JADI WAITERS?

"Bang Ra-dis?"

"Bin, tolong jangan menghindar! Kita bicara, Bin!" Radis meluruskan sepasang lengan ke dinding berusaha mengukung Sabina.

"Minggir, Bang! Kita sudah bukan mahram! Berhenti menggangguku!" Sabina melebarkan bola matanya, ia sangat terganggu dengan perilaku Radis.

Radis melepaskan tangannya dari dinding. "Kau salah paham, Bin! Aku ke sini bukan untuk mengganggumu. Aku hanya ingin memberitahumu satu hal."

"Katakan saja!" lugas Sabina tanpa melihat wajah Radis.

"Aku akan menikah dan kemungkinan akan tinggal di luar kota!"

"Menikah? Bukan-kah Abang sudah menikah dengan rekan bisnis Abang itu?" Sabina bertanya hal yang tak dimengerti oleh otaknya.

"Aku sudah bercerai dengannya dan akan menikah lagi!" Sabina tersenyum getir, tak menyangka mantan suaminya begitu mudahnya bergonta-ganti pasangan seolah mempermainkan pernikahan.

"Menikah ya menikah lah! Mengapa harus datang menemuiku?" tanya Sabina heran.

"Karena anak-anakku bersamamu!"

"Mak-sud, Abang?"

"Tolong agar kau tidak memberi informasi negatif tentangku kepada anak-anak!" Sabina mengernyit bingung. Iya tidak menyangka pada pemikiran Radis. sungguh tidak terpikir sedikitpun oleh Sabina untuk menjauhkan anak-anak dari Radis.

"Abang kelewatan! Mana mungkin aku melakukan itu! Apa selama ini aku ada menjauhkan Abang dari anak-anak?" ketus Sabina.

"Tentu tidak. Aku tahu kau wanita baik, Bina. masalahnya setelah menikah nanti aku akan tinggal di luar kota. Hal yang membuatku tak bisa sering berjumpa dengan anak-anak. Please, Sabina! berkatalah hal-hal positif mengenai diriku kepada anak-anak. Bahwa aku sedang bekerja, sehingga tak bisa bersama dengan mereka."

"Aku akan mengatakan itu! Jalanilah hidup Abang bersama istri baru Abang dengan tenang! Anak-anakku pastikan akan selalu menghargai Abang sebagai ayahnya!" Sabina melirik sekilas Radis yang tampak lebih kurus ketimbang saat bersamanya. Sabina segera membuang wajahnya kembali setelahnya tak ingin Radis berspekulasi aneh-aneh mengenai tatapannya.

"Terima kasih, kau adalah wanita terbaik yang pernah kumiliki!" Sabina berdecih. Kalimat itu sungguh kontras diucapkan seorang Radis. sangat munafik. Membuat desiran sesak memenuhi hati Sabina. Radis mengatakan Sabina terbaik, tapi nyatanya tega bermain dengan wanita lain di belakang Sabina.

"Urusan Abang sudah selesai, bukan? Abang bisa pergi!"

"Ya, aku akan pergi, tapi jawablah satu pertanyaanku!"

"Bertanya lah!"

"Tidakkah kau ingin menikah lagi, Bin! Jujur aku sedih melihat kau tertatih seperti ini menjalani hidup, alangkah baik jika kau menikah sehingga ada yang menanggung hidupmu!" Kalimat itu sungguh tak pantas diucapkan Radis. Sabina kembali berdecih lirih.

"Apa kau kehabisan bahan pembicaraan, Bang? Tak sepatutnya kau bicara itu! Urusanku ingin menikah lagi atau tidak tak ada sangkut pautnya denganmu. Ini hidupku, terserah aku akan bagaimana sebaiknya kau tak perlu menghawatirkan ku. Toh aku masih bisa menghasilkan dan tidak mencuri!" Radis mengangguk.

"Jaga kesehatanmu selalu, Bin. Titip salam untuk anak-anak!" Sabina yang mengangguk setelahnya.

"Mbak ... Mbak Bina!"

"Eh!"

"Kebiasaan kan, sangat hobi melamun!"

"Maaf, Vi. Eh bagaimana penampilan, Mbak?" kata Sabina mematut diri di cermin. Sabina tengah menggunakan kemeja putih panjang milik Viola dipadu rok plisket panjang miliknya. Jilbab berwarna biru langit tampak menjadi penutup kepala Sabina.

"Perfect. Cantik! Mbak tuh seperti anak SMA yang mau berangkat magang."

"Hush! Mulai deh. Muji gak jelas!" ucap Sabina merapihkan jilbabnya yang sedikit miring. Ia menarik sisi kanan dan kiri hijabnya dan mengikatnya ke belakang. Sabina memang belum sempurna berjilbab.

"Suer, Mbak. Mbak tuh cantik, terlebih tubuh Mbak kecil imut-imut, jadi terlihat muda."

"Udah ahh, males kamu ngomong bokis terus!"

"Ihh dibilang gak percaya!" Viola mendekat pada Sabina.

"Tunggu deh, Mbak, ada yang kurang nih! Hm__ pewarna bibir. Pakai lipstik aku nih, Mbak!" Viola menyodorkan lipstik berwarna nude pada Sabina. Sabina bergeming menatap lipstik yang Viola sodorkan.

"Tenang Mbak, warnanya soft, gak terlalu kelihatan kok!"

"Nggak, ah! Mau jadi tukang cuci piring aja gaya!" celetuk Sabina.

"Ah Mbak selalu begitu."

"Vi, kamu yakin gak pa pa jaga Zio?" Sabina serius menatap wajah Viola. Setiap kali menatap Viola seakan ada ribuan kata terima kasih yang tak kan cukup diucapkan oleh Sabina karena kebaikan Viola selama ini.

"Yakin Mbakku yang cantik!" Sabina seketika memeluk Viola. "Makasih, Mbak doakan suatu saat kamu ketemu Pangerang yang mencintai kamu dengan tulus."

"Baru aku mau berdo'a itu untuk Mbak!"

"Ih nakal!" Sabina mencubit hidung Viola gemas.

"Mbak berangkat, Vi. Bye!"

"Bye, Mbak."

.........

"Jadi kamu ingin melamar pekerjaan di sini?" Seorang lelaki muda dan gagah bertanya sembari menatap Sabina dari atas ke bawah.

"Iya, Pak," kata Sabina mantap. Wajah Sabina saat ini merona penuh rasa percaya diri. Sesuatu yang terpikir positif maka akan memancarkan aura positif pula. Semua terlihat dari sumringahnya wajah Sabina, dan hal positif yang Sabina ciptakan nyatanya membuat lelaki yang mewawancarai Sabina turut happy dan bersemangat. Sabina juga banyak tersenyum saat ini.

"Oke! Aku suka semangat dan kepribadian kamu!" Tangan sang pria membuka sebuah laci dan mengeluarkan dua stell seragam, ia meletakkan seragam-seragam itu ke atas meja setelahnya.

"Ini seragam kamu, besok kamu datang jam 3 sore!"

"Lho Pak, memang tukang cuci piring pakai seragam juga, ya?" tanya Sabina bingung melihat dua seragam berwarna hitam dan abu-abu disodorkan ke arahnya.

"Tukang cuci? Lho memang kamu di sini melamar pekerjaan sebagai apa?" Sang Lelaki dengan name tag bertulis EDO menggaruk kepala bingung.

"Saya melamar sebagai tukang cuci piring, Pak," kata Sabina mantap.

"Bukan waiters?" Sabina menggeleng.

"Tapi gaji waiters lebih besar loh!"

"Ti-dak, Pak!" ucap Sabina lagi menolak penawaran Edo.

"Boleh tau alasannya kenapa?"

"Karena saya tidak sesuai dengan kualifikasi yang Bapak cari. Usia saya sudah di atas tiga puluh, Pak!" Sabina tersenyum getir. Sebetulnya alasan usia hanya dibuat-buat saja. Alasan sebetulnya Sabina sungkan dengan pekerjaan yang bertemu banyak orang. Ia trauma disebut pelakor. Edo kembali menelusuri wajah Sabina. Ia tak percaya dengan penuturan Sabina. Ia pun mengambil amplop coklat yang bahkan belum ia lihat isinya. Ia melihat tanggal lahir Sabina setelahnya dari Curiculum Vitae yang ditulis Sabina dengan tulisan tangan yang sangat rapi. Jelas di sana kalau Sabina lahir tahun 1990 yang artinya usia Sabina kini tiga puluh dua tahun.

"Kalau saya terima kamu walau usia kamu di atas kualifikasi?" Sabina menggeleng cepat.

"Saya hanya ingin menjadi tukang cuci piring sa-ja, Pak!" Edo memijat dahinya. Ia baru melihat seorang wanita yang ia permudah menjadi waiters dengan gaji lumayan, tapi menolak mentah-mentah dan memilih menjadi tukang cuci piring, pekerjaan yang tentunya membuat lelah dan kotor.

"Tapi kami lebih mengutamakan mencari posisi waiters dahulu, bagaimana?"

Sabina terdiam mematung, ia bingung apakah harus menerima tawaran menjadi waiters, tapi itu artinya ia akan bekerja di depan banyak manusia termasuk lelaki. Sabina ingin menolak, tapi ia sangat butuh pekerjaan itu.

"Jadi bagaimana Sa-bi-na?"

"Hm_____

💞SABINA DAN BANG RADIS

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sabar

2022-11-06

1

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

Mbak Bina baby face ya Vi

2022-10-06

1

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂

lain dimulut lain dihati

2022-10-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!