...༻⌘༺...
Mata Altesa terbelalak saat menemukan wajah Wildan begitu dekat. Ide untuk menghindar tentu langsung tercetus di kepala. Altesa menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkan batuk.
Uhuk! Uhuk!
Wildan menghindar secara spontan. Dia bahkan menutup wajah dan mulutnya sekaligus. Apalagi ketika Altesa sengaja batuk tepat ke hadapan wajahnya.
"Kalau batuk itu jangan ke wajah orang!" kritik Wildan yang menatap jijik. Kini dia menutupi mulut dengan punggung tangan. Kemudian duduk ke kursi sambil menampakkan mimik wajah cemberut.
Altesa berpaling dari Wildan. Seringai terpatri diparasnya. Ia jelas tidak rela tubuhnya disentuh oleh Wildan. Walau lelaki tersebut masih memegang status sah sebagai suaminya.
"Maaf, Mas. Aku tadi sudah tidak tahan. Lagi pula, kenapa kau mau dekat-dekat denganku. Aku pikir kau sudah jijik kepadaku," ujar Altesa. Ia sibuk memindahkan hidangan ke meja makan satu per satu.
Wildan tidak menanggapi ucapan Altesa. Dia terlihat menyibukkan diri untuk menghabiskan segelas air putih.
"Azka! Makanan sudah siap!" panggil Wildan. Dia sepertinya sengaja mengabaikan Altesa.
Azka datang dengan seragam sekolah yang rapi. Wajah datar Altesa langsung berubah menjadi senyuman berseri. Terutama kala menyaksikan Azka makan begitu lahap.
Altesa rela tidak makan hanya untuk mengamati putranya. Dia tidak berhenti tersenyum sembari melipat tangan ke atas meja.
Sementara Wildan terus menyempatkan diri memperhatikan Altesa. Dia melakukannya sambil menyuap makanan.
"Kau bisa ikut mengantar Azka kalau mau," imbuh Wildan. Membuat dua alis Altesa terangkat antusias.
"Benarkah?" Altesa memastikan.
"Nggak! Aku nggak mau!" Azka dengan cepat menolak. Tatapan sebal dipancarkannya untuk Altesa.
"Tante Al hanya akan ikut saja bersama kita. Dia--"
"Mas!" perkataan Wildan terhenti karena Erma tiba-tiba memanggilnya dengan lantang.
Wildan sontak gelagapan. Dia reflek berdiri dan menoleh ke arah Erma.
"Sayang? Kamu udah pulang?" tanya Wildan. Sengaja merubah topik pembicaraan.
"Kamu kenapa mengajak Altesa untuk mengantar Azka ke sekolah? Aku tidak salah dengar kan tadi?" tukas Erma tak percaya.
"Bukan begitu." Wildan lekas membantah. Ia segera mendekatkan mulut ke telinga Erma. Lalu berbisik, "Aku hanya ingin mengerjainya. Karena aku tahu pasti Azka akan menolak. Itu pasti akan membuat Altesa sakit hati kan?"
Mendengar perkataan Wildan, Erma menyunggingkan mulut ke kanan. Dia langsung percaya terhadap semua alasan sang suami.
"Kenapa kita tidak mengusirnya saja?" usul Erma seraya mengerutkan dahi.
"Kau yakin? Bukankah kau berniat mempermainkan Altesa sampai dia menyerah dengan sendirinya?" Wildan mengangkat salah satu alisnya. Dia yakin Erma pasti sependapat dengannya.
Erma tampak berpikir. Perlahan ia menatap Altesa dengan ujung matanya. "Kau benar juga," sahutnya. Erma memang mudah sekali dipengaruhi.
Wildan lantas tersenyum simpul. Dia kembali menanyakan persetujuan Azka. Apakah anak itu bersedia Altesa ikut atau tidak. Akan tetapi pilihan Azka tidak berubah. Ia tetap tidak mau Altesa ikut mengantarnya ke sekolah. Alhasil Wildan dan Erma yang pergi.
Lagi-lagi Altesa ditinggal sendiri. Pupus sudah harapannya untuk mengantar Azka ke sekolah.
Ponsel mendadak berdering. Altesa segera mengangkat panggilan dari Rika tersebut. Ternyata temannya itu memberitahu kalau Pak Wisnu sudah kembali.
Tanpa pikir panjang, Altesa beranjak menuju kantor Pak Wisnu. Dia tidak sabar ingin cepat-cepat menemukan kebenaran.
Altesa pergi bersama Rika. Mereka hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke kantor Pak Wisnu.
Setibanya di tempat tujuan, Altesa dan Rika disuruh duduk menunggu. Belum sempat dua menit, Pak Wisnu keluar dari ruangan. Ia segera duduk ke sofa bersama Altesa dan Rika.
Perhatian Pak Wisnu tertuju ke arah Altesa. Nampaknya dia masih tidak percaya mantan kliennya tersebut bisa sembuh dari koma. Pak Wisnu terlihat menunjukkan raut wajah sendu.
"Kalian pasti ingin menanyakan perihal harta warisan kan?" terka Pak Wisnu.
"Aku yakin Pak Wisnu pasti tahu," tanggap Altesa. Rika yang duduk di sebelahnya lekas mengangguk.
"Sebelum meninggal, ibumu menyerahkan semua harta warisan kepada Wildan. Dia mempercayakan suamimu atas segalanya. Termasuk menjagamu," ungkap Pak Wisnu datar.
"Benarkah?" Altesa heran. Dia merasa ada sesuatu yang janggal. Sebagai orang yang mengenal Pak Wisnu, dirinya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Pak Wisnu bahkan menjelaskan tanpa menatap Altesa.
"Kenapa kau terlihat biasa saja? Di sini Altesa sudah ditipu oleh lelaki bajingan itu! Bisakah kau membantunya?!" timpal Rika blak-blakkan. Tangan Altesa sigap menenangkan dengan cara memegang lembut bahunya.
"Biarkan aku yang bicara," ucap Altesa. Menyuruh Rika agar bisa tutup mulut. Rika lantas mengangguk.
Altesa mendengus kasar. "Pak Wisnu kan pengacara terpercaya keluarga Dewangga. Aku merasa ditipu oleh Wildan, Pak. Bisakah Bapak membantuku untuk melakukan tuntutan? Aku merasa dia sudah melakukan sesuatu yang buruk! Kita bisa bekerjasama untuk menemukan buktinya!" katanya panjang lebar.
"Maaf, aku tidak bisa membantu. Sekarang aku sudah menjadi pengacara Wildan. Carilah pengacara lain. Kau salah jika ingin meminta bantuanku," balas Pak Wisnu tak acuh.
Altesa dan Rika terhenyak. Mereka tidak bisa berkata-kata dengan sikap Pak Wisnu yang dingin.
"Pergilah! Aku punya banyak pekerjaan yang harus di urus," tambah Pak Wisnu seraya berdiri.
"Tapi, Pak! Aku masih anggota keluarga Dewangga! Kenapa Bapak lebih memilih berada dipihak Wildan?" Altesa menahan kepergian Pak Wisnu. Matanya terlihat sudah berembun. Lagi-lagi dia sakit hati. Sebab Pak Wisnu yang tadinya Altesa jadikan sebagai satu-satunya harapan, ternyata malah berkhianat.
"Tenanglah, Al..." Rika dengan cepat menenangkan Altesa. Dia mendelik ke arah Pak Wisnu yang kembali melangkah menuju ruang kerja.
"Itu karena seluruh harta sudah ada ditangan Wildan. Otomatis dukunganku juga akan berubah," terang Pak Wisnu ketus. Dia lanjut melangkah maju.
"Berapa banyak uang yang diberikan Wildan padamu?! Satu milyar? sepuluh milyar?! Kau pasti akan menyesal sudah melakukan ini pada Altesa! Aku dan Altesa tidak akan tinggal diam!" geram Rika. Terus mengomel meski Pak Wisnu telah menghilang ditelan pintu.
Air mata Altesa mengalir pelan melalui pipi. Rika yang kasihan, segera memeluknya dengan lembut.
"Sabarlah, Al... aku yakin Wildan pasti akan mendapat balasannya. Dan kau akan segera mendapatkan kebahagiaan. Tapi tidak sekarang..." tutur Rika lembut. Dia mengusap pelan punggung Altesa. Tangisan Altesa sedikit menular kepadanya.
Altesa dan Rika akhirnya pulang tanpa mendapatkan hasil. Altesa yang merasa kehilangan harapan hanya bisa memasang tatapan kosong. Semangatnya terkuras habis akibat pengkhianatan Pak Wisnu.
Demi menghibur Altesa, Rika mengajak Beno berkumpul ke apartemen. Dia juga tidak lupa memesan burger untuk makan siang.
Altesa diam saja sambil mengunyah burger dengan terpaksa. Setelah begitu lama merenung, dia terpikirkan sesuatu.
"Wildan sepertinya mulai tertarik kepadaku," cetus Altesa.
Rika dan Beno reflek bertukar pandang. Tersenyum sekaligus senang melihat Altesa bangkit lagi dari keterpurukan.
"Itu kesempatan bagus untuk mendekatinya!" sahut Beno.
"Tapi dia terus mencoba menyentuhku. Dan aku tidak sudi disentuh olehnya." Altesa menggeleng sambil meringiskan wajah.
"Kalau begitu kita harus menemukan cara agar kau bisa menolak sentuhannya. Tapi dengan cara elegan dan tidak membuat Wildan marah." Rika memberikan saran.
"Aku punya ide!" Beno mengangkat satu tangannya ke udara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
penahitam (HIATUS)
hati-hati altesa, kayaknya si wildan udah jadi buas semenjak kamu berubah.
2022-08-20
1