POV Arunika
Sandyakala sejak kapan ya main basket? Kenapa tidak pernah bercerita padaku? Entah apa yang ada di pikirannya padahal aku kira akhir-akhir ini dia mulai suka dengan dunia musik. Keren, dia bisa main gitar, bass, drum dan keyboard. Tapi jangan minta dia menyanyi. Suaranya bisa mengundang bencana. Handphoneku bergetar. Aku melihat nama Jeevan tertera di sana. Aku biarkan saja. Mau apa sih dia? Tidak lama kemudian, handphoneku bergetar lagi. Ternyata nama papa Bram yang muncul. Segera aku angkat dengan hati yang senang.
"Iya, Pa." kataku sambil memasang earphone
"Nanti malam ikut mama sama papa makan malam ya, Nika. Mama kangen katanya makan ayam goreng mentega di tempat biasanya itu" ajak papa Bram
"Sandy ikut, pa?" tanyaku manja
"Nggak, katanya dia mau ada acara sama teman-temannya. Mau manggung katanya, mungkin nanti Jeevan yang ikut" jawab papa.
"Iya, pa. Mau berangkat jam berapa pa?" tanyaku dengan sedikit kecewa
"Jam 7 ya, cantik" jawab papa
"OK" balasku
Lalu papa menutup telponnya. Si Sandyakala akhir-akhir ini seperti mulai tidak terbuka sama aku. Kok dia mau manggung tidak mengajak aku? Sedih jadinya. Aku mulai membaca buku yang baru aku beli tapi entah mengapa di otakku hanya ada Sandyakala. Jeevan menelponku lagi. Dia orang baru dalam hidupku. Malas rasanya mengangkat telpon dari orang yang belum betul-betul aku kenal. Mau apa dia telpon terus?
[Nika] chat WA masuk dari Jeevan.
Aku membiarkannya saja. Ingin rasanya ku blokir nomernya tapi masih ada rasa sungkan. Biar bagimanapun juga dia kan sepupunya Sandyakala. Karena malas dan merasa terganggu, aku memasukkan handphone ke dalam laci. Mulai ku buka buku berjudul Rahwana yang berisi kisah tersembunyi tentang Rahwana dan bangsanya: Asura. Sebelumnya, aku sudah membaca buku Ramayana. Dengan membeli buku ini aku belajar melihat dari dua sisi, biar semua jelas. Tidak berpihak pada satu sisi saja. Begitu juga dengan buku Mahakurawa yang terdiri dari 2 buku. Mengisahkan bagaimana perang Baratayudha dari sisi Kurawa. Mengangkat kisah Mahabharata dari sudut pandang tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti Sengkuni, Duryudana, Aswatama dan Karna. Sejak kapan aku menyukai kisah seperti ini? Sejak aku menonton sendratari Ramayana di Prambanan. lalu perlahan aku mengulik hampir semua kisahnya, baik yang asli dari India maupun yang sudah diasimilasi ke budaya Jawa. Perlahan aku juga mempelajari aksara Jawa. Kuno? Nggak juga. Tapi inilah budaya Indonesia yang ada sejak berabad lamanya. Dan banyak pesan moral yang bisa diangkat.
Suara pintu diketuk terdengar jelas disusul suara bunda.
"Nika, ada Jeevan mau ketemu" kata bunda dari balik pintu.
Jeevan? Mau apa dia sampai ke rumah? Aku mengambil handphoneku di dalam laci. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Jeevan. Aku letakkan kembali handphoneku ke dalam laci dengan langkah malas, aku melangkah menuju pintu. Aku membuka pintu sedikit lalu menjulurkan kepalaku.
"Bund, tolong sampaikan ke Jeevan ya kalau Nika mau istirahat, capek abis ke toko buku, dan nanti malam mau ada acara sama Papa Bram" kataku sedikit merengek manja.
"Iya," jawab bunda lalu berlalu pergi.
Aku kembali ke tempat tidurku dan mulai tenggelam dengan cerita di dalam buku.
...****************...
POV Jeevan
"Maaf Jeevan, Nika masih capek, tadi kan habis pergi. Katanya nanti malam juga mau pergi lagi" Kata Tante Mikha mematahkan semangatku
"Oh iya Tante. Kalau begitu nanti saja Jeevan temui Nika. Makasi ya Tante" Jawabku setengah hati.
Dengan berat aku melangkah meninggalkan rumah sebelah. Kenapa Arunika sulit sekali didekati. Kirim pesan WA hanya dibaca, ditelpon juga tidak dijawab. Padahal tadi aku mendengar Oom Bram menelponnya. Mungkin aku harus bertanya pada Sandyakala tapi biasanya Sandyakala juga seolah menanggapi setengah-setengah. Seolah-olah dia tidak ikhlas kalau aku mendekati Arunika. Begitu sampai di depan rumah aku melihat Sandyakala yang tertidur di depan TV. Dia masih berpakaian olahraga. Badannya juga basah oleh keringat. Handphonenya tergeletak di sampingnya dan berbunyi. Pelan-pelan aku mendekatinya, tertera nama "NIKAKU" di sana. Entah mengapa hatiku terasa panas, katanya bukan pacar tapi nama di kontak HP nya terkesan istimewa. Tiba-tiba tangan Sandyakala meraba-raba mencari handphonenya dengan mata masih terpejam. Sandyakala menjawab telponnya hanya kata iya dan tidak yang keluar dari mulutnya. Panggilan diakhiri dengan malas. Sandyakala lalu duduk dan membuka matanya. Dia kaget melihat aku ada di dekatnya.
"Sudah lama di situ?" tanyanya padaku sambil menguap.
"Nggak juga" jawabku lalu pergi meninggalkannya.
Aku masuk ke kamar, mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Aku mulai mengirim pesan ke Arunika.
[Nika, aku telpon jawab ya] ketikku setengah memohon.
Lama aku menunggu balasannya, 15 menit berlalu, aku sudah tidak sabar lagi, ku kirimkan lagi pesan untuknya.
[Kenapa Nika? apa aku ada salah? Kenapa kamu seolah menutup diri dari aku? Aku kan ingin berteman denganmu, sama seperti Sandy yang juga temanmu. Barusan kamu telpon Sandy, kan?]
[Ya] balas Arunika
Aku lalu teringat kata Sandyakala, kalau Arunika membalas singkat berarti dia merasa terganggu.
[Maaf udah ganggu] ketikku lagi.
Kemudian, aku meletakkan handphone ku di meja. Sebaiknya aku mandi saja biar badan jadi segar. Siapa tahu habis mandi pikiranku jadi lebih tenang.
...****************...
POV Author
Bram dan Naomi sudah bersiap-siap untuk berangkat. Tampak Jeevan juga sudah menunggu di ruang keluarga. Tidak lama kemudian Arunika datang dengan sedikit berlari ke arah Naomi, dia segera memeluk Naomi dengan manja. Jeevan terus memandang Arunika. Hatinya penuh rasa penasaran dan ingin sekali dekat dengan Arunika. Mereka menaiki mobil yang dikemudikan oleh Bram sendiri. Naomi duduk di samping Bram, sedang Arunika dan Jeevan duduk di kursi belakang. Belum sempat tancap gas tiba-tiba Sandyakala mengetuk jendela mobil.
"Numpang dong, kan searah" katanya.
Sandyakala lalu naik dan duduk di samping Arunika. Seperti biasa Sandyakala selalu usil menarik-narik rambut Arunika. Namun kali ini Arunika hanya diam tidak protes dan tidak juga menepis tangan Sandyakala. Sandykala lalu menghela napas dan menghentikan keusilannya. Dia sadar kalau Arunika sedang marah. Sandyakala lalu memindahkan pandangannya jauh ke luar jendela, mencoba mengingat kembali apa yang sudah dia lakukan yang membuat Arunika mendiamkannya. Tanpa sadar mobil menepi lalu berhenti di samping trotoar di depan sebuah cafe yang lumayan ramai dan terkesan romantis. Sandyakala lalu bergegas membuka pintu dan turun dari mobil. Setelah basa basi sebentar dan berpamitan, Sandyakala lalu melangkah menuju ke cafe. Di sana dia disambut oleh teman-teman bandnya. Semua tampak ceria dan bersemangat. Arunika masih memantau dari balik jendela mobil dengan perasaan kecewa yang entah kenapa datang sangat tiba-tiba. Hati kecilnya sedih, kenapa Sandykala tidak mengajaknya untuk menonton seperti biasa?
...****************...
POV Sandyakala
Aku langkahkan kakiku dan menyambut teman-temanku. Ada Abhi si vokalis, Alfi si gitaris, Ryan si drummer dan satu-satunya perempuan, Kanaya si Keyboardis. Ini pertama kalinya aku tampil di depan umum, di luar sekolah dan akan mendapatkan honor. Cafe ini milik pamannya Kanaya sehingga kami bisa semudah ini main di sini. Ku siapkan bassku. Hatiku rasanya tidak karuan, gugup itu pasti. Ada rasa bahagia dan terharu serta semangat yang meluap-luap. Ku pejamkan mata berusaha menenangkan diri namun malah wajah Arunika yang diam dan tampak mengibarkan bendera perang terbayang dimataku. Aku lalu mengacak-acak rambutku sendiri. Nika, kenapa sih kamu tiba-tiba marah. Apa salahku?
"Sand, baik-baik saja kan?" Kata Kanaya
"Iya, hanya sedikit nervous" jawabku
"Ayo anak-anak, kalian akan segera mulai" Ajak oom Alden, pemilik cafe.
Segera kami mengambil posisi masing-masing. Abhi dengan muka ganteng dan suara merdunya menyapa pengunjung dan kami mulai menghibur mereka. Entah hanya aku yang baper atau memang demikian adanya, aku merasa seolah Kanaya terus menerus memandangku. Tapi, ah sudahlah. Itu hanya perasaanku saja.
Jam menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit saat kami selesai dan cafe pun akan segera tutup. Aku membuka handphoneku dan berharap ada WA dari Arunika. Aku lalu berinisiatif mengirimkan pesan untuknya.
[Tadi Nika pesan nasi goreng seafood atau nasi goreng Hainan?] ketikku cepat dan berharap Arunika juga segera membalasnya.
[Nggak pesan itu] balas Arunika.
Rasanya aku langsung lemas, dilihat dari cara membalasnya yang singkat membuktikan kalau Arunika benar-benar marah. Tapi sampai sekarang aku belum juga mendapat petunjuk mengapa. Mana mungkin aku bertanya langsung ke Arunika, bisa-bisa dia malah nangis. Air mata Arunika itu sangat berarti buat aku, jangan sampai menetes hanya karena ulahku.
"Kamu itu nggak nervous San, tapi seperti ada masalah" tiba-tiba suara Kanaya mengejutkanku
"Ah, kamu sok tahu ah" jawabku dengan senyum yang aku paksakan.
"Aku merhatiin kamu dari tadi" jawabnya enteng.
Aku hanya diam. Ternyata tadi Kanaya benar-benar memandangku, bukan sekedar perasaanku. Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Arunika. Dengan semangat aku menjawabnya.
"Iya, Nik." kataku
"Udah selesai?" tanyanya singkat
"Sudah baru saja. Ini sudah beres-beres mau pulang."
"Sandy pulang bareng kita atau pulang sendiri?" suaranya terdengar datar
"Ya, bareng lagi aja Nik" jawabku.
Belum sempat aku bicara lagi Arunika sudah menutup telponnya. Ternyata Arunika masih marah. Kecewa kah dia? Tapi kenapa?
...****************...
POV Arunika
Ku tutup telponnya lalu memberitahu papa untuk menjemput Sandyakala. Walaupun aku sedikit marah terhadapnya tapi aku tetap peduli dengannya. Entah wajar atau tidak dengan kekecewaan ini. Aku juga heran dengan jalan pikiranku. Kenapa aku bisa posesif terhadap Sandyakala? Sandyakala pasti belum sadar kalau membuatku kecewa. Nyatanya dia belum memberikan penjelasan apapun padaku. Aku bersandar dan memejamkan mata, berpura-pura tidur untuk bisa menenangkan hati sementara mobil terus berjalan membelah malam. Sampai saat mobil berhenti dan terdengar pintu terbuka. Dan pasti Sandykala duduk di sampingku, merapikan posisiku dan meletakkan kepalaku di bahunya. Tanpa terasa aku benar-benar terlelap sampai terdengar suara Jeevan membangunkanku dan perlahan aku membuka mata.
"Van, kenapa dibangunin?" protes Sandyakala dengan nada sedikit tinggi.
"Kan sudah sampai" jawab Jeevan membela diri
"Biasanya nggak dibangunin, Van. Pulangnya digendong Sandy. Sudah kalian nggak usah ribut, Nika juga sudah bangun" Mama berusaha menengahi.
"Iya, aku juga nggak masalah dibangunin" jawabku masih menahan kantuk.
Dalam hati sebenarnya ingin juga seperti biasa, digendong pulang. Saat aku turun dari mobil Sandyakala mengikuti langkahku pulang ke rumah. Dia berjalan di sampingku dan meletakkan tangannya di atas kepalaku.
"Marah nya cukup sekian dan terima kasih aja dong, Nika" katanya dengan nada pelan.
"Nggak marah" jawabku singkat
"Nggak marah tapi kecewa?" tanyanya yang membuat aku diam.
Ingin ku 'iyakan' saja tapi alasan apa yang bisa aku ceritakan. Sambil berjalan tertunduk aku mulai berdamai dengan diriku sendiri. Sandykala tidak bersalah. Semua ini hanya antara aku dan egoku. Namun aku tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai aku di depan rumah dan memandangi wajah Sandyakala yang tampak bingung.
"Nggak ada apa-apa Kon San, Nika nggak marah. Selamat malam, Sandy" kataku dan meninggalkan Sandy yang masih menatapku sampai aku menutup pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Vania
kebanyakan POV thor
2022-11-25
0