...༻⌘༺...
Satu malam berlalu. Namun Wildan tetap tidak datang. Perasaan Altesa otomatis dirundung rasa gelisah. Meskipun begitu, dia selalu mencoba berpikir positif.
Dari balik pintu, Stevan muncul dengan balutan jas putih. Ia tersenyum dan melangkah masuk ke ruangan. Menghampiri Altesa yang sudah duduk di ujung tempat tidur.
"Bagaimana? Apa pagi ini kau mau dibawa berkeliling? Kebetulan aku punya waktu luang untuk menemani," tawar Stevan dengan senyuman lembut.
"Tentu saja. Aku sudah lama menunggu untuk keluar dari kamar ini." Altesa perlahan turun dari hospital bed.
"Ayo kita pergi! Kau juga harus banyak bergerak." Stevan membukakan pintu untuk Altesa. Keduanya berjalan berdampingan menyusuri koridor rumah sakit.
Kemunculan Stevan di keramaian langsung menyita banyak pasang mata. Dokter bertatus duda itu sangat tampan dan gagah. Keramahan serta kharismanya disukai oleh banyak orang.
"Kau sepertinya punya banyak penggemar, Dokter Stevan." Altesa menyenggol Stevan dengan siku. Tersenyum mengejek, hingga membuat Stevan menggeleng malu.
"Entahlah, setiap dokter memang diwajibkan bersikap ramah. Aku tidak mungkin cemberut dan mengabaikan mereka bukan?" tanggap Stevan sambil mengulurkan dua tangan ke depan.
"Kau benar. Aku tidak akan mendatangi klinik yang dimiliki oleh dokter judes." Altesa menyetujui pendapat Wildan. Keduanya terus melangkah bersama.
"Apa kau mendengar kabar dari suamiku? Dia baik-baik saja bukan?" tanya Altesa. Menatap Stevan dengan sudut matanya.
"Emm..." Stevan menggaruk kepala yang tidak gatal. Sebenarnya dia sangat sulit memberitahukan yang terjadi kepada pasiennya. Terlebih Altesa juga baru saja sadar dari koma. Menurutnya, perempuan itu sudah cukup banyak mendengar berita mengejutkan.
"Kita bicarakan nanti saja. Lebih baik kau tenangkan pikiran dengan cara pergi ke taman," ujar Stevan sembari memegang pundak Altesa. Dia memilih untuk menutupi apa yang dilakukan Wildan untuk sementara.
Altesa mengernyitkan kening samar. Dia hanya diam dan berusaha memahami gelagat Stevan. Pria itu malah mengalihkan perhatian dengan cara menghampiri sebuah mesin pembuat kopi.
"Aku boleh minum kopi bukan?" tanya Altesa.
"Boleh. Asal jangan berlebihan," jawab Stevan seraya membuat dua gelas kopi.
Altesa terkekeh. Usai mengambil kopi, dia dan Stevan pergi ke taman. Keduanya duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang.
Stevan diam-diam melirik Altesa. Ia berusaha mencari waktu yang tepat untuk mengatakan perihal Wildan.
Altesa baru saja menyesap kopi hangat. Dia lalu tersenyum dan memejamkan mata. Wajahnya mengenai pancaran sinar matahari pagi. Kulit putih bersih yang sudah di isi sedikit lemak itu, tampak sangat cantik jelita.
Stevan justru terpaku menatap Altesa. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab ponselnya tiba-tiba berdering. Stevan segera mengangkat panggilan dari salah satu staff rumah sakit. Dia disuruh untuk melakukan sesuatu terhadap Altesa. Jika pasiennya tersebut belum bisa membayar biaya pengobatan, maka Altesa akan mendapat pengusiran serta dituntut melakukan pembayaran dengan cara apapun.
Kini Stevan tidak dapat menunda-nunda lagi. Jika bukan dirinya yang mengatakan, kemungkinan pihak rumah sakit akan memberitahu dengan cara kasar.
"Al, ada yang ingin aku bicarakan." Stevan akhirnya angkat suara.
"Apa?" Altesa langsung menoleh.
"Ini tentang suamimu... aku tidak tahu apa yang terjadi kepadanya, tapi sepertinya dia tidak akan kembali untuk menemuimu," jelas Stevan dengan raut wajah masamnya. Mengatakan kebenaran kepada pasien merupakan hal tersulit bagi seorang dokter.
Deg!
Jantung Altesa dibuat berjengit. Matanya membulat sempurna. Walaupun begitu, dia tidak langsung mempercayai apa yang dikatakan Stevan. Itu wajar saja, karena sosok Wildan selalu bak malaikat saat ada di hadapannya.
"Apa?! Itu tidak mungin! Kau pasti bercanda. Wildan akan kembali menemuiku lagi. Dia tidak mungkin meninggalkanku sendirian di sini! Dia bukan tipe orang yang tega berbuat begitu." Altesa menepis ucapan Stevan.
"Maafkan aku, Al... tapi Wildan sudah--"
"Cukup! Kau tidak mengenal Wildan! Bagaimana kau bisa tahu? Aku akan kembali ke kamar dan menunggu suamiku di sana." Tanpa sengaja Altesa memotong pembicaraan Stevan. Dia segera beranjak meninggalkan taman. Sebagai orang yang sudah lama mengenal Wildan, dia yakin terhadap keputusannya.
"Tapi--" Stevan kehabisan kata-kata.
Altesa berjalan menghentak menyusuri koridor rumah sakit. Dia benar-benar kesal dengan apa yang dikatakan Stevan tadi.
"Berani sekali dia menjelek-jelekkan suamiku. Mas Wildan tidak mungkin tega meninggalkanku," gerutu Altesa. Dia baru saja melangkah masuk ke kamar. Langsung duduk menghempas ke atas hostpital bed.
Tidak terasa, hari sudah sore. Altesa masih setia menunggu Wildan. Dia selalu mengusir semua pihak rumah sakit yang masuk. Sebab mereka terus berusaha memberitahukan yang tidak-tidak perihal Wildan.
Altesa terlanjur sangat mempercayai Wildan. Ia tidak terima dengan ocehan semua orang terhadap suaminya tersebut.
Perlahan sore berubah jadi malam. Penantian Altesa masih belum tergapai. Batang hidung lelaki yang ditunggunya tidak kunjung muncul.
Akibat terlalu lama menunggu, Altesa tidak sengaja tertidur. Dia meringkuk sembari menutupi separuh tubuhnya dengan selimut.
Kala waktu menunjukkan jam tiga dini hari, Altesa terbangun. Dia menemukan dirinya masih sendirian di kamar. Tidak ada Wildan, apalagi Azka.
"Kenapa Mas Wildan nggak datang-datang? Apa dia tertimpa sesuatu yang buruk?" gumam Altesa. Dia memilih turun dari hospital bed. Altesa tidak lupa untuk membawa infus ikut bersamanya.
Altesa menghampiri meja resepsionis. Lalu meminta bantuan untuk menghubungi Wildan seperti beberapa waktu sebelumnya.
Usai menghubungi nomor telepon Wildan, hasilnya tetap sama seperti dulu. Nomor itu tidak aktif.
Perawat yang bertugas di meja respsionis kebetulan adalah Nirina. Sebagai asisten yang membantu Stevan, dia tentu mengetahui masalah Altesa.
"Al... apa yang dikatakan semua orang benar. Kau harus percaya demi kebaikan dirimu sendiri. Suamimu tidak akan ke sini lagi. Dia..." ucapan Nirina terjeda, saat melihat Altesa pergi begitu saja. Perempuan tersebut belum juga berubah pikiran.
Nirina mengepalkan tinju di kedua tangan. Dia sudah tidak tahan lagi. Semakin lama Altesa tidak tahu, maka semuanya akan berdampak buruk. Alhasil Nirina keluar dari meja resepsionis. Kemudian menghentikan pergerakan Altesa.
"Wildan sudah tidak mau menjadi walimu, Al! Kau sempat ingin dituntut untuk membayar semua biaya rumah sakit! Andai Dokter Stevan tidak membantumu, mungkin kau sudah di usir dari sini!" cerocos Nirina.
Altesa terhenyak. Matanya menampakkan binar getir. "I-itu tidak mungkin... kau tidak punya bukti..." nada bicara Altesa bergetar. Hatinya mulai terasa sesak. Dia tidak ingin mempecayai fakta yang diberikan Nirina. Akan tetapi kenyataan Wildan yang tidak kunjung datang, membuatnya tidak bisa berkutik.
"Mudah... aku yakin kau tahu buktinya apa. Kau sudah dua hari menunggu Wildan, tapi lelaki itu belum datang juga kan?" tukas Nirina yang sebenarnya merasa ikut sedih.
Altesa meledakkan tangis. Dia menghamburkan air mata dengan tergugu. Perlahan dirinya tidak bisa menopang tubuh dan terduduk ke lantai.
Nirina mendekat dan memegangi pundak Altesa. "Maaf kalau aku harus begini... tapi jika kau terus keras kepala, maka sakit hatimu akan tambah parah..." ungkapnya seraya membawa Altesa masuk ke dalam pelukan. Nirina segera mengajak Altesa beristirahat di kamar.
Kini Altesa diselimuti sakit hati yang mendalam. Dia terus bertanya-tanya mengenai kesalahannya terhadap Wildan. Kenapa lelaki itu tega menelantarkannya seorang diri di rumah sakit?
Tiga hari berlalu. Altesa masih sedih atas segala ketidakpedulian Wildan. Lelaki itu memang tidak pernah kembali lagi.
Merasa bosan terus berada di kamar, Altesa mencoba berjalan keluar. Dia melenggang pelan. Sampai suara seorang wanita memanggil namanya.
"Altesa?" panggil wanita misterius itu.
Altesa lantas menoleh. Dia menyaksikan teman lamanya yang bernama Rika. Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berpelukan.
"Kau kemana saja, Al? Mana suami dan anak barumu?" tanya Rika. Menyebabkan dahi Altesa sontak berkerut.
"Maksudmu?" Altesa malah berbalik tanya.
"Semua orang mengira kau pergi ke luar negeri karena... maaf sebelumnya. Kata Wildan kau berselingkuh," jelas Rika yang merasa tidak enak.
Altesa tercengang. Dia kali ini benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Wildan. Kini suaminya tersebut menyebarkan kabar yang jelas tidak benar adanya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Adila Ardani
ambil kembali hartamu Al balaskan sakit hatimu
2022-08-21
2
penahitam (HIATUS)
ckckck ...
hempasskan suami modelan wildan ini.
hih, gedek bgt aku.
2022-08-07
1
🦅ᴮᵀ⃝☽⃟☾fítrí
dasar lelaki gila harta membalikan fakta aku kutuk jadi 🐸🐸
2022-07-31
1