Celine menunggui Lili mandi. Pasalnya waktu yang dihabiskan Lili di kamar mandi begitu lama. Dahi Celine berkerut saat ia mencoba menempelkan telinganya di pintu kamar mandi.
Celine lalu beranjak dari sana dan meraih ponselnya. Garis-garis di dahinya pun mengendur dan memudar. Ada segaris lengkung di mulutnya ketika ia memandangi layar ponselnya.
Kepada telinganya ia mendengar sebuah suara merdu dari seorang pujangga muda. Pujangga muda, anggap saja begitu. Sebab, Celine pun tak kenal siapa yang bersuara. Laki-laki itu sudah layak disebut sebagai pujangga.
Itu adalah ruang dengar yang sama dengan yang tadi Celine lihat di ponsel Lili. Itu adalah siaran Arjuna.
Dengan cekatan, jemarinya pun mengetikkan beberapa kalimat yang ditujukannya langsung melalui direct message dalam aplikasi.
Arjuna baru saja usai membacakan karya kiriman pendengar. Tiba-tiba tawa kecil tersangkut di kata-katanya yang tidak terkesan lucu sama sekali. Bahkan, tidak ada hubungannya dengan sebuah tawa.
"Gue terkesan dengan diksi 'candu pada aroma janjimu'. Kalau boleh ditebak, si Rinai adalah orang yang suka dimanjakan dengan janji-janji manis dari... em... sebentar... Haha... Ckck... "
Arjuna diam sejenak.
"Eh, sampai dimana kita tadi? Oh, janji-janji manis. Ya, diksi itu lugas banget artinya ya," lanjut Arjuna.
Tentu saja ada yang mendistraksi Arjuna. Apakah itu karena pesan DM yang dikirimkan oleh Celine barusan? Pasalnya Celine pun tersenyum-senyum sendiri di saat yang sama.
Arjuna tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraannya ke hal yang lain. Komentarnya tentang puisi dari Rinai diakhiri begitu saja.
"Oke, untuk tulisan Rinai secara umum gue suka banget. Semangat terus ya untuk Rinai. Gue tunggu karya-karyalu yang lain."
"By the way, guys. Gimana sih pendapat lu tentang pertemanan virtual yang dibawa ke real life? Jadi, misalnya salah satu teman online lu ngajak meet up, di mana sebelum-sebelumnya lu sedikit pun belum pernah minimal tahu foto doi apalagi sampai tahu pekerjaan dan status doi."
"Haha... Enggak sih, ya, gue... Kalau dari gue pribadi mah welcome banget. Soalnya, dari sebuah pertemuan kan ga ada yang tahu perihal rejeki, jodoh, dan lain-lain. Bisa aja semua itu muncul melalui seseorang yang bertemu dengan kita, kan?"
"Di bawah ada yang typing. Jadi, lu abis diajak meet up sama cewek, bang? Hahaha... Pertanyaannya! Elu masih nanya kaya gitu? Ck... Masa lu ga tahu resiko host choice, ya jelas lah ada yang ngajakin gue meet up. Ehem... ehem... "
"Ah, udah, udah, udah! Daripada kesombongan gue semakin menyuar, mending gue bacain sebuah karya lagi. Kali ini bukan kiriman dari siapa-siapa. Ini karya pilihan gue."
"Ini spesial untuk someone. Semoga ini bisa menghibur lu, menghilangkan over thinking lu, dan cukup terima diri lu aja. Ketika lu sekarang lagi sedih atau lagi kesal atau lagi happy, sadari itu semua bagian dari diri lu. Itu adalah emosi-emosi diri yang memang seharusnya sedang lu alami."
*
"Langsung aja, guys. Sebuah karya berjudul 'Terlalu Sangat Berlalu' karya Arief Munandar."
"Pernah aku mengingat beberapa janji yang hilang tempatinya;
Kejamnya mimpi yang hilang laksananya.
Masa lalu itu, bukan pujian akan lunaknya hatiku.
Masa lalu itu, bukan kenangan yang seharusnya berlalu.
Yang hilang dengan perlahan, disita kehendak-kehendak waktu.
Tidak lagi ada seragam yang bisa aku kenakan, tidak lagi.
Terkadang aku berharap masa-masa itu akan selalu berjaya,
Masa itu akan selalu memeluk.
Namun waktu, bukan waktu namanya;
Jika ia tidak mampu menghimpit sejarah.
Tapi lalu, adakah yang mengerti?
Atau mungkin, hanya aku yang tidak pernah mengerti?
Waktu yang menjadikan subuh alasan pergantian malam;
Perpisahan sekolah alasan pergantian jalan.
Yang tersisa hanya malam-malam panjang, untuk si perenung;
Untuk manusia yang tidak ingin tersingkir.
Berontak, berharap waktu tidak pernah bekerja,
Buram, sepi, dan sulit dimengerti…
Waktu yang selalu mengajari kita, menghargai segala yang baru;
Segala yang datang secara tiba-tiba,
Segala yang tidak kita harapkan kehadirannya.
Lalu kemudian kita mulai menghargainya,
Lalu kemudian kita menetap di dalamnya,
Lalu kemudian semuanya, diambil kembali…
Waktu yang kasar…
Memaksa kita, untuk tidak terlalu menghargai pemberian.
Dan hanya…
Atau mungkin, hanya akulah yang kasar.
Hari-hari yang berlalu, waktu-waktu yang bergerak,
Meninggalkan siapapun yang menetap.
Terkadang aku berpikir,
Mengapa waktu tidak pernah membiarkan kita yang memilih?
Mengapa harus, selalu dia yang memilih?
Banyak kisah yang membisu di sana,
Membawa semua yang tertinggal,
Atau mungkin, hanya aku yang tertinggal?
Atau mungkin, hanya aku yang tidak pernah mengerti?
Dan lalu, semuanya berlalu…
Terlalu sangat berlalu… "
"Itulah, sebuah karya berjudul 'Terlalu Sangat Berlalu' karya Arief Munandar, dibacakan dengan sangat tidak sempurna oleh Arjuna di Ruang Dengar Puisi."
*
Tak beberapa lama setelah pembacaan puisi itu usai, Lili pun keluar dari kamar mandi dan beranjak ke kamar tidur Celine. Lili mendapati Celine sedang senyum-senyum sendiri sambil memperhatikan ponselnya.
Lili pun mendekat. Ia mencoba mendapatkan layar ponsel Celine oleh kedua netranya. Lili melirik dan Celine cegah dengan menghimpit ponselnya di dadanya.
"Yee... Aplikasi audio itu juga, room siaran itu juga! Lu ngeledek-ledekin gue soal room sajak, meruntuhkan tembok di hati blablabla... Elu sendiri kaya kena gangguan jiwa, senyum-senyum sendiri gitu dengerin siaran sajak! Udah dapet jodoh di sana, lu?" ucap Lili.
"Ga usah kepo!" jawab Celine sambil menyeringai dan pergi.
"Huh, dasar!" gerutu Lili pelan.
Lili yang masih melilit tubuhnya dengan handuk itu pun menggunakan pakaiannya di saat Celine sudah meninggalkan kamar itu.
*
Pasca keanehan sikap Celine itu, hingga waktunya tidur pun Lili masih memperhatikan gelagat Celine. Kini Celine jadi lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada mengajak Lili mengobrol, walau pun Lili ada di dekatnya.
Celine seakan tidak putus-putusnya berurusan dengan aplikasi chat di ponselnya.
"Jadi, apa benar Celine baru aja dapet bucinan dari dunia virtual?" batin Lili.
Lili pun tersenyum melihat wajah Celine yang berseri saat menatap layar ponselnya. Lili membiarkan Celine, tidak mengganggunya. Ia merasa senang apabila sahabatnya itu terlihat bahagia. Seketika kenangan pilu yang Lili rasakan tadi memudar, berganti kebahagiaan kecil tentang sahabatnya.
*
Hari pun berganti. Lili dan Celine biasanya sering saling berkunjung, bahkan menginap di tempat tinggal salah satu dari mereka secara bergantian.
Namun, akhir-akhir ini Celine terlihat sibuk dengan dirinya sendiri. Lili sangat paham itu karena sahabatnya itu mungkin sedang menikmati hubungan kasmaran virtualnya.
Hingga pada akhirnya...
"Lin, tadi sore gue lihat lu lagi berduaan sama cowok. Lu abis jalan sama gebetan lu?" tanya Lili di dalam sebuah video call.
"Hah? Serius lu liat?" ucap Celine terkejut. "Mampus, gue," gumamnya berbisik.
"Apaan sih, lu? Biasa aja kali!" ucap Lili.
"Lu lihatnya dimana? Jadi, lu udah tahu cowok itu?" tanya Celine.
"Kebetulan gue lewat Caffe Cak Moel, tapi jauh sih. Soalnya gue lagi jalan ke halte. Lu tahu halte deket situ kan? Yah, jadi gue biarin aja lu sama doi. Males gue nyamperin kalian," jawab Lili.
"Males? Lu udah tahu tu cowok?" tanya Celine lagi.
"Boro-boro tahu. Mukanya aja ga kelihatan. Maksud gue bukan males nyamperin lu karena tu cowok, Lin. Tapi, karena kejauhan. Waktu itu gue lagi buru-buru aja, makanya gue ga nyamperin kalian," jawab Lili.
Celine menghembuskan napas seakan begitu lega. Lili merasa ada yang mengganjal. Ia merasa Celine seolah menyembunyikan sesuatu darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Nenie desu
favorit, ceritanya bagus kak 🤗🙏
2022-08-14
4
Nenie desu
jangan lupa mampir di novel aq kak🤗🙏🤗😇
2022-08-14
3
Nenie desu
semangat terus kak 🤗🙏
2022-08-14
3