POV Sandyakala
Papa menepati janjinya, saat pulang sekolah menjemputku dan Arunika. Kami kemudian meluncur ke cafe. Dengan hati berdebar-debar, aku menggandeng tangan Arunika dan melangkah ke ruang kantor di lantai 2. Om Alden sudah menunggu di sana dan ternyata, mama juga ada di sana. Setelah pembicaraan yang cukup serius namun tidak alot, sah sudah cafe ini jadi milikku. Tinggal mengurusnya di notaris saja. Hanya saja tidak seperti yang tertuang dalam teks proklamasi, bahwa hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Karena usiaku belum genap 17 tahun, dan aku belum punya KTP. Untuk sementara, semua atas nama mama. Syukurlah, semua berjalan lancar.
"Bangga ya jadi orangtuanya Sandy, masih sangat muda tapi sudah memikirkan bisnis, yang lain mikir nongkrong di cafe, eh..dia malah mikir buat punya cafe" kata Om Alden sambil merangkul pundakku.
Aku hanya tersenyum, bangga juga dengan diri sendiri. Om Alden lalu pamit pulang. Kami semua lalu berdiri dan bersalaman dengan Om Alden. Papa kembali ke kantor dan mama pamit mau kembali mengurus cateringnya.
Hanya tinggal aku dan Arunika di ruangan ini. Arunika masih memandangku bingung. Wajahnya menyiratkan banyak tanya yang ingin diungkapkan. Aku hanya tersenyum memandanginya. Ya Tuhan, dia selalu manis di mataku.
"Jadi inilah kenapa Sandy bebas melukis tembok di cafe?" tanya Arunika cerdas.
"Iya.." jawabku sambil tersenyum.
"Tapi kenapa Sandy nggak pernah cerita ke Nika?" tanyanya menyelidiki.
"Aku pingin ngasih surprise. Ya seperti ini" jawabku dengan senyum lebar.
"Tapi saat itu Kanaya sudah tahu?" tanyanya, namun pertanyaannya sangat aneh bagiku.
"Iya, jelas dia tahu. Kanaya itu keponakan Om Alden. Dia juga bantu Om Alden mengelola cafe. Bisa dibilang asistennya Om Alden" kataku menjelaskan.
"Selanjutnya, Kanaya tetap jadi asisten Sandy?" tanyanya lagi
"Ya, dilihat nanti, ngikut keputusan mama. Selama ini Abhi dan Kanaya yang selalu bantuin aku. Apa Abhi saja yang jadi asistenku?" jawabku santai.
"Kalau Kanaya ya nggak apa-apa" kata Arunika sambil melangkah menuju pintu.
"Kenapa kalau Kanaya? Nika nggak suka? Cemburu ya?" tanyaku menggodainya.
"Untuk apa Nika cemburu?" katanya dengan santai sambil berlalu pergi.
Aduh, Arunika, aku sangat berharap kamu merajuk karena cemburu. Itu menunjukkan kalau ada cinta darimu untukku.
...****************...
POV Arunika.
Kenapa dari tadi aku membahas mengenai Kanaya, jika akhirnya membuat hatiku sedih. Ternyata selama ini sepulang sekolah kamu di sini. Bagaimana aku tidak cemburu dan iri dengan Kanaya, waktunya bersamamu lebih banyak dibandingkan denganku. Ternyata sulit untuk mengikhlaskan rasa ini.
Aku berhenti di tangga dan memandang ke area cafe. Menatap lurus ke satu sisi tembok yang terukir namaku. Sangat indah, tapi demi apa Sandy membuat itu? Jika ada Kanaya di sini untuknya.
"Kamu suka ya?" tiba-tiba suara yang asing menyapa.
Aku menoleh dan memandang pemilik suara itu. Ku beri senyum ku. Kalau tidak salah, itu Abhi. Yang katanya melukis tembok itu. Kulitnya putih, bersih dan wangi. Memakai kaos oblong dan celana jeans yang sobek di bagian lutut dan paha.
"Request Sandy, karena kamu" katanya.
"Kok bisa karena aku?" tanyaku mencoba basa-basi.
"Cari tempat duduk yang nyaman yuk" ajaknya.
Kami lalu duduk di meja bar dan memesan minuman.
Abhi menceritakan awal dia bertemu dengan Sandyakala. Abhi saat itu ingin memiliki Vespa tua, namun dananya tidak cukup. Kebetulan cafe ini membuka lowongan untuk homeband. Awalnya Abhi hanya mengajak Ryan, cukup mereka berdua dengan tema akustik. Tapi menurut Ryan itu kurang gebyar, jadilah Ryan mengajak Sandyakala dan Alfi Mereka kenal di lapangan basket, satu tim di 3 on 3. Si Ryan ini sepupunya Abhi. Sebenarnya, Sandyakala mengajak Jeevan untuk mengisi posisi keyboard. Tapi Jeevan menolak. Akhirnya Om Alden, pemilik cafe saat itu menawarkan keponakannya, Kanaya untuk masuk di band. Kanaya awalnya membantu pekerjaan administrasi di cafe, bisa dibilang semacam asisten pribadinya Om Alden. Terbentuklah band tanpa nama yang mengisi setiap malam di sini. Karena bertemu hampir setiap malam, mereka semakin akrab.
Suatu ketika, istri Om Alden di diagnosa kanker payudara dan butuh dana besar untuk pengobatan. Om Alden berniat menjual cafe ini, tapi Sandykala menahannya. Keesokkan harinya, Sandyakala datang ke cafe dan mengajak mamanya. Namun, mamanya hanya sanggup menebus setengah dari nilai jual dan mereka sepakat untuk investasi saja. Tapi dengan begitu, Om Alden sudah terbantu perekonomiannya. Abhi juga kaget kalau ternyata Sandyakala anak orang berada. Sandyakala selalu tampil sederhana, bahkan kadang hanya memakai kaos oblong polos, celana woven pendek dan sandal jepit.
Sejak saat itu, Sandyakala menjadi direktur di sini. Bayangkan, anak SMA sudah jadi direktur. Setiap pulang sekolah Sandyakala selalu ke cafe. Cafe ini menjadi rumah kedua untuknya, dia makan siang, belajar dan beristirahat di sini. Ada ruangan khusus untuknya di lantai atas. Dia meminta Abhi dan Kanaya membantu mengurus semua laporan administrasi. Setiap dua minggu sekali, mamanya datang untuk mengaudit dan mengontrol keadaan cafe. Sandyakala anak yang cerdas dan kreatif, dia mengembangkan beberapa menu yang sesuai dengan selera pasar dan target cafe, yaitu anak muda. Selain itu dia juga mengubah tatanan interior cafe. Hebatnya lagi, demi menekan biaya untuk renovasi dan dekorasi, Sandyakala mengadakan lomba mural dengan tema cafe gaul. Dia hanya perlu membayar biaya peralatan dan perlengkapan serta uang tunai untuk hadiah. Dan dia meminta satu sisi untuk Arunika, gambar wayang punakawan dan nama Arunika dengan aksara Jawa. Saat Abhi protes karena menurutnya itu di luar tema. Sandyakala mengatakan bahwa suatu saat dia akan mengajak yang punya nama dan memberinya kejutan.
Om Alden perlahan mulai banting setir ke bisnis properti. Sandyakala lalu menyampaikan niatnya untuk memiliki cafe tapi dia minta tenggang waktu sampai uangnya cukup. Tanpa sepengetahuan Sandyakala, Om Alden memberitahu mama keinginan Sandyakala. Mama juga merasa bahwa ke depannya cafe ini bisa maju dan berkembang dengan baik, sehingga mama mendiskusikan rencananya dengan papa dan ayah untuk minta bantuan dana. Puncaknya adalah semalam, saat semua setuju dan bersedia membantu Sandyakala untuk memiliki cafe ini.
"Om Alden kan sudah bukan pemilik cafe ini, lalu Kanaya gimana? tanyaku penasaran.
"Masih bantu di sini, mamanya Sandy suka sama kerjaannya. Walaupun dia rese, kecentilan tapi aku akui, kerjaannya luar biasa. Padahal dia juga masih SMA. Mungkin karena terbiasa digembleng Om Alden sejak SD kali ya" jawab Abhi sambil sesekali menyeruput kopinya.
Sejenak aku merasa minder, Kanaya yang cantik dan pintar, sudah bisa mengambil hati mama. Di usia muda, Sandyakala dan Kanaya sudah berkecimpung di dunia bisnis. Pasangan yang sangat sepadan. Tidak seperti aku, yang masih manja dan entah ke arah mana masa depanku akan ku bawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments