*POV SANDYAKALA
Selesai mandi, aku merasa sangat segar. Mengenai urusan mau daftar di sekolah mana, biarlah Nika yang memikirkannya. Pada prinsipnya, di manapun kita sekolah, semua tetap tergantung niat dan tanggungjawab kita sebagai siswa. Mau belajar bersungguh-sungguh atau belajar dengan bersungut-sungut hanya karena kita memenuhi perintah orangtua. Wah, pemikiranku sangat luar biasa, sangat dewasa, bisa tua sebelum waktunya. Yah, dimana saja asal bersama Nika hatiku pasti senang.
Aku lalu menuju ke meja makan. Lapar? jangan ditanya itu sudah pasti. Sepertinya mama memasak hari ini. Tidak seperti hari biasanya. Selalu saja hanya memasak nasi di magicom dan untuk urusan sayur dan lauk-pauk dibeli di ujung gang. Namun sesampainya di meja makan kekecewaan yang harus aku telan.
"Aromanya dari ujung gang ni." kataku sambil menghela napas panjang.
"Mau makan tidak?" template mama. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali aku protes dengan menu.
"Heran ya, padahal mama itu lho, punya usaha catering yang testimoni pelanggannya jempol semua tapi apa ini?" protesku semakin menggebu.
"Mau makan tidak?" ulang mama.
Aku lalu merogoh kantong celanaku, dan mengeluarkan handphoneku.
"Bunda masak apa?" tanyaku cepat "Ya sudah aku ke sana." segera ku tutup panggilanku.
"Sandy mau makan di rumah sebelah. Bunda masak semur ayam kesukaan Sandy". Tanpa basa-basi lagi aku melangkahkan kaki dengan penuh keyakinan diiringi suara genderang perang dari dalam perutku. Nasib baik ada bunda kalau tidak bisa kelaparan aku malam ini. Bukannya apa, kalau masak sendiri pasti lebih fresh. Beli di ujung gang sayurnya sudah dihangatkan berkali-kali. Membayangkan saja aku sudah tidak sanggup.
Dan saat sampai di rumah sebelah ternyata benar. Semur ayam itu sudah menantiku bersama senyum manis bunda Mikha.
"Ayo, ini sudah bunda siapkan," sambut bunda sangat hangat.
Aku langsung duduk di samping Arunika. Tanpa banyak basa-basi aku langsung menyantap makanan yang tersedia karena sudah sangat lapar.
"Sandy sepertinya kasihan sekali ya bund. Seperti orang yang habis berjalan jauh dan menyusuri Padang pasir setelah 10 purnama berlalu." ledak Arunika yang sudah selesai makan. Aku masih menikmati makananku dan sedikit mengabaikan Arunika.
"Eh, Nika. Kalau minum susu coklat mantap ni" pintaku ke Arunika setelah aku menyelesaikan makanku.
"Nggak ada susu coklat. Adanya susu kedelai hitam. Sandy mau?" jawab Arunika dengan mimik wajah sangat serius.
"Memangnya ada ya susu kedelai hitam?" tanyaku penasaran. "Apa mungkin ini suatu inovasi baru ya?" lanjutku
"Sudah ada sejak dulu kala, Sand. Masak iya Sandy nggak tau?" kata Arunika sambil menatapku dengan wajah heran.
Aku mulai berpikir keras. Mana mungkin Arunika pernah minum susu kedelai hitam tanpa berbagi denganku?
"Itu minuman khusus perempuan ya?" tanyaku sedikit ragu.
Tiba-tiba ayah dan bunda tertawa geli, Arunika menatapku sambil menahan tawanya. Ah, sial! Pasti Arunika mempermainkanku. Tapi, aku masih belum tau minuman apa yang dimaksud. Untuk menutupi rasa malu aku menjambak rambut Arunika yang dikucir kuda seperti biasanya. Tertawanya makin keras, semakin menjadi-jadi. Sangat menyenangkan melihat Arunika tertawa lepas seperti itu. Memperlihatkan gigi kelincinya dan lesung pipi di pipi kanannya. Aku lalu tersenyum melihatnya.
"Jadi apa tu?" Aku mulai mendesak mendapatkan jawaban namun tawa Arunika semakin heboh. Arunika tertawa sampai mengeluarkan air mata dan suara tawanya menghilang. Tapi dia memegang perutnya. Aku malah jadi tertawa melihat tingkah Arunika
"Nika! Apa?" aku mendesaknya lagi. Namun Arunika masih tertawa senang dan hatiku sangat bahagia melihat Arunika seperti itu. Lalu aku memutuskan berpura-pura bersungut-sungut.
"Kecap, nak" Kata Bunda diujung tawanya.
"Itu makanan bukan minuman" protesku sambil menepuk dahi.
"Kalau Sand mau minum kecap kan jadi minuman" sambung Arunika masih sambil tertawa.
"Sudahlah aku mau pulang aja daripada di sini minum kecap" kataku sambil berdiri dan melangkah untuk pergi.
"lah? dia ngambek," ledek Arunika 'Susu coklatnya jadi nggak?" lanjut Arunika sambil menawarkan susu coklat yang aku minta tadi.
"Buat besok aja" kataku tanpa menoleh lagi dan lanjut pulang.
...****************...
Sesampainya di rumah aku melihat Jeevan duduk di teras sambil fokus menatap layar handphonenya. Aku lalu duduk di sampingnya sambil menepuk perut yang kekenyangan.
"Jadi kamu tadi makan di rumah Nika?" tanya Jeevan. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaannya.
"Yakin, Arunika bukan pacarmu?" tanya Jeevan sekali lagi.
"Bukan Van" jawabku menegaskan.
"Yakin nih?" tanya Jeevan seolah masih ragu "Nggak mau dipikir-pikir dulu?" lanjut Jeevan yang membuat aku bingung
"Apanya?" tanyaku
"Ya kamu sama Nika" kata Jeevan. Sepertinya dia sangat menggebu-gebu.
"OK, aku bantu kamu untuk meyakinkan hatimu" lanjutnya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Sebenarnya apa si maunya si Jeevan ini?
"Sekarang yang ada di pikiranmu tentang Arunika apa? Apa pernah terlintas di pikiranmu bahwa kamu minimal suka atau bahkan mencintai Arunika? Dan ada niat memacari Arunika bahkan ingin menikahinya suatu saat nanti?" kata Jeevan seolah menginterogasi dan herannya pertanyaannya membuat aku berpikir keras. Aku menutup mata sambil meletakkan kedua telunjuk di tengah keningku. Bayang-bayang Arunika muncul di benakku. Terbayang tawa lepasnya tadi yang membuat hatiku senang. Aku membuka mata dan menatap Jeevan. Ini pembicaraan antar lelaki yang harus dijawab dengan gagah.
"Begini ya Van, aku itu sudah terbiasa dengan Arunika. Bahkan kita sudah kenal sejak lahir. Jadi ya begitu. Kita jalani hari-hari ya seperti biasa aja. Nggak adalah terpikir pacaran atau apalah. Semua mengalir begitu aja. Sama saja seperti selama ini kamu tinggal sama kakakmu atau mungkin adikmu yang sudah kamu kenal sejak lahir. Iya kan?" aku berusaha menjelaskan ke Jeevan dengan kata-kata yang aku sendiri tidak mengerti seperti apa harus mengatakannya. Ya karena hubunganku dengan Arunika ya memang sulit dijelaskan tapi yang jelas tidak ada istilah pacaran atau apalah itu.
"Jadi kalau Arunika punya pacar kamu nggak keberatan?" tanya Jeevan lagi
"Iya selama pacarnya nggak minta gendong ke aku ya aku nggak mungkin keberatan." jawabku sambil menatap heran ke Jeevan.
Tapi heran juga. Kenapa Jeevan menanyakan hal konyol seperti ini. Atau mungkin Jeevan suka sama Arunika dan berniat pacaran dengan Arunika? Ya, tapi kenapa Jeevan tanya-tanya seperti itu ke aku? Macam aku ni ayahnya Arunika saja. Ya, kalau dia mau, Arunikanya mau, ya tinggal mereka menjalani saja kan? Atau mungkin Jeevan hanya penasaran saja karena hubunganku dengan Arunika yang sangat akrab. Bahkan orangtua kami juga bersahabat dan bagiku ayah Rendra dan Bunda Mikha sudah seperti orangtuaku sendiri. Misalnya, kedua orangtuaku presiden, ya ayah bunda itu wakil presiden. Jika presiden tidak bisa melaksanakan tugas maka wakil yang bergerak. Ah, ya semacam itulah.
Tiba-tiba pikiranku terusik, baguslah kalau Arunika punya pacar. Ada orang lain yang ikut menjaganya dan tentu menyayanginya. Tapi, pasti waktunya juga akan terbagi. Mungkin dia memilih jalan dengan pacarnya daripada bersamaku. Tapi, ada bagusnya juga. Mungkin aku bisa mulai menjajal hal-hal baru tanpa Arunika. Bukannya merasa terganggu hanya saja selama ini aku kasihan kalau Arunika harus mengikutiku padahal dia tidak nyaman berada di situ. Seperti saat aku asyik berkumpul dengan teman-teman dan Arunika malah duduk menyendiri sambil membaca buku favoritnya. Tapi, perlu aku akui sampai saat ini hanya Arunika yang benar-benar memahamiku. Dia tahu saat yang tepat untuk membalas candaanku, dia tahu apa yang harus dia lakukan saat aku marah dan ya, dia tahu hampir semua tentang aku. Lalu, mengapa harus memikirkan tentang pacar sedang seperti ini saja sudah sangat bahagia.
"Arunika itu anaknya seperti apa Sand?" tanya Jeevan lagi.
"Ya seperti itu" jawabku sekenanya. Jujur aku bingung bagaimana harus menjelaskannya.
"Seperti itu bagaimana?" Jeevan terus mendesak
"Begini saja nak Jeevan, bukankah Arunika itu tinggal di dekat sini dan bukankah kamu tinggal di sini. Jadi kamu cari tahu sendiri saja karena manusia itu punya pendapat berbeda-beda" jawabku sok bijak.
"Tapi kenapa sih? Dari awal ketemu sampai sekarang kamu tanya-tanya Arunika terus?" tanyaku mulai penasaran.
"Astaga, Sandy! aku suka sama dia." jawab Jeevan dengan mata berkaca-kaca
"OOO" jawabku sedikit terheran bercampur kagum. Bagaimana mungkin bisa secepat itu menyukai seseorang padahal baru pertama bertemu? Mungkin Si Jeevan sudah salah makan atau dia kangen rumah jadi pikirannya mulai kacau.
"Singkat betul jawabannya" protes Jeevan
"lha terus aku harus bilang apa?" balasku
"Ya kasih kritik dan saran kah? Kasi masukan apa lah?" kata Jeevan lagi.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana. Lalu aku harus menjawab apa atad pertanyaan dan pernyataan si Jeevan ini? Aku bukan dokter cinta apalagi konsultan asmara.
"Kayaknya kamu berharap pada orang yang salah" kataku sambil memegang pundak Jeevan.
"Maksudmu aku nggak pantas gitu buat Arunika?" balas Jeevan dengan nada pesimis
"Bukan itu Van, maksudnya kamu salah berharap kritik dan saran dari aku. Aku belum pernah pacaran, belum pernah jatuh cinta" jawabku santai
"Wah, aku curiga. Jangan-jangan kamu nggak sadar kalau kamu sedang jatuh cinta. Kamu itu jadi laki-laki tidak peka dengan perasaanmu sendiri" balas Jeevan dengan pandangan skeptis.
"Sepertinya duniaku belum masuk babak percintaan, duniaku masih dunia dalam berita" kataku lalu berdiri meninggalkan Jeevan dan masuk ke rumah dan menuju ke kamar tidurku. Aku mengambil gitar dan berbaring di tempat tidurku. Pikiranku melayang lagi memikirkan pembicaraanku dengan Jeevan barusan. Huuuhhh...seumur hidup belum pernah terlintas di benakku untuk pacaran. Waktuku sudah penuh dengan kegiatan sekolah, main bulutangkis, renang, main gitar, main drum dan aku baru mulai belajar bermain basket. Sepertinya keren saat SMA dan kau jadi bintang basket. Ya, seperti di film-film atau di sinetron. Dan sesekali menemani Arunika nonton wayang. Dia sangat aneh. Suka sekali dengan dunia wayang dan kisah klasik seperti Ramayana dan Mahabarata. Juga kisah Radha dan Krisna disaat gadis-gadis lain berlomba-lomba menjadi Armynya BTS dan mengulik dunia K-POP. Arunika itu lebih memilih menonton wayang semalam suntuk dengan lakon "Petruk dadi Ratu". Iya, disaat yang lain menggilai Jeon Jung Kook atau Park Ji Min, Arunika malah memilih tokoh punakawan si Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Kata Arunika mereka hebat karena punakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, tetapi mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan sering kali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
Handphone ku bergetar. Ada notifikasi dari Whatssap dan ternyata itu Arunika. Di saat aku memikirkannya, dia malah mengirim pesan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments