Steven membelalakkan matanya saat mendengar, bahwa Sebastian tiba-tiba mengadakan rapat dadakan bersama para kolega yang terlibat dalam proyek Herz37.
Dia sama sekali tidak diberitahu sebelumnya. Oleh sebab itu, begitu Zendaya, sekretaris pribadinya, menelepon, Steven yang hendak menghadiri seminar salah satu kolega Dempster Enterprise, langsung putar haluan menuju kantor.
Begitu sampai di kantor, Steven bergegas naik ke lantai teratas, yaitu dua puluh. Tempat dimana ruangannya berada. Dari yang dikatakan Zendaya, mereka mengadakan rapat tersebut di ruang rapat khusus miliknya.
Lift yang membawanya naik berhenti tepat di lantai dua puluh. Steven keluar dari lift dan berjalan sedikit menuju lorong ruangannya. Tepat di sebelah ruangannya. Pria itu mendapati sekumpulan orang tengah berdiskusi di dalam ruangan kedap suara berdinding kaca.
Wajah Steven terlihat dingin. Entah dia harus memaklumi atau tidak tindakan Sebastian yang semena-mena mengadakan rapat di kantornya tanpa pemberitahuan. Terlihat sekali bahwa Sebastian memiliki ambisi tinggi pada proyek ini.
Dengan wajah menahan kekesalan, pria itu masuk ke dalam ruangannya untuk mengatur napas sejenak. Pria itu kemudian masuk ke dalam ruang rapat melalui pintu yang terhubung langsung dari ruangannya.
Sebastian yang tengah berdiri di depan mereka segera menghentikan penjelasannya. Dia menoleh menatap Steven, begitu pula dengan para kolega keduanya.
Steven tetap memberi penghormatan pada mereka dengan membungkukkan badannya. "Aku tidak pernah ingat jika kita akan mengadakan rapat hari ini, sampai Zendaya meneleponku saat sedang berada dalam perjalanan menuju tempat lain," ujar Steven tanpa basa-basi. Sebuah senyum simpul terbit di bibir pria tampan itu. Dari kata-katanya, kentara sekali bahwa Steven kini tengah menyindir mereka.
Sebastian tersenyum. "Rapat ini memang diadakan mendadak." Hanya itu yang dikatakan Sebastian. Tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu mempersilakan Steven untuk duduk di kursi kebesarannya, agar dia bisa kembali melanjutkan presentasi yang sempat terhenti tadi.
Steven sontak mengernyitkan dahinya begitu mendengar pembahasan rapat dadakan yang diadakan Sebastian ini. Semula, dia kira mereka akan membicarakan tentang betapa berbahayanya efek samping dari obat Herz37 dan kini sedang dikaji ulang. Namun, ternyata mereka semua tengah sibuk menentukan harga yang akan ditetapkan di pasaran nanti.
Sebagian besar dari para peserta rapat menyetujui harga yang diusulkan Sebastian. Namun, tidak pada Steven.
"Harga itu terlalu tinggi. Bukankah sejak awal kita sudah berkomitmen bahwa Herz37 harus dapat menyentuh semua kalangan penderita? Jika harganya setinggi itu, mustahil obat tersebut dapat dikonsumsi semua penderita." Steven menatap Sebastian dan orang-orang yang berada di sana.
"Steve, harga ini sepadan dengan fungsinya. Biaya transplantasi mahal, tidak mungkin obat ini dijual murah!" balas Sebastian.
"Justru karena biaya transplantasi mahal, kita harus membantu mereka bertahan hidup."
Sebastian dan beberapa orang di sana tersenyum sinis. "Steve, begini lah caranya berbisnis. Kita bukan malaikat penolong, harus ada timbal balik dari apa yang kita lakukan untuk masyarakat, Steve. Coba bayangkan keuntungan yang didapat perusahaan kita. Kita bahkan bisa memberikan bonus lebih pada para karyawan yang turut andil dalam proyek ini." Sebastian berusaha meyakinkan anak dari mendiang sahabatnya itu.
"Dari awal proyek ini tidak ditujukan untuk mengambil untung sebesar-besarnya atau demi menyenangkan para karyawan. Aku tetap tidak menyetujuinya! Harga Herz37 akan tetap sama seperti yang telah kita sepakati sebelumnya!" kata Steven tegas.
"Steven, kau kalah suara di sini, kami lah yang me–"
"Perusahaan ini milik ayahku, dan aku lah pemegang saham terbesar di perusahaan ini." Steven dengan keras memotong pembicaraan salah seorang petinggi perusahaan yang juga menanamkan modalnya pada proyek Herz37.
"Rapat selesai sampai di sini. Terima kasih!" Pria itu kemudian berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan ruangan.
Para peserta rapat terlihat saling bertatapan dan berbisik sinis, sebelum akhirnya turut membubarkan diri dengan membawa kekecewaan mendalam.
Hal itu juga terlihat jelas pada raut wajah Sebastian. Pria paruh baya itu bahkan menggenggam erat pena-nya seraya menatap dingin kursi kosong yang tadi ditempati Steven.
...***...
Steven tengah berdiri menghadap jendela kantor ketika Sebastian masuk ke dalam ruangannya. Pria itu dengan santai duduk di sofa Steven dan melipat kakinya.
"Seharusnya kau mendengarkan suara terbanyak, Steve, bukan malah membahas siapa dirimu di sini. Itu lah gunanya diskusi yang aku adakan hari ini," ucap Sebastian seraya menatap belakang tubuh Steven dingin.
"Dan diskusi itu sama sekali tidak melibatkanku. Jika Zendaya tidak menelepon, aku tidak akan pernah tahu soal rapat hari ini," ujar Steven tanpa berbalik atau menoleh ke belakang.
"Karena aku tahu, kau pasti akan bersikap demikian Steve! Oh, ayolah, kau tak bisa terus bersikap seperti ini. Dempster Enterprise bisa sangat maju jika kau tidak menahan diri. Berhenti mengikuti prinsip ayahmu, jadilah diri sendiri."
"Kau terlalu berambisi, Uncle!" Steven berbalik dan menatap Sebastian dengan wajah (pura-pura) ramah.
"Jangan berspekulasi sembarangan Steve. Aku tidak sedang berambisi. Ini lah yang dinamakan bisnis dan seharusnya kau tahu itu. Kita sedang berbisnis, bukan beramal!" seru Sebastian. Dia tampak tak suka mendengar perkataan Steven barusan.
Suasana hening sejenak. Steven sama sekali enggan menanggapi kemarahan Sebastian yang kini mulai terlihat. Jika Sebastian berniat mengeluarkan taringnya, dia akan siap beradu argumen saat ini juga. Pers3tan dengan proyek yang tengah mereka kerjakan sekarang.
Namun, sepertinya Sebastian masih bisa menahan dirinya. Dia terlihat mengatur napasnya demi meredakan emosi yang hampir terluap keluar.
Sebastian pun berdiri dari sofa. "Baiklah, lakukan apa pun maumu. Jika bukan karena anak dari Jimmy, kau sama sekali tidak pantas berada di kursi itu dan memegang jabatan tertinggi." Setelah mengatakan hal demikian, Sebastian pun pergi meninggalkan ruangan Steven dan membanting pintunya.
Steven memijit keningnya yang mulai terasa pening. Dia yakin, hubungannya dengan sahabat sang ayah kini sedikit renggang.
...***...
Para staf kantor segera membungkukkan badannya begitu melihat istri dari bos mereka datang.
"Selamat siang, Nyonya Dempster," sapa beberapa karyawan di sana.
Lynelle menjawab sapaan mereka dengan ramah. Dia bahkan berbincang sejenak dengan salah seorang cleaning service yang sedang membawa peralatannya ke gudang.
"Selamat siang, Nyonya." Seorang staf memberikan sebuah kartu akses pada Lynelle. Seluruh penghuni kantor memang harus memiliki kartu akses bila ingin menaiki lift, tidak terkecuali tamu yang berkunjung ke sana.
"Terima kasih," ucap Lynelle. Dia pun bergegas masuk ke dalam lift dan menempelkan kartunya di bawah deretan angka, sebelum kemudian menekan angka 20.
Zendaya segera berdiri dari kursinya begitu melihat kedatangan istri dari atasannya.
"Nyonya Dempster," sapa Zendaya seraya membungkukkan badannya.
Lynelle tersenyum dan menyuruh Zendaya menegakkan badannya. Wanita itu kemudian melirik pintu yang berada tak jauh dari tempat Zendaya.
"Mr. Dempster ada di dalam. Silakan." Zendaya mengetuk pintu dua kali, lalu membuka pintu ruangan Steven.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Nyonya, Dempster."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Siska Agustin
apa ini awal dr keretakan hubungan Steven dengan Sebastian?? keknya Sebastian gk akan tinggal diam deh,menelisik dr sifatnya yg berambisi pasti dia punya rencana juga buat mewujudkan keinginannya..
2022-08-04
0
ZaeV92
ternyata tidak di dunia nyata saja harta itu yang membuat seseorang menjadi gelap mata.
namun di dunia pernovelan juga sama seperti itu.
keruuuuen kak ceritanya.
disini kita dapat pelajaran, jika musuh kita itu pastilah orang-orang terdekat kita.
2022-08-04
1
Sophia Verheyden✨
huuh makin panas isi kepalanya
2022-08-04
1