...༻⌘༺...
Wildan dan Erma menikmati sarapan buatan Altesa. Beberapa saat kemudian, Azka datang. Anak itu terlihat sudah rapi dengan seragam sekolah.
Altesa sangat senang menyaksikan kehadiran Azka. Apalagi saat anak tersebut memakan hidangan yang dimasaknya. Azka juga makan begitu lahap.
"Bagaimana Azka? Enak kan?" tanya Altesa. Dia sengaja memilih tempat duduk di sebelah Azka. Mengambilkan sepotong lauk untuk sang putra.
Azka menatap sinis. Wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak suka. Meskipun begitu, dia memilih lanjut menyuap makanan.
"Pelan-pelan, Azka..." tegur Wildan. Ketika melihat Azka makan terlalu cepat.
"Enak banget, Pah. Aku udah lama nggak makan-makanan dengan rasa begini. Rasanya sangat mirip dengan masakan Oma dulu!" jawab Azka. Usai menelan kunyahan makanan melalui tenggorkan.
"Benarkah, sayang? Baguslah kalau begitu. Ternyata usahaku untuk belajar memasak tidak sia-sia," tanggap Erma sembari memegangi dada dan tersenyum lembut.
"Maksudnya?" Altesa tercengang. Dia butuh penjelasan lebih lanjut.
Erma mengabaikan pertanyaan Altesa. Ia lebih fokus dengan Azka yang tampak menatapnya penuh kagum.
"Jadi yang masak semua ini Bunda?" tanya Azka.
Erma mengangguk dengan senyuman simpul. Pengakuannya yang tidak tahu malu, membuat raut wajah Altesa menjadi masam.
Wildan dapat menyaksikan ekspresi di paras istri pertamanya. Dia justru tersenyum miring dan berucap, "Kenapa, Al? Apa ada sesuatu yang mengganggu?"
Altesa menoleh ke arah Wildan. Ia memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Altesa tidak bisa melepas amarah. Terutama ketika ada Azka di sisinya.
"Aku baik-baik saja." Altesa menjawab dengan nada datar. Dia bahkan mengalihkan bola matanya dari Wildan.
"Ah, begitu." Wildan saling melemparkan senyum dengan Erma. Posisi Altesa sekarang seolah dibully secara tidak langsung.
"Aku yakin, Altesa hanya kagum dengan makanan yang kumasak." Erma sengaja mengatakan kalimat yang membuat Altesa tambah jengkel.
"Kenapa Papah sama Bunda baik sama Tante ini sih? Bukannya dia udah jahat sama kita?" cetus Azka.
Altesa reflek menoleh. Dia menatap nanar ke arah Azka. Hatinya sekarang bagaikan dihujam dengan sebuah pisau. Sakit, tetapi tidak berdarah.
"Azka... kamu nggak boleh begitu? Biar Tante Al pernah berbuat kesalahan, bukan berarti kita tidak bisa memaafkannya. Kamu di sekolah diajarkan untuk menjadi pribadi yang pemaaf bukan?" tutur Wildan lembut. Dia terlihat seperti seorang ayah yang sangat baik. Namun tidak dimata Altesa.
"Iya, tapi hatiku masih belum bisa, Pah." Azka menggeleng. Dia mendelik selintas pada Altesa. Lalu turun dari kursi.
Azka menyalami tangan Erma dan Wildan terlebih dahulu. Kecuali Altesa, yang dianggapnya tidak berarti.
"Aku akan mengantar Azka ke depan dulu." Erma bangkit dari tempat duduk. Ia melirik ke arah CCTV yang ada di ruangan. "Aku mencoba mempercayaimu, Mas..." sambungnya sembari beranjak menyusul Azka.
Wildan hanya mengembangkan senyuman manis. Dia dan Altesa masih duduk di tempatnya. Dalam posisi saling berhadapan. Meja yang panjang dan besar menjadi penghelat untuk keduanya.
"Bolehkah aku tahu maksud jahat yang disebut Azka tadi?" celetuk Altesa. Ketika Wildan nyaris pergi dari meja makan.
"Kau melakukan sesuatu yang gila sebelum koma. Apa kau benar-benar lupa atau pura-pura tidak ingat?" balas Wildan. Dia menggeleng tak percaya. Setelah itu, dirinya melingus pergi.
Alis Altesa hampir bertautan. Pertanyaan baru di pikirannya muncul. Dia penasaran dengan jawaban Wildan yang entah bisa dipercaya atau tidak.
"Hanya Stevan yang tahu hal ini!" Altesa bergumam sambil berdiri. Dia tidak lupa membereskan meja makan dan mencuci piring kotor.
Selepas mengerjakan semuanya, sebuah baskom yang dipenuhi pakaian kotor di lempar ke lantai. Altesa sontak menengok ke arah sumber suara. Matanya langsung terbelalak.
"Aku akan memaafkanmu kalau kau mencuci semua pakaian kotor ini!" ujar Erma. Dua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresinya begitu angkuh.
Altesa termangu menatap pakaian kotor yang kini berserak di lantai. Dia berpikir keras untuk menemukan cara agar bisa menolak suruhan Erma. Dan tentu saja bukan dengan perlawanan seperti sebelumnya.
"Maaf, Kak. Aku tidak bisa mencuci. Kenapa tidak membayar jasa laundry saja?" ucap Altesa sekaligus memberi usul.
"Terserah apa katamu. Yang penting pakaian itu bersih dan bisa dipakai lagi!" tanggap Erma ketus. Dia bergegas meninggalkan Altesa.
"Aaarggghhh... Wildan nemu wanita itu dimana sih?!" geram Altesa kesal. Wajahnya bahkan memerah padam. Ia sangat ingin meledakkan amarah. Namun lagi-lagi harus ditahan.
Altesa berdecak kesal. Dia terpaksa memungut pakaian kotor yang ada di lantai. Kemudian meletakkannya ke dekat mesin cuci.
Bahu Altesa menggedik tak acuh. Dia meninggalkan pakaian kotor tanpa dicuci. Buru-buru ke kamar dan berlari keluar rumah.
Di depan pagar sudah ada Beno yang menunggu dalam mobil. Altesa langsung masuk dan mengawali hari pertama bekerja.
Altesa menceritakan segalanya kepada Beno. Termasuk tentang kejadian sarapan tadi dan pakaian kotor.
"Wanita itu ternyata sama saja dengan Wildan!" komentar Beno seraya menggertakkan gigi.
"Kau tahu?! Yang membuatku kesal, Wildan dan Erma bersikap seperti orang tua baik hati saat bersama Azka! Jujur saja, aku sudah gemas sekali untuk membongkar semua kedok pasangan sontoloyo itu!!!" kata Altesa dengan perasaan tersulut. Dia juga bicara dengan penuh penekanan. Apa yang dilakukannya sukses membuat Beno kaget sampai berjengit. Lelaki feminin itu berusaha menghindari Altesa sejenak.
Melihat ekspresi takut yang ditunjukkan Beno, Altesa segera berkata, "Maaf, Ben. Memendam amarah itu sangat sulit."
"Tidak apa-apa. Aku paham dengan apa yang kau rasakan," tanggap Beno.
Beberapa saat kemudian, Altesa dan Beno tiba di tempat tujuan. Kebetulan hari ini Beno harus membantu seorang aktor film. Dia telah menyiapkan pakaian yang dibutuhkan oleh aktor tersebut.
Beno dan Altesa memasuki lokasi syuting. Lokasinya berada di dekat benteng bersejarah. Di sana terdapat tenda yang sudah disiapkan untuk Beno dan para asistennya. Termasuk Altesa.
Di dalam tenda sudah ada Leny yang menunggu. Dia tidak lain adalah make up artist yang menemani Beno sejak lama.
Pupil mata Leny membesar saat melihat sosok Altesa. Dia mengenal perempuan itu karena memiliki pekerjaan di bidang yang sama.
"Kau Altesa bukan?" tukas Leny.
"Kau mengenalku?" Altesa malah terkejut.
"Iya, namamu cukup tenar dikalangan pekerja make up artist. Apalagi setelah kau tiba-tiba menghilang," terang Leny dengan senyuman kecut. Anggapannya terhadap Altesa juga seperti yang lain. Nama Altesa sudah sepenuhnya dikenal sebagai tukang selingkuh.
"Sudahlah Leny. Pokoknya mulai sekarang, kau dan Altesa akan bekerjasama, oke?" Beno sengaja menyela interaksi di antara Altesa dan Leny. Dia tidak mau pembicaraan mereka semakin merambah kemana-mana.
"Ngomong-ngomong, dimana Revan kita?" tanya Beno sembari mengedarkan pandangan. Berusaha menemukan aktor yang akan di urusnya hari ini.
"Dia sedang ke toilet. Pasti sebentar lagi akan ke sini," jawab Leny.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
penahitam (HIATUS)
ah, si revan ... kayaknya ini calon perebut hati altesa😆
2022-08-14
1