POV Jeevan
Kapan Sandyakala pulang? Kenapa bisa bersama Arunika? Bukankah tadi Arunika sudah di rumahnya? Dari mana mereka? Arunika selalu terlihat nyaman saat bersama Sandyakala, tawanya selalu lepas. Tangannya menggandeng manja lengan Sandyakala. Seperti sepasang kekasih yang kasmaran, mereka terlihat sangat bahagia.
"Jeevan, dari rumah ya? Ada apa?" tanya Arunika saat mereka sudah di depanku
"Nyariin kamu" jawabku
"Ada perlu apa?" malah Sandyakala yang bertanya
"Nggak papa, cuma main aja, nyari teman. Bosan di rumah" jawabku.
"O.. Nika pulang dulu ya Sand, sampai jumpa besok" kata Nika berpamitan.
Aku mencoba mengikuti langkah Arunika, namun Arunika menolakku dengan sopan dengan alasan sudah malam dan waktunya istirahat. Terpaksa aku mengikuti Sandyakala pulang.
"Enak ya jadi kamu" sindirku
"Ya, enaklah. Kalau nggak enak, ya ditambahi bumbu dong" jawabnya selalu dengan bercanda.
"Siang nempel sama Kanaya, malam nempel sama Arunika" jelasku.
Sandyakala menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku. Mukanya jadi terlihat tegang dan serius.
"Ada masalah?" tanyanya dengan nada penuh tekanan.
"iya, itu masalah buat aku karena dari awal aku sudah memberitahumu kalau aku suka sama Arunika, lalu kenapa kamu seolah mengabaikan itu?" kataku mempertegas
"Terus Arunika mau sama kamu? Suka juga sama kamu?" tantang Sandyakala.
Aku hanya mampu diam, entah jawaban apa yang harus ku berikan ke Sandyakala. Nyatanya selama ini Arunika sepertinya tidak peduli dengan ku. Lama kami berdua terdiam. Sandyakala kemudian memunggungi ku dan melangkahkan kakinya menjauh dariku. Aku masih diam mematung, kata-kata Sandyakala tadi seolah menamparku dengan keras. Tiap kali aku ke rumahnya, Arunika punya banyak alasan untuk tidak berlama-lama denganku bahkan Arunika selalu punya cara halus untuk mengusirku. Jangankan bertemu, kadang WA juga tidak dibalas. Arunika itu terlalu tertutup, dari semua yang aku kenal dan ketahui, sepertinya dia hanya mau membuka diri dengan Sandyakala dan Kendra.
Saat sampai di rumah, ternyata Sandyakala masih menonton TV dan menikmati kripik kentang kesukaannya. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Dia berhenti mengunyah dan menatapku.
"Maksudku, tolonglah kamu jaga perasaan ku, jangan terlalu mesra dengan Arunika" kataku dengan sedikit lembut.
"Bukan berarti jika kamu suka sama dia, lalu kamu berhak mengatur orang di sekitarnya. Aku tahu sekarang, kenapa kamu selalu ketus dan terkesan nggak suka sama aku,ingat Van. Aku ini sepupu mu, bukan sainganmu" katanya dengan nada penuh emosi. "Kalau pun kamu anggap aku sainganmu, cobalah kamu bersaing dengan fair" lanjutnya kemudian berdiri dan meninggalkan ku.
...****************...
POV Sandyakala
Apa yang ada di pikiran Jeevan? Apa karena aku ini sepupunya sehingga aku harus mengalah dan menjauhi Arunika demi dia? Hanya karena dia menyukai Arunika lalu dia bisa bertindak seperti itu? Bukankah akhir-akhir ini dia punya lebih banyak waktu untuk bersama Arunika? Mereka satu kelas, sepulang sekolah pun mereka selalu bersama. Punya waktu sebanyak itu, tapi kenapa dia menuntutku yang baru sebentar saja digandeng Arunika?
Aku lalu tertawa sinis, pasti dia belum berhasil mendekati Arunika, setidak-tidaknya aku tahu Arunika yang sangat introvert dan tidak mudah berada di lingkungan baru. Aku beruntung, ditakdirkan bersama Arunika sejak lahir. Namun, karena keberuntungan ini, aku bahkan takut untuk mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Aku hanya bisa berharap untuk selalu bisa membuatnya bahagia. Jika suatu saat, Arunika ternyata mencintai lelaki lain. Aku sudah menata hati dari sekarang, supaya tidak hancur nantinya. Tidak terasa airmataku menetes, ternyata benar yang pernah Kanaya katakan padaku kalau cinta membuat orang jadi cengeng.
"Sand, dicari ayahmu" suara mama dibalik pintu
"Di mana?" tanyaku
"Di sini, sama papa. Di ruang kerja papa" jawab mama dengan nada tidak sabar.
