POV Sandyakala
"Jadi, ada rencana nembak Nika?" kata Abhi sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Nggaklah, aku cuma mau buat Nika bahagia" jawabku singkat
"Pengecut" ejek Abhi sambil tertawa
"Iya.. aku pengecut, aku takut kalau Arunika jadi berubah" jawabku sambil menerawang jauh.
"Kenapa mesti berubah? Harusnya bahagia dong" tambah Abhi dengan nada serius.
Aku hanya diam, mungkin iya harusnya bahagia, namun menurutku ini bukan saat yang tepat. Fokusku saat ini hanyalah bagaimana aku harus membahagiakan Arunika. Tidak penting kalau Arunika tahu bagaimana perasaanku kepadanya.
Aku sudah minta tolong Pak Santo untuk menyiapkan semua, mulai dari tiket kereta pulang-pergi, tempat menginap dan tentu saja, ada seorang kenalan Pak Santo yang dengan sukarela akan menjadi tour guide kami berdua nantinya. Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Hanya berharap semua bisa berjalan sesuai rencana ku.
Seseorang menutup mataku, tangan yang lembut dan aroma parfum yang khas. Pasti ini Kanaya, kalau sudah di posisi seperti ini, sulit bagiku untuk menghindarinya. Seseorang menarik paksa tangannya dari mataku, pasti Abhi yang melakukan itu.
"Nggak ada kerjaan ya?" bentak Abhi
"Kamu tuh yang nggak ada kerjaan, selalu mengganggu" balas Kanaya tidak kalah galak.
Ini kesempatan yang tepat, aku lalu berdiri dan pergi menjauh. Perempuan genit seperti Kanaya harus bisa dihindari, dan jangan diberi hati. Berulang kali Kanaya menyatakan ingin menjadi pacarku, tapi aku abaikan. Aku juga tidak pasti apakah Kanaya hanya menggodaku atau dia serius dengan kata-katanya. Aku hanya mampu menertawakan diriku, menyatakan cinta dengan Arunika yang jelas sudah sangat aku cintai saja aku tidak berani, masak iya aku lalu berpacaran dengan Kanaya yang hanya ku anggap teman biasa.
Abhi menyusulku sambil tertawa, mungkin dia puas membuat Kanaya marah. Entah mengapa Abhi sangat jelas tidak suka pada Kanaya. Pernah aku tanyakan, jawabnya hanya karena tidak suka dengan cewek genit seperti Kanaya, berbahaya katanya. Ada-ada saja. Kami sepakat untuk pulang bersama, Abhi akan mengantarku dengan menaiki Vespa tua kesayangannya. Kami hampir sampai di rumah saat aroma nasi goreng dari pedagang kaki lima di ujung taman menggugah rasa lapar kami. Kami lalu berhenti untuk menikmati nasi goreng di bawah langit bertabur bintang.
Selesai makan, ku rogoh saku celanaku untuk mengambil handphone. Ada WA dari Kanaya yang merajuk karena kami tinggalkan. Ada WA dari mama yang mengabari ku untuk makan sebelum pulang karena mama tidak menyiapkan makan malam. Ahhh...si mama selalu saja begitu, sekarang membeli lauk dan sayur di ujung gang pun mama sudah mager. Semua hanya ku baca, malas untuk membalasnya. Belum sempat ku masukkan handphone kembali ke dalam saku celanaku, ada telpon dari Bunda Mikha, segera ku jawab teleponnya.
"Iya, ada apa bund?"tanyaku mencari tahu
"Nika demam, ayah ke luar kota. Sandy ke sini ya temani bunda bawa Nika ke poliklinik" kata bunda.
"Baik bund" jawabku dalam keadaan panik.
Kututup telponku, kemudian aku menelpon Pak Santo untuk bersiap menjemput Arunika di rumah sebelah. Aku dan Abhi lalu bergegas menuju ke rumah, Abhi yang rencananya mau pulang akhirnya malah ikut mengantar Arunika ke poliklinik.
"Panasnya tinggi Sand, sampai 40 derajat, mual muntah juga" kata bunda begitu aku sampai di rumah sebelah.
Bergegas aku ke kamar Nika, ku gendong tubuhnya yang terasa panas dan tampak lemas.
...****************...
POV Arunika
Aku merasa demam dan kedinginan, selain merasa kedinginan, suhu badan ku juga naik bahkan 40 derajat. Tubuh dan ototku juga terasa nyeri. Aku juga merasa mual bahkan sampai muntah. Aku hanya menutup mata, rasanya lemas dan tak bertenaga. Sampai saat aku merasa seseorang menggendongku dan ada suara bunda yang terdengar panik. perlahan ku buka mata, tampak samar wajah Sandyakala. Ku pejamkan lagi mataku, merasa tenang di dekat Sandyakala, aku tertidur.
Saat aku bangun, selang infus sudah menancap di tangan kiriku. Badanku masih panas, tapi sudah tidak terlalu lemas. Entah berapa lama sudah aku tertidur. Tampak senyum Sandyakala mengembang saat melihatku bangun.
"Udah, istirahat saja. Nika kena gejala tipes" katanya sambil membelai rambutku.
Ku jawab dengan anggukan lemah. Pasti karena aku sering jajan sembarangan. Sebenarnya berulang kali Jeevan mengingatkan ku, tapi aku enggan menurutinya. Sandyakala menyodoriku segelas air putih dan memintaku untuk minum. Sandyakala menjaga dan merawatku dengan selama aku di rumah sakit. Dia bahkan meminta ayah dan bunda untuk pulang dan tidak perlu mengkhawatirkanku. Sepulang sekolah, Jeevan juga ke rumah sakit, namun saat sore dia sudah pulang. Abhi dan Kanaya sesekali ke rumah sakit untuk memberi laporan tentang cafe dan sekaligus menjengukku. Sudah 6 hari aku di sini, hingga pagi ini suatu pagi dokter memeriksaku kembali dan menyatakan aku sudah sembuh dan boleh pulang. Tentu saja aku sangat senang .
"Selama Nika opname, Sandy nggak sekolah, nggak ke cafe, nggak ke mana-mana? Apa nggak bermasalah?" tanyaku
"Semua aku izin, ngapain pergi kalau pikiran ku di sini" jawabnya mantap sambil membantuku beres-beres.
Tidak lama kemudian ayah dan bunda datang untuk menyelesaikan semua administrasi dan membawaku pulang. Aku sudah sangat rindu rumah terutama aku rindu masakan bunda.
"Bunda masak apa?" tanya Sandyakala mendahuluiku, seperti dia bisa membaca pikiranku
"Semur ayam kesukaan Sandy" jawab bunda sumringah.
"Yahh...bunda kenapa jadi kesukaan Sandy?" protesku dengan nada manja
"Sandy sudah menjagamu dengan baik, jadi harus dilayani dengan baik juga" bela ayah.
"Yang jelas, yang jadi kesayangan itu aku" bisiknya sambil tersenyum nakal.
"Nanti ku tutup pintu rumah" candaku dengan ancaman.
Semua menatapku dan tertawa, ya Tuhan sudah lama suasana ini tidak aku rasakan. Kumpul bersama dan saling melontarkan canda. Seolah-olah aku dan Sandyakala bersaing mendapatkan perhatian ayah dan bunda. Sandyakala terus merangkulku, katanya berjaga-jaga kalau aku tiba-tiba pingsan. Bisa kubuktikan jika kata-kata Kanaya yang menyatakan bahwa Sandyakala itu egois salah total. Nyatanya, dia rela menghabiskan waktunya berhari-hari untuk menjaga dan merawatku. Aku kecewa pada diriku sendiri karena hampir termakan oleh kata-kata Kanaya itu. Harusnya, aku juga menyelidiki dari sisi Sandyakala, mungkin dia juga mencari jati dirinya dan berusaha berpetualang mencari berbagai hal yang membuat hatinya senang.
Sampai di lobby, kami bertemu dengan Jeevan yang baru saja datang. Masih memakai seragam sekolah, Jeevan berlari kecil mendekati kami.
"Jeevan, untunglah ketemu di sini" Kata ayah.
"Iya, ini Nika sudah boleh pulang. Kita semua langsung pulang bareng saja ya" sambung bunda
Jeevan hanya mengangguk dan tersenyum tanda setuju. Kami menunggu di pintu lobby sedangkan ayah ke parkiran untuk mengambil mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments