Matahari mulai merangkak naik, setelah Sabina, Viola dan Zio menyelesaikan sarapan, mereka beranjak ke ruang tamu. Sabina dan Viola kompak tersenyum melihat polah Zio yang berbicara sendiri menjadi dubber beberapa mainan di tangannya.
Sabina masih tersenyum saat Viola tiba-tiba menggenggam tangannya membuat Sabina menoleh. Senyum cantik langsung ditangkap Sabina atas gadis ayu dengan rambut sebahu yang kini tampak santai menggunakan daster sedengkul tanpa lengan.
"Ngobrol yang kemarin yuk, Mbak!" ajak Viola. Sabina yang selama ini banyak ditolong Viola tentu tak dapat menolak, terlebih Viola telah mengetahui semua yang terjadi dalam hidup Sabina. Sabina mengangguk.
Sabina lalu menceritakan hal yang terjadi padanya kemarin terkait permintaan Yoga yang ingin menjadikan Sabina istri keduanya. Viola terang tercekat, ia kaget mengetahui kakak ipar sahabatnya terang-terangan menyatakan hal tersebut pada Sabina yang sudah dianggapnya kakak.
"Kurang ajar mas Yoga! Gak ada beda dong dia sama bang Radis mantan suami mbak Sabina?" Sabina tersenyum getir, ia mengangguk.
"Laki-laki itu maunya apa sih, mbak Puspa itu kan punya segalanya, kok bisa-bisanya mas Yoga terlintas hal yang jelas-jelas akan menyakiti hati mbak Puspa!"
"Mbak juga kaget," imbuh Sabina.
"Habis itu bagaimana? Mbak laporin kelakuan mas Yoga sama mbak Puspa nggak?" tanya Viola lagi penuh semangat.
"Mbak udah keburu marah. Setelah mbak menolak pinta pak Yoga, mbak langsung mengajukan pengunduran diri dari menjaga Putri."
"Bagus itu, Mbak. Terus mas Yoga reaksinya gimana?" Genggaman tangan Viola semakin kuat, ia bangga dengan sikap Sabina.
"Pak Yoga berusaha menahan mbak. Katanya demi Putri mbak nggak boleh pergi. Gimana mbak akan bertahan kalau kelakuan bapaknya sendiri seperti itu. Mbak kekeh meminta pergi. Mbak ancam saja akan memberitahu Bu Puspa semuanya, akhirnya pak Yoga membiarkan mbak ke luar dari rumah dia."
"Wahh, mbak hebat banget." Senyum Viola tampak mengembang.
"Jelas banget kan tipu dayanya pak Yoga, sebelumnya dia bilang sudah mendapat restu Bu Puspa, giliran mbak ancam sedikit dia ketakutan. Ketahuan banget kalau Bu Puspa nyatanya belum tahu niat pak Yoga. Hem, laki-laki. Mbak gak bisa bayangin jika yang diajak wanita yang mau-an, gimana perasaan Bu Puspa. Kasihan." Kalimat yang sebelum penuh luapan emosi mendadak terdengar getir. Sabina berulang kali menghela napas berat.
"Pasti mbak lagi bayangin kondisi mbak saat itu!"
Sabina menoleh cepat menatap Viola. "Kamu benar Vi, tepat! Seketika saat itu pula mbak membayangkan bang Radis. Bang Radis yang sedang merayu wanita lain di belakang mbak. Tak hanya itu, mbak juga membayangkan apa yang akan dirasakan Bu Puspa saat tahu suaminya terlintas menduakannya."
"Apa mbak menyesal saat itu sempat bertahan?"
"Sedikit, tapi sudah lah yang terjadi sudah terjadi. Setidaknya mbak saat itu ada usaha bertahan untuk anak-anak walau nyatanya mbak menyerah," ucap Sabina sambil menatap Zio yang memiliki wajah tak membuang Radis. Sabina tampak menggeleng saat Zio ingin melempar mainannya. Zio yang ketahuan langsung kembali duduk bermain dengan tenang.
"Karena mbak gak siap menanggung beban kehidupan sendiri," kata Viola merangkul bahu Sabina.
"Tepat. Itulah sebabnya mbak sering bilang sama kamu harus semangat menyelesaikan kuliah dan bekerja di tempat yang bonafit. Kita wanita tak ada salahnya memiliki kemantapan pendidikan dan pekerjaan, karena kita gak pernah tahu yang terjadi pada hidup kita ke depan."
"Seperti mbak?" Sabina mengangguk.
"Dulu mbak gak punya cita-cita tinggi, cukup menikah dan menjadi istri dan ibu aja. Semua serba dari bang Radis. Mbak mengandalkan bang Radis, hingga ujian itu datang dan mbak gak siap hidup sendiri," lirih Sabina menatap Viola yang sedang menyimak setiap kata yang terucap dari mulut Sabina.
"Tapi nyatanya dua tahun ini mbak masih bisa hidup dengan baik, bahkan mbak bisa tuh menyekolahkan agama yang nginep itu untuk anak pertama mbak."
"Itu namanya pesantren, Sayang. Iya, Alhamdulillah. Semua berkat bantuan keluarga mbak yang mau menjaga Zio kala itu dan mbak jadi bisa bekerja di pabrik pakaian dalam hingga bisa mengumpulkan uang untuk biaya masuk pesantren Zidan."
"Mbak luar biasa!"
"Tidak tanpa support keluarga. Mbak itu wanita lemah kalau bukan karena semangat dari keluarga yang akhirnya mbak membuktikan dan bisa. Kalau mbak saat itu gak kerja mungkin Zidan gak bisa masuk pondok. Ya, walau kini mbak harus tertatih lantaran ibu mbak sakit-sakitan dan adik mbak sudah bertemu jodohnya membuat mbak nggak bisa lagi menitipkan Zio saat kerja."
"Dan mbak memutuskan ke luar dari rumah, berjuang bertahan hingga akhirnya mbak bertemu aku," lontar Viola.
"Iya, aku pergi dari rumah karena merasa menjadi beban adikku yang sudah menikah dan mengurus ibu juga. Alhasil dengan menguatkan tekad aku pergi dan lagi-lagi Allah begitu sayang mbak. Setelah satu tahun mbak tertatih hidup sendiri, mbak kemudian dipertemukan dengan kamu orang yang sangat baik." Viola tampak tersenyum.
"Karena aku yakin mbak orang baik, aku lihat saat mbak sering lewat di depan mini market dan membagikan nasi untuk anak jalanan dan peminta-minta, mbak juga hari itu tampak keren bantu aku meloloskan diri dari sekumpulan preman yang mau ambil tas aku pulang kerja. Mbak tahu, mbak itu idola sekaligus pahlawan aku!"
"Kamu berlebihan. Cari idola kok janda, aku cuma sampah masyarakat. Keberadaanku seolah momok menyeramkan buat ibu-ibu! Aku cuma wanita yang sering direndahkan, dianggap wanita penggoda!" Sabina benar-benar mengucapkan hal yang ia rasa selama ini. Tentang pendapat masyarakat yang meremehkan seorang janda, berpikir semua janda jahat dan akan merebut suami-suami mereka.
"Aku tahu mbak nggak seperti itu. Oh ya, btw, rencana mbak selanjutnya apa? Kalau mbak mau usaha aku ada sedikit modal." Viola bicara selembut mungkin tak ingin Sabina salah paham. Sungguh buat Viola baik, tak ada sedikit pun merendahkan Sabina. Ia sayang Sabina kendati keduanya berbeda.
"Modal buat usaha apa? Aku masih inget bagaimana ibu-ibu dulu mengejek aku saat aku jualan nasi uduk. Mereka memfitnah aku mengganggu suami mereka padahal aku juga gak ngapa-ngapain. Salahin suami mereka dong yang jadi sering beli nasi uduk aku ketimbang makan sarapan di rumahnya!"
Viola mengerucutkan bibir. Ia menyesali yang terjadi dan berpikir kira-kira hal apa yang biasa Sabina lakukan. Ia tak ingin Sabina bosan dan kembali sering memikirkan kehidupan masa lalunya.
"Yauda kalau begitu mbak santai-santai aja dulu di apartemen sambil berpikir rencana mbak selanjutnya. Nanti kalau aku lihat informasi lowongan aku akan kasih tau mbak!".
Dengan cepat Sabina mengeratkan eratan jemarinya, Viola sungguh wanita baik.
"Makasih banyak ya, Vi. Kamu selalu ada untuk mbak, mbak gak tahu bagaimana balas semua kebaikan kamu," lirih Sabina.
"Mbak bicara apa sih! Dekat dengan mbak membuat aku seolah punya saudara. Aku gadis yang terbiasa hidup sendiri semenjak papa dan mama kecelakaan merasa lebih bersemangat dan bahagia ada mbak di apartemen aku. Aku sayang mbak Sabina." Tanpa aba-aba Viola memeluk erat Sabina, Sabina pun membalas pelukan itu.
Bersambung ....
_____________
💕Happy reading 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trussabar
2022-11-06
1
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
makasih Viola, sudah menerima Sabina di rumah mu..
2022-10-06
0
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
aku juga gak ngerti asal muasal janda tuh dianggap momok menakutkan
2022-10-06
1