"OK" kataku sambil menjulurkan kepala keluar dari pintu.
Setengah berlari, aku menuju ke ruang kerja papa yang berada di lantai atas. Harusnya itu kamarku, tapi aku malas naik turun tangga, jadilah pertukaran ruangan. Begitu aku membuka pintu, aku melihat papa dan ayah Rendra sangat serius.
"Duduk sini Sand" kata papa dengan suaranya yang dalam.
"Iya, pa" kataku
Aku lalu duduk tepat di depan mereka berdua. Seperti tersangka yang menghadapi penyidik, hatiku berdebar sangat kencang. Biasanya papa sedang kecewa jika ekspresinya dan nada bicaranya seperti itu. Ayah Rendra hanya diam menatapku. Tidak lama kemudian, mama menyusul masuk ke ruang kerja.
"Kata Pak Santo, tiap hari Sandy ke cafe, ada urusan apa Sandy di cafe itu?" tanya papa.
"Nge-band pa" jawabku sambil tertunduk.
"Masa' iya dari pulang sekolah sampai malam?" desak papa dengan nada menyepelekan.
Dalam situasi seperti ini, mana berani aku mendongakkan kepala dan menatap papa.
"Sandy, jujur saja" kata ayah Rendra lembut sambil memegang bahuku.
Otakku berputar, mencoba berpikir keras dan mengingat-ingat apa yang telah aku lakukan selama di cafe. Aku tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak juga menyentuh narkoba. Hanya kadang bercanda dengan Abhi dengan kata-kata kasar dan kotor. Mana mungkin hal seperti itu membuat mereka kecewa.
"Kemana uang tabungan Sandy?" tanya ayah lagi
Ya Tuhan, ternyata masalah itu. Seketika aku melihat mama. Berharap ada mama bisa menbantuku keluar dari situasi sulit ini. Tapi tatapan mata mama berharap ada jawabanku, seperti kesepakatan awal, semua akan menjadi tanggungjawabku.
"Sandy invest ke cafe" jawabku berusaha tegas
"Kenapa?" tanya papa mendesak
"Karena awalnya, Sandy suka main di situ. Pas Om Alden kesulitan keuangan, dan Sandy merasa bisa bantu, ya Sandy bantu invest di situ" jawabku dengan hati-hati.
"Udah Sandy perhitungkan untung ruginya?" tanya papa lagi.
"Jujur, awalnya tidak, pa. Tapi selama ini cafe berjalan dengan baik. Kan mama bantu cek laporan keuangannya." jawabku sambil melirik ke arah mama, berharap mama ikut bersuara tapi mama hanya diam menyimak.
"Rencana ke depan apa?" tanya ayah Rendra
"Ini Om Alden, mau fokus ke bisnis properti, tapi masih Sandy tahan, supaya cafenya jangan dijual" jawabku mulai tenang
"Tahan sampai kapan?" gantian papa yang bertanya
"Ya, sampai uang Sandy terkumpul untuk beli semua saham, jadi cafe itu 100 persen punya Sandy" jawabku lancar sekali
"Ya sudah, besok kamu pulang sekolah, papa yang jemput. Langsung kita ketemu oom Alden mu itu, kita urus keuangannya biar cafenya jadi punya Sandy" jelas papa sambil tersenyum.
Aku bersorak kegirangan, ku lompati meja dan memeluk papa dan ayah Rendra sebagai tanda terima kasihku. Lalu aku mengacungkan jempol ke mama, ku ciumi pipi mama sampai mama mundur dan mendorong wajahku karena risih. Air mata kebahagiaan mengalir dari mataku.
"Mamamu sudah cerita semua ke kita, kalau cafenya itu prospeknya bagus. Pak Alden juga mengakui, sejak Sandy ikut mengelola dan banyak inovasi kreatif dari Sandy, cafenya berkembang pesat" jelas ayah Rendra.
"Gitu aja? Boleh pergi ni?" tanya ku.
"Mau ke mana?" tanya mama setengah melotot
"Rumah sebelah, mau cerita ke Nika" kataku bersemangat.
"Nika sudah tidur, besok saja, sekalian Nika ikut ke cafe" jelas ayah Rendra.
Lega rasanya, ku kira tadi ada apa. Ternyata orangtuaku mendukungku melakukan bisnis ini. Walaupun nantinya waktuku banyak tersita untuk mengurus cafe, tapi tidak masalah. Karena sudah milikku, aku akan selalu mengajak Arunika ke sana. Akan ku siapkan satu ruangan untuknya yang ternyaman supaya dia betah di situ. Tidak sabar menunggu hari esok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments