juga dengan Yoga sang papa.
Tok ... Tok ...
Hari masih subuh saat ketukan terdengar di muka kamar Sabina. Sabina dengan sigap membuka pintu kamar setelah menyelesaikan salamnya. Masih berbalut mukena berbahan rayon, Sabina membuka pintu dan tampillah Yoga berdiri mematung di muka kamarnya. Jelas Yoga baru pulang ke rumah terlihat dari kemeja yang dipakai masih sama seperti kemarin pagi ia berangkat. Kondisi majikannya itu tampak kurang baik, wajah lesu, rambut tak tertata rapi dengan tepi kemeja bagian bawah menyembul ke luar.
"Maaf saya mengganggu kamu Bina," kata Yoga sangat lembut. Sabina mengangguk.
"A-da perlu apa ya Bapak ke kamar sa-ya?" tanya Sabina setelahnya terbata. Ia yang agak risih memilih mengalihkan tatapannya.
"Maaf saya baru pulang sementara mamanya Putri ada proyek mendadak di luar kota sehingga tidak bisa pulang. A-pa Putri ti-dur bersama kamu lagi? Tadi saya cek ke kamarnya tapi ia tak ada," kata Yoga berusaha memindai pandang ke dalam kamar Sabina, tapi ia tak bisa melihat apa pun karena tertutup tubuh Sabina.
Sabina melebarkan pintu kamar. "Iya betul, non Putri tidur di sini. Kalau Bapak mau ambil non silahkan, tapi sepertinya non masih sangat pulas, kalau Bapak paksa angkat kasihan non bisa terbangun," kata Sabina. Sabina menunduk setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Baik saya tunggu Putri bangun saja. Apa kamu punya waktu, ada yang mau saya bicarakan?" Sabina sedikit mengangkat wajah dan kembali menunduk saat menyadari Yoga sedang menatapnya seksama. Sabina sebetulnya sungkan bicara berdua dengan Yoga sementara Puspa tidak di rumah, tapi mengingat Yoga adalah majikannya ia pun mengangguk.
"Kamu buka mukena kamu dulu, saya akan tunggu kamu di ruang kerja!" Melihat Sabina mengangguk, Yoga berbalik menuju ruang kerja.
Tak menunggu lama Sabina sudah bersiap dengan hijab menutup kepala mendekati ruang kerja. Dalam satu ketukan, pintu langsung terbuka. Yoga tersenyum mempersilahkan Sabina masuk, Sabina yang tak biasa melihat senyuman lelaki dalam setahun belakangan ini memilih mengalihkan tatapannya.
"Ayo masuk!"
"Pak, jangan ditutup rapat!" Yoga seketika menoleh, ia kaget mendengar suara Sabina yang terlontar tiba-tiba. Ia mengangkat jemari yang hampir saja merapatkan pintu dan membiarkan pintu terbuka sedikit.
"Duduk lah!" kata Yoga setelah ia duduk di kursi kerjanya. Sabina dengan langkah landai akhirnya mendekat, ia duduk.
"Kita akan bicara santai saja, jangan gugup!"
Sabina mengangguk dengan wajah menunduk seperti biasanya.
"Berapa usia kamu kalau boleh saya tahu?" tanya pertama terlontar. Sabina dibuat bingung dengan pertanyaan Yoga mengenai dirinya, tapi ia tetap menjawabnya.
"Tiga puluh dua tahun, Pak," lirih Sabina. Yoga mengangguk. Sabina yang sadar Yoga terus menatapnya dengan pandangan tak biasa merasa risih. Ia menunduk semakin dalam.
"Saya dengar kamu membesarkan Zio sendiri tanpa suami, apa benar?" Sabina sedikit mengangkat wajah dengan bingung dan kembali menunduk lagi.
"Hanya menjawab tanya tidak sulit, kan?" Yoga yang melihat Sabina tak juga menjawab tanyanya kembali berucap.
Sabina terus memilin tepi kemeja yang digunakan. Ia berusaha berusaha tenang, membuang keanehan yang menelisik otaknya.
"Be-tul," jawab Sabina singkat.
"Saya sebetulnya sudah mencari tahu status kamu. Kamu sekarang single, tanpa ikatan dengan lelaki mana pun."
"Ma-af, kemana arah bicara Bapak sebetulnya?" lugas Sabina. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Sabina kembali mengalihkan wajah ke sembarang arah.
Sabina kaget, jemari Yoga tiba-tiba menggenggam jemarinya. "To the Point saja, saya menginginkan kamu menjadi istri kedua saya."
Sabina tercekat. Kalimat Yoga terdengar lantang tanpa rasa bersalah sedikit pun kendati permintaan itu nyatanya akan menyakiti hati istri tercintanya, Puspa.
"Lepas tangan saya, Pak!" geram Sabina berusaha melepaskan tangannya tapi cengkeraman jemari Yoga begitu kuat.
"Jangan pura-pura jual mahal! Kamu butuh uang banyak untuk membesarkan dua putramu, kan? Saya bahkan tahu satu putramu yang lain tinggal di pesantren dan itu membutuhkan biaya tak sedikit."
Sabina tersenyum getir. "Bapak tidak perlu memikirkan biaya pendidikan anak saya, saya bisa mencukupinya sendiri!"
"Ayolah Bin, aku butuh kamu dan kamu butuh uangku. Simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Bagaimana?"
Sabina berdecih tak menyangka dengan yang didengarnya. "Jangan jadikan kalimat seperti ini bahan candaan, Pak! Saya di sini untuk bekerja dan tidak sedikit pun terlintas hal lainnya!" imbuh Sabina dengan garis dahi yang tercetak jelas. Ia marah.
"Tidak ada yang bercanda!"
"Ta-pi, apa Bapak sadar permintaan Bapak itu akan menghancurkan hati ibu Puspa?"
"Puspa tahu dan ia mengizinkan!"
Netra Indira membulat, ia semakin dibuat bingung saja.
Ada apa ini, keluarga ini terlihat harmonis, mengapa harus mencari istri kedua? Mengapa juga harus a-ku? Apa sebegitu menyedihkannya aku di hadapan mereka? Aku memang janda, tapi aku bukan pelakor!
Bersambung ....
______________
💕Happy reading 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sukses
2022-11-06
1
fifid dwi ariani
trus sukses
2022-11-06
0
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
eh.. eh.. kok ngrendahin gitu
2022-10-06
1