POV Sandyakala
Arunika yang lucu, pakai acara pura-pura ngambek, balas pesan pendek-pendek biar aku turuti maunya. Macam aku tidak tahu kelakuan manjanya saja. Berani taruhan, pasti dia mencariku dan menanyakan ke bunda apa aku ke rumah sebelah atau tidak. Sambil tersenyum sendiri aku lalu meletakkan handphoneku di atas meja dan meneruskan mengerjakan PR.
"Belajar kok sambil senyum-senyum sendiri" tegur Abhi sambil menepuk pundakku.
"Daripada belajar sambil menangis? Nanti menimbulkan asumsi masyarakat kalau termasuk eksploitasi orang ganteng lagi" jawabku narsis
"Kata-katamu ruwet seperti kisah cintamu" balas Abhi sambil tertawa.
"Aku mana punya kisah cinta, Bhi. Nggak kayak kamu, gonta ganti cewek udah kayak ganti ******. Tiap hari bos" jawabku sambil meledek.
"Kan biar bertahan hidup perlu seleksi alam" jawab Abhi sambil tertawa keras.
"Ya dipilih...dipilih...dipilih.." seru ku sambil tertawa tak kalah keras.
"Abhi, kamu jangan nakal mengajari Sandy jadi playboy kacangan kayak kamu dong" kata Kanaya menyela pembicaraan kami.
Entah dari mana dia, selalu saja begitu. Suka nongol tiba-tiba. Sepertinya dia menganut prinsip jelangkung yang datang tak dijemput pulang tak diantar. Ekspresi Abhi langsung berubah, entah mengapa Abhi tidak pernah suka dengan keberadaan Kanaya. Bahkan dia pernah terang-terangan bilang kalau band bisa berjalan tanpa keyboard. Namun Alfi dan Ryan tetap saja berusaha mempertahankan posisi Kanaya di band. Hanya karena mereka nggak enak sama Om Alden. Kanaya mencoba mendekatiku, tapi Abhi berusaha menghalanginya.
"Suka hati dong, walaupun nggak jadi playboy, kita tahulah siapa yang akan dipilih Sandy" kata Abhi tegas namun membuat Kanaya sewot.
"Nika Cupu begitu apa yang disukai? heran, lihat saja dandanannya, irit banget" kata Kanaya yang membuat hatiku sewot
"Tolong ya, jangan pernah berusaha merendahkan Nika" tegas ku katakan ke Kanaya.
"Bhi, titip cafe ya, aku mau pulang, ngerjain PR di rumah saja, bebas gangguan" kataku ke Abhi
"Siap pak bos, namanya PR pekerjaan rumah ya dikerjakan di rumah, kalau di sini namanya PC" kata Abhi semangat.
"Apa tuh PC?" tanyaku penasaran
"Perkerjaan Cafe" jawabnya sambil tertawa.
Tanpa kesepakatan, kami berdua kompak mengabaikan Kanaya. Aku paling tidak suka kalau ada yang menjelek-jelekkan Arunika. Aku lalu menelpon Pak Santo untuk menjemputku. Papa belum mengizinkan aku menyetir sendiri, belum cukup umur katanya. Sambil menunggu Pak Santo, aku membereskan meja dan memasukkan semua buku dan peralatan sekolahku ke dalam tasku.
"Kamu nggak pernah mengakui dia pacar, tapi kenapa kamu sewot" tanya Kanaya tapi aku malas mendebatnya.
Bagaimana mungkin aku bisa mengakui jika Arunika itu pacarku, sedangkan kami memang tidak pernah pacaran. Namun Abhi dan Kanaya sangat tau dan mengerti betapa aku mencintai Arunika. Abhi yang meyakinkan ku dan menyadarkan ku bahwa rasa ini adalah cinta. Abhi pernah membujukku untuk mengungkapkan perasaanku kepada Arunika, namun aku malah takut dengan rasa cinta ini, bagaimana kalau ternyata Arunika hanya menganggap aku hanya sahabatnya, lebih dari itu, dia menganggap aku hanya bagian dari keluarganya. Bagaimana kalau Arunika merasa tidak nyaman dengan rasa cinta ini lalu berubah dan menjauhiku? Lalu aku putuskan biarlah cinta ini bertepuk sebelah tangan, yang penting aku bisa terus menerus membahagiakan Arunika. Kata Abhi cintaku tulus, sudah seperti lagu kasih ibu, tak pernah berharap kembali, namun menurut Kanaya cintaku ini tolol, karena menyiksa diri sendiri.
