Selepas melakukan meditasi, Punta mengajak Lili dan Celine menikmati apa yang ada di lingkungan itu.
Saat berada di hadapan sebuah kolam, Punta menceritakan filosofi air dan peran keberadaannya. Saat berada di hadapan sebuah pohon besar, Punta juga menceritakan filosofi pohon dan peran keberadaannya, demikian juga yang lainnya.
Hal itu membuat Celine yang tadinya ketakutan sedikit lebih tenang karena pikirannya teralihkan dengan sangat baik.
Senja hampir usai, menyusul malam yang di ujung langit merah. Lili, Celine dan Punta pun kembali ke kediaman Punta. Setelah itu masing-masing mereka membersihkan diri.
Selain makan malam yang sudah menanti, tabib pun sudah datang. Luka di kaki Lili diperiksa dan diberikan obat herbal tambahan. Tabib pun meresepkan ramuan yang perlu terus dikonsumsi Lili untuk penyembuhannya yang lebih cepat.
"Sepertinya besok kita sudah bisa pulang," ucap Celine setelah melihat kondisi Lili yang semakin membaik.
Kerutan di dahi Lili mencerminkan bahwa ia sebenarnya sedang begitu betah di tempat ini.
"Kenapa buru-buru banget? Nggak nunggu kaki Lili pulih total dulu?" tanya Punta.
"Bukannya tadi pak tabib sudah bilang kalau keadaan Lili sudah membaik?" ucap Celine.
"Ya, benar juga apa kata Celine, Punta. Kami tidak boleh terlalu lama liburan, karena kami harus kerja. Gue tahu banget kerjaan Celine pun sekarang lagi banyak-banyaknya," sambung Lili.
"Saya kira bukan hanya itu. Celine, kamu masih takut dengan penglihatan itu?" ucap Punta.
"Em... Em..." Celine kehabisan kata-kata.
"Penglihatan? Penglihatan apa?" tanya Lili.
"Cuma sekelibat aja waktu meditasi tadi. Hehe... Ga penting sih, awalnya gue takut tapi lama-lama gue ngerasa itu adalah mimpi doang," jawab Celine.
"Kamu yakin?" ucap Punta.
"Iya, iya. Eh, kita habiskan makan malam ini yuk. Gue pingin tidur lebih awal malam ini. Biar besok ga kesiangan," ujar Celine.
Celine terlihat kikuk. Semua orang bisa menangkap keinginannya yang kuat bahwa Celine ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Mungkin benar apa yang dikatakan Punta, Celine sedang ketakutan.
*
Hari berganti. Celine dan Lili akan kembali ke kota bersama travel sewaan mereka. Mereka berangkat subuh, pukul lima.
Asisten rumahtangga yang begitu baik membungkus kan dan memberikan bekal makanan kepada mereka.
Sebelum mereka pergi, Punta mengucapkan sesuatu dengan lirih kepada Celine.
"Ingat, Celine, apapun yang terjadi, seburuk apapun hal yang kamu rasakan, hanya kamu sendiri yang bisa mengatasinya. Pikiranmu itu hanya kamu sendiri yang bisa menguasainya," ucap Punta.
Celine pun mengangguk paham kepada Punta. Lalu, mereka pun berangkat.
Di perjalanan, mereka membahas tentang warung nenek yang pernah mereka kunjungi.
"Kalau ga salah setelah tikungan nanti, Nona. Nah, di depan kan ada jembatan itu," ucap supir travel.
"Coba ya kita lihat, apa warungnya beneran ada atau itu warung gaib," sambung Lili.
"Klo gue sih yakin banget kalau tuh warung adalah warung jadi-jadian. Neneknya juga itu nenek jadi-jadian," ucap Celine.
"Eh... Di situ kan harusnya?" ucap Lili.
"Iya, saya yakin juga harusnya warungnya ada di situ. Tapi, sekarang Ndak ada," sambung supir travel.
"Nah benar kan, itu warung gaib," ucap Celine.
Mobil mereka telah melewati tempat yang begitu mereka kenali itu. Namun, tiada apapun di sana.
Setelah melewatinya, Celine pun menengok ke tempat yang ada di belakang mobil mereka itu. Tampak seorang nenek yang pernah dijumpainya itu sedang melambai sambil mengacung-acungkan sebuah pisau.
Celine segera membalikkan lagi posisi duduknya. Ia tak mau lagi melihat ke arah belakang. Keringat dingin mengucur di dahinya.
Jelas saja, benda yang dipegang nenek itu adalah benda yang Celine kenal. Itu adalah pisau miliknya.
Napas Celine tersengal karena ketakutan.
"Lin? Lu kenapa?" tanya Lili sembari sesekali celingukan ke arah belakang.
"Pak, cepetan Pak. Ngebut Pak. Cepetan pergi dari sini," racau Celine.
Melihat Celine yang ketakutan, lantas Lili pun tak meneruskan pertanyaan-pertanyaannya. Ia segera menenangkan Celine dengan mengusap lengan dan memberinya air minum.
*
Waktu pun berlalu. Sudah seminggu lamanya sejak kepulangan Lili dan Celine. Celine ke kantor dengan menggunakan bantuan sebuah tongkat.
Sudah seminggu pula Kiki selalu membantu Celine baik pergi maupun pulang kerja. Ia selalu menemani dengan menggunakan mobil panggilan online.
Sore ini, Kiki sudah menunggu Lili di depan kantornya dengan kendaraan online.
"Nah, itu dia." Kiki pun segera menghampiri Lili, mengantar dan membantunya untuk masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati, Mbak," ucapnya. "Ya, santai. Bukannya udah biasa ya?" balas Lili.
Kiki lalu menutup pintu di dekat Lili lalu berjalan memutar dan masuk melalui pintu di seberangnya.
Mobil pun beranjak dari halaman kantor Lili. Supir mobil menyalakan siaran radio.
"Juara sastra belia ini mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Kepiawaiannya dalam membawakan puisi-puisi kontemporer membuat para juri... "
Demikian yang Lili dengar dari radio di dalam mobil tersebut. Terlihat Lili dengan tatapan yang kosong, wajahnya tetiba tak secerah sebelumnya.
"Ada apa, Mbak?" tanya Kiki.
Lili masih saja melamun.
"Halo? Mbak? Mbak Li?" Kiki melambai-lambaikan jarinya di depan wajah Lili. Lili pun tersentak, tersadar dari lamunannya.
"Eh, kenapa, kenapa?" ucap Lili.
"Mbak yang kenapa? Mbak melamun ya?" ucap Kiki.
Lili tersenyum pelit.
"Mbak, kalau ada apa-apa cerita saja sama saya. Seperti biasanya, saya pasti bisa membuat Mbak tersenyum lagi," lanjut Kiki.
"Hem... Apa iya?" ucap Lili pelan.
"Lah, iya dong. Saya yakin betul dengan karisma yang saya punya saya bisa..." ucap Kiki menyombongkan diri.
"Iya, iya, si paling berkarisma," sela Lili.
"Sebenarnya gue sebelumnya selalu rajin bermain aplikasi audio live streaming. Berita di radio barusan mengingatkan gue pada siaran di sana," ucap Lili.
"Ya, Mbak pernah bercerita. Tapi, kalau sekarang sudah ga sempat mau bagaimana lagi. Mbak tentu harus membagi waktu biar ga tepar setelah seharian bekerja," jawab Kiki.
"Sebenarnya bukan hanya karena sibuk bekerja, tapi... " ucap Lili.
"Tapi kenapa?" sambung Kiki.
"Emh... " Lili menggeleng sambil tersenyum.
"Ah nanggung ceritanya. Ga seru," keluh Kiki.
"Ki, gue ini suka puisi, lu tahu kan?" ucap Lili.
"Oh, iya. Tahu tahu," jawab Kiki.
"Sebenarnya ada salah satu penyiar yang sudah ga nongol-nongol lagi di aplikasi itu. Gara-gara dia gue suka puisi," jelas Lili.
"Hem... Kenapa ya tu orang ga siaran-siaran puisi lagi?" tanya Kiki.
"Gue ga tahu, Ki," jawab Lili.
"Saya yang bacain puisi buat Mbak aja gimana?" tanya Kiki.
"Ih, apaan sih. Kapan-kapan aja gabutnya, Ki," jawab Lili.
Kiki pun mendongak, memandang keadaan di luar jendela mobil di depan.
"Nah, pas banget kayanya. Pak, Pak, nanti berhenti setelah tikungan ini ya? Yang tempat puncak pas itu," ucap Kiki kepada supir.
"Lu mau ngapain Ki? Mau kencing lu?" tanya Lili.
"Udah, pokoknya Mbak ngikut aja deh," ucap Kiki.
"Ngikut lu kencing? Ih, ogah!" protes Lili.
Mobil pun berhenti di tepi jalan. Tepi jalan melebar dari batas aspal. Tempat ini ada di pinggir tebing dengan batas pagar pendek. Dari sini terlihat laut lepas yang indah.
Kiki pun mengajak Lili, ia membantu Lili keluar dari mobil.
Memandang ke sekelilingnya Lili merasa lebih segar. Namun, kenangan lama Lili muncul di kepalanya. Laut, itu adalah tempat ia dan pacar di masa lalunya terjebak di antara maut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments