...༻⌘༺...
"Hentikan, Beno! Apa kau mengira aku akan menggoda Wildan seperti wanita murahan? Tentu tidak!" Altesa membantah tegas.
Rika dan Beno terkesiap. Dugaan keduanya ternyata salah. Mereka tadinya mengira Altesa akan menggoda Wildan dengan cara yang intim.
"Lalu bagaimana? Kau harusnya menjelaskan lebih detail sejak awal." Rika menuntut penjelasan.
"Dengar! Mendekati itu tidak harus dengan cara ekstrem. Kalian pikir aku sudi bercinta dengan lelaki jahanam itu?! Aku sudah mengatakannya pada Beno, menyentuh tangannya saja aku tidak sudi!" sahut Altesa tegas.
"Jadi?" Beno bertanya sambil mengangkat salah satu alisnya.
"Aku akan berpura-pura menjadi wanita yang sangat di inginkan Wildan. Caranya adalah dengan mencari tahu kekurangan Erma, dan menjadikannya sebagai kelebihanku. Itu sudah cukup untuk menggodanya. Setelah Wildan tergoda, maka aku akan--"
"Membuangnya ke laut!" tebak Rika seraya tersenyum miring. Dia berubah pikiran. Ide Altesa yang sudah diperjelas, membuatnya berakhir sependapat.
"Jangan langsung dibuang ke laut, Ciin... tunggu hiu-nya pada muncul dulu dong. Biar burungnya Wildan bisa disikat habiiiss!" Beno bicara sambil melambaikan tangan ke depan wajah. Candaannya memberikan gelak tawa pada Altesa dan Rika.
"Ah, benar! Aku dan Beno punya hadiah untukmu." Rika bangkit dari tempat duduk. Kemudian mengambil sebuah kotak kecil dari dalam laci. Dia menyerahkan kotak itu kepada Altesa.
"Kau tidak perlu memakai handphone ketinggalan zaman milik Rika lagi," ujar Beno seraya melirik ke arah Rika.
"Enak aja ketinggalan zaman. Biar pun begitu, ponsel itu tetap berguna tahu nggak?" balas Rika tidak terima ponselnya dihina.
Altesa menyambut ponsel baru pemberian kedua temannya. Dia menatap penuh haru. Lalu membawa Beno dan Rika ke dalam pelukan.
"Terima kasih... aku nggak tahu harus gimana kalau kalian tidak ada," ungkap Altesa tulus.
Malam itu, Altesa minta diantarkan pulang oleh Beno. Dia sampai di rumah saat waktu menunjukkan jam sepuluh malam. Mobil Wildan terlihat sudah terparkir di pekarangan.
"Mereka sudah pulang lebih dulu," gumam Altesa seraya membuka pintu. Untung saja pintunya tidak dikunci. Ia mendengus lega dan melangkah masuk.
Ketika melewati sebuah kamar, telinga Altesa mendengar suara erangan pria dan wanita. Lenguhan sahut-menyahut bergairah yang membuat Altesa telan ludah. Dia yakin pemilik suara tersebut adalah Wildan dan Erma.
Altesa menggeleng kuat dan segera beranjak ke kamar. Ia tidak mau ambil pusing.
Saat di kamar, Altesa membuka koper besarnya. Di sana terdapat kotak besar berisi peralatan make up lengkap. Beno sendiri yang membelikan peralatan tersebut untuk Altesa.
"Halo kotak pandora. Coba kita lihat, sampai mana aku melupakan keahlianku." Altesa meletakkan kotak make up ke meja rias. Ia bersiap melakukan percobaan kepada wajahnya sendiri.
Demi mendukung penampilan yang sempurna, Altesa sengaja mengenakan pakaian bagus. Pelan namun pasti, dia memberikan sentuhan make up di wajah sendiri. Ia melakukannya seperti seorang ahli.
Secara alami, Altesa tahu bagaimana menggunakan berbagai jenis peralatan make up dengan baik dan benar. Ternyata koma yang dialaminya selama dua tahun lebih, tidak mampu menghilangkan bakat yang telah melekat.
Altesa perlu memakan waktu setengah jam lebih untuk bermake up. Akan tetapi dia sangat puas dengan hasilnya.
"Ternyata aku masih bisa!" Altesa menyatukan telapak tangan di depan dada. Menatap kagum hasil karya diwajahnya sendiri.
Dengan begitu, Altesa tentu bisa bekerja kembali sebagai make up artist. Meski dirinya tidak akan mempunyai banyak asisten seperti dulu.
...***...
Mentari pagi bersinar cerah. Altesa sengaja bangun lebih pagi. Dia hari ini berniat melancarkan rencana barunya.
Altesa membuat sarapan. Kali ini dia tidak hanya memasak untuk Azka, tetapi Wildan dan juga Erma.
Semuanya memang terasa berat dilakukan Altesa. Namun dia tidak punya pilihan lain. Sebab jika Altesa terus melawan, maka kemungkinan untuk menemukan bukti akan semakin sulit didapat.
"Kau tidak perlu memasak jika hanya berniat mengerjaiku dan Erma." Wildan muncul dari belakang. Membuat Altesa sontak membalikkan badan.
"Justru karena itu. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan pada Erma terakhir kali. Aku sudah memikirkan usulanmu, Mas..." jawab Altesa. Berbicara lebih lembut dari biasanya.
"Maksudmu?" dahi Wildan mengerut dalam.
"Aku memutuskan melupakan segalanya dan memulai hidup baru. Mulai hari ini aku juga akan bekerja lagi sebagi make up artist." Altesa sangat memaksakan dirinya tersenyum. Padahal andai bisa, dia ingin menghantamkan wajan ke kepala lelaki menyebalkan yang kini ada di depannya.
Wildan membuang muka sejenak. Mengembangkan senyum dan perlahan memusatkan atensinya pada Altesa.
"Aku ragu bisa percaya padamu atau tidak. Aku akan melihat bagaimana sikapmu selama beberapa hari dulu. Aku tidak sebodoh itu, Al. Apapun rencanamu, yang jelas aku tahu kau tidak akan menyerah secepat ini." Wildan bicara dengan aura bergitu serius. Melangkah lebih dekat ke hadapan Altesa.
"Terserah apa katamu. Tapi aku benar-benar serius..." Altesa menundukkan kepala. Dia tidak sanggup melihat wajah Wildan terlalu dekat. Bukan karena rasa cinta, melainkan amarah yang memuncak.
Jika Altesa memaksakan diri menatap, kemungkinan tangannya akan bergerak untuk memberikan cap lima jari ke pipi Wildan.
"Makanlah, maka kau tahu kalau aku serius." Altesa menjauh dari Wildan. Mengambil beberapa hidangan untuk dipindahkan ke meja makan.
"Mas! Kita makan di luar saja. Aku takut makan masakan wanita ini!" Erma muncul dalam keadaan masih mengenakan piama. Dia menghampiri Wildan. Berniat menjauhkan sang suami dari Altesa.
"Kak Erma!" panggilan Altesa sukses menghentikan langkah Erma dan Wildan. Keduanya sama-sama bingung mendengar Altesa menyebutkan kata kakak.
"Aku minta maaf mengenai insiden teh asin kemarin. Aku janji itu tidak akan terulang lagi," kata Altesa. Sekali lagi dia memaksakan diri untuk tersenyum. "Sebagai bayarannya, aku menyiapkan sarapan spesial," tambahnya sembari melirik selintas ke meja makan. Dimana seluruh hidangan lezat buatannya sudah tersaji.
"Kau pikir aku akan percaya?! Mungkin saja kali ini kau memasukkan racun ke dalam makanan!" timpal Erma tak percaya.
"Tidak, Kak... aku benar-benar berniat memulai hidup baru. Aku akan melupakan segalanya dan memilih hidup damai. Aku tidak mau bertengkar denganmu dan juga Mas Wildan," ungkap Altesa. Berupaya keras agar bisa terlihat tulus.
Erma dan Wildan memicingkan mata. Keduanya masih meragu.
"Ayo, Mas. Kita makan di luar saja!" ajak Erma.
"Kalau kalian mau bukti, biarkan aku memakan makanan ini lebih dulu. Aku jamin, kali ini aku tidak memasukkan hal aneh ke dalam masakannya!" Altesa mengambil sebuah piring. Lalu mencicipi satu per satu masakan yang dibuatnya.
Altesa mengunyah dengan lahap. Dia tersenyum palsu dan berkata, "Lihat? Aku baik-baik saja kan?"
Wildan menarik sudut bibirnya ke atas. Dia menatap Erma, dan mengajak wanita itu untuk memakan masakan Altesa.
"Mas! Kenapa kita--"
"Kau yang utama bagiku, Sayang. Tenang saja. Aku hanya lelah terus-terusan makan di luar," potong Wildan.
Altesa segera mengambilkan makanan untuk Wildan. Dia mengukir seringai tanpa sepengetahuan Wildan dan Erma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
penahitam (HIATUS)
jangan cuma wajan altesa, kalau bisa ambil garpu padi buat mentungin kepalanya wildan.😂😂😂
2022-08-14
1