Kanaya sebenarnya baik, dia tipe orang yang setia kawan, hanya saja dia angkuh dan arogan. Dia selalu berusaha bertingkah mesra dan manja padaku, tapi seringnya aku menolak. Namun tidak tadi siang, aku membiarkan Kanaya menempel padaku untuk melihat reaksi Arunika, tapi nyatanya Arunika biasa saja, seperti tidak ada cemburu padaku. Ada rasa bersalah seolah memanfaatkan Kanaya. Tapi, menurut Abhi, Arunika tampak tidak nyaman dengan keberadaan Kanaya, hanya saja dia pintar menutupinya.
Pak Santo sudah datang, aku lalu naik ke mobil dan duduk di samping Pak Santo.
"Tumben sudah pulang lagi mas" tanya Pak Santo
"Iya, baru bingung" jawabku
"Hmm..ini nanti mau turun rumah mana?" tanya Pak Santo.
"Rumah sebelah" jawabku singkat
"Berarti mas Sandy bingung gara-gara Mbak Nika" tebak Pak Santo dengan nada meledek
"Pak Santo, mulai deh. Biasa mau belajar di halaman belakang" kataku
"Ya sudah, nanti mas Sand turun rumah sebelah, tasnya biar saya yang bawa pulang" ucap Pak Santo sambil tersenyum
"Nggak usah Pak, tasnya mau aku bawa. Kan mau belajar" jawabku singkat.
Akhirnya aku sampai di rumah sebelah, sepertinya tidak ada orang di rumah. Aku melangkahkan kaki ke halaman belakang, tempat terbaik untuk belajar. Aku mengeluarkan isi tas ku dan melanjutkan apa yang tertunda di cafe tadi.
...****************...
POV Arunika.
Aku mendengar ada langkah kaki yang menuju halaman belakang. Aku keluar dari kamar dan bergegas ke halaman belakang untuk memeriksa. Ternyata ada Sandyakala di sana dengan buku-buku sekolahnya. Hatiku sudah tenang, mulai ikhlas jika ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Yang penting hubungan kami baik-baik saja, berjalan seperti biasanya.
"Nika kira maling, untuk saja nggak Nika lempari granat" candaku sambil mendekatinya.
"Maling hati, mencuri cinta" jawabnya sambil matanya tetap fokus ke buku.
Sialan, kenapa hati ini rasanya menjadi bercampur aduk lagi mendengar kata-katanya. Ayolah Arunika, jangan baper, Sandyakala hanya bercanda dan menggodamu.
"Kalau maling jangan dikasih hati" jawabku mencoba menenangkan diri
"Kalau minta baik-baik dikasih nggak?" kata Sandyakala.
Saat mengatakan hal itu Sandyakala berhenti dari semua aktivitasnya, matanya tajam menatap mataku dan rasanya tembus ke dalam hati. Aku berusaha bersikap santai, jangan sampai terlihat salah tingkah di depannya. Aku tersenyum dan menutupi mukanya dengan buku di depannya. Setidak-tidaknya aku terhindar dari tatapan matanya. Dia lalu menutup bukunya dan memasukkan ke dalam tas.
"Sudah selesai belajarnya?" tanyaku mencairkan suasana.
"Sudah...kalau belum, Nika sudah aku usir" jawabnya dengan nada riang seperti biasa
"Ya udah, sebelum diusir sebaiknya Nika pergi dengan sukarela" jawabku sambil pura-pura mau pergi
Dengan cekatan, Sandyakala memegang tanganku dan menahan langkahku. Dia lalu berdiri dan menuntunku ke luar rumah. Bulan purnama bersinar di langit dihiasi kerlip bintang yang indah. Tangan Sandyakala masih memegang erat tanganku. Jika dengan begini saja aku bisa bahagia dan merasa diri sangat berarti, untuk apa aku berharap sesuatu yang tidak pasti.
"Mau ke mana ni?" tanya Sandyakala ke padaku
"Lho? Kan Nika ngikutin Sandy?" tanyaku bingung
"Ya sudah, kita pulang saja" kata Sandyakala sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku mulai sewot, dan memukulinya. Ternyata dia mengerjaiku. Tapi aku bahagia, berharap selalu bisa begini. Aku menggandeng lengannya dengan manja dan seperti biasa dia menarik rambutku. Kami berjalan pulang sambil tidak berhenti tertawa. Dari kejauhan tampak Jeevan berjalan keluar dari rumahku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments