...༻⌘༺...
Altesa kembali mencari kunci yang tersimpan di akar pohon. Setelah cukup lama berusaha, dia akhirnya menemukan kunci itu. Senyuman otomatis merekah diparasnya. Altesa segera menghampiri pintu belakang.
Bertepatan dengan itu, Revan kembali. Pupil matanya membesar saat meliat Altesa menerobos masuk ke rumah. Tanpa pikir panjang, Revan bergegas menghentikan.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" pekik Revan sembari berlari. Untuk kali kedua, dia mencengkeram lengan Altesa. Hingga perempuan itu tak bisa melangkah maju.
"Kau kenapa?!" timpal Altesa dengan mimik wajah marah. Dia tentu tidak senang aktifitasnya diganggu. Terlebih Altesa masih berpikir kalau rumah yang dimasukinya adalah miliknya.
"Seharusnya aku yang bilang begitu!" Revan menarik paksa Altesa. Lalu mendorongnya keluar dari rumah.
Altesa sontak terjatuh ke tanah. Entah kenapa dia tidak sedramtis dirinya saat berhadapan dengan Wildan. Altesa justru bersemangat untuk melakukan perlawanan.
Tanpa berpikir lama, Altesa berdiri. Dia melingus masuk begitu saja ke dalam rumah. Melewati Revan yang berdiri di ambang pintu.
"Heiii!!!" Revan semakin dibuat geram. Dia kembali mengusir Altesa keluar.
Kali ini Revan tidak mendorong Altesa. Dia hanya menggenggam erat pergelangan tangan perempuan itu.
"Dengar ya. Jika kau tidak ingin di penjara, lebih baik pergilah sekarang!" ancam Revan dengan tatapan yang menyalang.
Altesa terperangah. "Kau yang harusnya di penjara! Ini adalah rumah warisan keluargaku, jadi aku berhak masuk ke dalam. Berani sekali kau mengancamku!" pungkasnya menegaskan.
"Apa?! Rumahmu kau bilang?! Apa kau tahu? Aku sudah membeli rumah ini satu tahun yang lalu!" sahut Revan. Jari telunjuknya mengarah ke rumah yang sekarang di belakangi olehnya.
"Hei! Cepat pergi! Kenapa kau masih diam?!" tegur Revan yang sejak tadi menunggu Altesa beranjak.
"Apa nama orang yang menjual rumah ini adalah Wildan Baskara?" Altesa memastikan. Kini dia meredam amarahnya untuk Revan. Mengingat properti bangunan miliknya yang lain sudah dijual Wildan. Altesa tidak menyangka, Wildan tega menjual aset keluarga tanpa izin terlebih dahulu.
"Sepertinya begitu. Kendra yang lebih tahu mengenai itu. Dia yang mengurus pembelian rumah ini untukku," jawab Revan.
"Kendra?" dahi Altesa berkerut.
"Dia adalah managerku. Apa kau mengerti? Jika iya, kumohon pergilah dari sini secepat mungkin." Revan mendorong Altesa menjauh. Lalu masuk ke rumah dan tidak lupa menutup pintu.
Altesa mematung di tempat. Dia kembali merana karena merasa syok dengan kenyataan yang sebenarnya bisa terduga sejak awal.
"Kenapa Wildan melakukan ini kepadaku? Apa salahku?" gumam Altesa. Pertanyaan itu terus terulang dalam pikiran.
Dua tangan Altesa mengepal erat. Sakit hatinya berujung menjadi kebencian yang mendalam. Dia berdiri sambil menatap ke arah jejeran pohon pinus.
Puas meresapi kesedihan, Altesa akhirnya terpikir untuk pergi dari rumah warisan yang telah menjadi milik orang lain. Tetapi sayang, dia lupa kalau ponsel Rika sudah tidak ditangannya lagi. Nampaknya ponsel itu ketinggalan di mobil Rika.
Altesa mencoba memeriksa seluruh kantong pakaian. Dia tidak menemukan apapun selain saku yang kosong melompong.
Altesa mendengus kasar. Sekarang dia terduduk di rerumputan. Memasang ekspresi lesu sambil memeluk lutut yang terlipat.
"Apa aku sekarang jatuh miskin?" ucap Altesa. Bermonolog kepada dirinya sendiri. Dia sesekali melihat ke jalan raya. Berharap dapat menemukan mobil yang lewat. Anehnya, dia tidak melihat satu pun kendaraan yang berlalu-lalang.
Lokasi di sekitar rumah warisan Altesa memang sepi. Mungkin karena itulah aktor terkenal seperti Revan bersedia membeli rumah tersebut.
'Rika pasti akan kembali menjemputku. Nggak mungkin dia tinggalin aku begitu aja...' batin Altesa berharap.
Satu jam berubah menjadi tiga jam lebih. Namun Rika belum juga datang menjemput. Sungguh, Altesa sudah lelah menunggu. Dia lantas tidak punya pilihan selain meminta bantuan Revan.
Altesa memencet bel pintu. Dia sengaja datang baik-baik agar Revan mau membantu.
Ceklek!
Pintu terbuka. Mata Revan langsung membulat ketika menyaksikan Altesa.
"Kau belum pergi juga?!" timpal Revan tak percaya. Dia cepat-cepat menutup pintu. Tetapi Altesa sigap menghentikan.
"Dengarkan dulu. Aku minta maaf soal ketidaksopananku tadi." Altesa bertutur kata lembut. Ia bahkan menambahkan senyuman ramah.
Revan membalas dengan ekspresi tidak suka. Tatapannya bahkan terasa dingin. Namun itu tidak mengurungkan niat Altesa.
"Kau pikir aku peduli?" tanggap Revan ketus. Dia mencoba menutup pintu kembali.
Altesa lagi-lagi menahan pergerakan pintu. Dia terus mengembangkan senyuman lebar yang memiliki arti sebagai permohonan.
"Kenapa kau terus mengganggu?!" ujar Revan kesal.
"Jika kau ingin aku pergi, maka bantulah aku!" seru Altesa. Dia sukses membuat Revan menatap penuh tanya.
"Aku tidak punya ponsel atau orang untuk mengantarku pulang. Satu-satunya orang yang bisa membantuku di sini hanyalah kau!" Seakan mengerti dengan tatapan Revan, Altesa langsung memberi penjelasan.
Revan menatap penuh selidik. Memindai Altesa dari ujung kaki hingga kepala. Dari penampilannya yang tidak terurus, dia yakin bahwa Altesa tidak berbohong. Terlebih perempuan itu nyaris menerobos masuk ke rumahnya.
"Baiklah. Aku akan meminjamkanmu telepon." Revan membuka lebar pintu. Membiarkan Altesa masuk ke rumahnya.
"Hanya lima menit. Tidak boleh lebih dari itu!" tegas Revan sembari melirik ke arah jam dinding.
Altesa mengangguk. Dia segera berkutat dengan telepon. Jari-jemarinya mulai mengarah ke tombol angka yang ada di telepon.
Pergerakan tangan Altesa terhenti, tatkala dia sadar kalau dirinya tidak hafal nomor Rika. Altesa terpaksa meletakkan kembali gagang telepon.
"Wah, cepat sekali. Kau bahkan tidak terdengar bicara," komentar Revan.
"Tentu saja. Aku lupa nomor telepon temanku," sahut Altesa. Pikirannya jadi berantakan karena terlalu banyak menanggung masalah.
"Apa?!!" Mata Revan terbelalak tak percaya. "Kau pasti sengaja main-main denganku kan?!" lanjutnya menimpali. Revan memasang gaya berkacak pinggang.
"Maaf merepotkanmu..." Altesa perlahan menundukkan kepala. Kemudian melangkah keluar rumah. Dia berjalan ke arah jalan raya. Sepertinya Altesa memutuskan pergi dengan jalan kaki saja.
Revan terkesiap. Mulutnya juga sedikit menganga melihat Altesa yang tampak pasrah. Perasaan Iba Revan otomatis muncul. Meskipun begitu, dia lekas menggeleng kuat.
"Tidak! Dia hanya orang asing." Revan mengingatkan dirinya sendiri. Anehnya atensi Revan terus tertuju ke punggung Altesa yang kian menjauh.
Perasaan gengsi dan hati nurani bertempur hebat dalam diri Revan. Mulutnya beberapa kali mengatup dengan gelisah.
Di akhir Revan menggaruk sebal rambutnya. Lalu segera mengambil kunci mobil. Dia mengendarai mobil dan berhenti di depan Altesa.
"Masuklah! Kebetulan aku akan ke kota. Jadi bisa sekalian mengantarmu pulang. Ingat ini bukan karena aku peduli kepadamu!" ujar Revan dengan semburat wajah kurang mengenakkan. Semua itu tentu hanya kepura-puraan yang berselubung empati.
"Terima kasih! Kakiku sudah gemetaran." Altesa langsung masuk ke mobil Revan. Dia duduk ke kursi yang ada di sebelah pria tersebut.
Revan menghela nafas panjang. Ia menginjak pedal gas dan bertanya, "Katakan dimana alamat rumahmu. Kalau terlalu jauh, aku akan menurunkanmu di taman kota saja."
Mata Altesa meliar ke segala arah. Dia dirundung perasaan bingung. Bagaimana tidak? Altesa sudah kehilangan properti bangunan miliknya. Jadi dapat disimpulkan kalau dia tunawisma sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
penahitam (HIATUS)
semoga Revan gak nganter altesa ke jalanan .
2022-08-07
1
Fitriani Fitriani
jarang up ya thor
2022-08-07
1
Fitriani Fitriani
cuma mau bilang dah dilepas suami gk di akui anak,miskin pula benar miskin
2022-08-07
2