Sudah jam tujuh malam, tetapi Daren belum pulang juga. Dera yang tak sabar menunggu penjelasan dari pria itu, sedikit gusar karena tidak biasanya Daren pulang semalam ini. Bolak-balik Dera di dekat pintu, demi menunggu Daren kembali.
“Apa Nyonya tidak ingin makan dulu?” Pertanyaan dari salah satu pelayan, membuat Dera terkejut.
Lantas, gadis itu menoleh. Menghembuskan napas pelan, Dera menggeleng. “Saya makan dengan suami saya nanti,” jawab gadis itu.
Pelayan mengangguk. Segera dia hengkang dari hadapan Dera, menyisakan gadis yang sudah memakai piama tidur di ruang utama. Tidak lama, deru mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Dera langsung membuka pintu rumah, dia berlari menghampiri mobil Daren yang baru berhenti.
“Om kenapa pulangnya lama, sih?” Dera langsung melempar tanya ketika Daren keluar dari dalam mobil.
Pria itu hanya tersenyum, apalagi melihat wajah sebal istrinya. “Maaf. Aku harus meng-handle pekerjaan sampai benar-benar selesai.”
“Tapi Om, ‘kan, punya utang penjelasan sama aku.”
Ternyata tentang penjelasan. Daren sangat berharap tadi Dera benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Tidak ingin Dera tahu dia kecewa, dengan segera Daren mengembangkan senyumnya.
“Iya, iya. Setelah ini aku akan menjelaskannya,” ucap Daren.
“Oke. Ya, sudah ayo masuk. Aku udah laper banget karena nunggin Om pulang,” ajak Dera.
“Aku sudah makan di kantor. Kamu makan sendiri saja, aku mau langsung membersihkan diri,” kata Daren ketika mereka sudah sampai di ruang utama.
Sedikit kecewa mendengar perkataan Daren, tetapi Dera tetap mengangguk. Berjalan menuju meja makan tanpa melihat suaminya. Dia biarkan Daren masuk ke kamar juga, untuk membersihkan diri.
Setengah jam Dera makan hanya berteman sepi, barulah gadis itu pergi ketika semua sudah dia bereskan. Tujuannya sekarang adalah kamar, bagaimanapun tentang Jilia sangat dia ingin tahu. Apalagi setelah mendapat pesan menjengkelkan tadi, Dera semakin penasaran tentang perselingkuhan yang Daren alami.
Setelah menunggu sampai jam makan malam selesai, Dera harus menunggu Daren selesai dengan pekerjaannya juga. Dia bosan, ingin cepat-cepat mendengar penjelasan Daren, tetapi tidak mungkin memaksa pria itu. Kesannya, nanti dia benaran sangat kepo, padahal memang iya.
“Sabar, ya, sebentar lagi selesai, kok,” ucap Daren. Dia mengerti perasaan Dera. Pasti istrinya itu tengah kesal.
“Hmm. Lanjutin aja dulu,” kata Dera sambil membaringkan tubuh di kasur.
Dari pada bosan menunggu Daren dengan plonga-plongo, lebih baik Dera berbalas pesan saja dengan Vera. Dia juga sangat rindu pada sepupunya itu. Rindu bercanda bareng, tidur bareng, nonton bareng, dan banyak lagi yang selalu mereka lakukan dengan kegilaan.
Monyet hilang: Suami Lo mana?
Bukannya bertanya kabar, Vera malah menanyakan tentang suaminya. Dera semakin kesal, apalagi melihat Daren yang tampak fokus dengan laptop.
Derarara: Sibuk sama pacarnya.
Monyet hilang: What? Om Daren punya pacar? (Emot kaget tiga biji)
Derarara: Hmm. Laptop. Tiap hari pantengin laptop terus.
Monyet hilang: Hahaha. Lo cemburu sama laptop.
Dera semakin kesal saja. Mana mungkin dia cemburu pada laptop. Bahkan, kalau pun ada cewek lain, Dera tidak akan cemburu.
Derarara: Gue bukan tipe perempuan cemburuan. You camkan itu!
Monyet hilang: Iya, deh, Nyonya Algra. Gue percaya aja.
Lama-lama berbalas pesan dengan Vera, membuat Dera sinting. Gadis itu tidak membalas lagi, memilih menaruh ponsel di meja samping ranjang. Dera menatap langit-langit kamar, bosan dengan situasi seperti ini. Untuk mengobrol saja, rasanya sangat sulit dia lakukan.
“Kamu sudah tidur?” tanya Daren sembari menaruh laptop di meja.
“Belum,” jawab Dera. Dia lekas mendudukkan tubuhnya dengan bersandar kepala ranjang.
Ranjang berderit, Daren naik ke atas kasur setelah menaruh laptop. Pria itu masih memberi jarak yang jauh antara dirinya dan Dera. Bahkan, keduanya nyaris duduk di tepian kasur.
Daren berdehem, demi mencairkan suasana yang cukup menegangkan bagi keduanya. Disusul dengan deheman Dera, gadis itu berbalik arah, duduk menghadap ke Daren.
“Bagaimana ceritanya, kok, bisa Tante Jilia itu mantan istri, Om?”
“Ya, begitulah. Namanya cinta, pasti bikin gila,” jawab Daren.
“Aku serius, Om!”
“Aku juga serius. Seperti cintaku padamu.”
Dera melempar bantal guling ke arah Daren, tetapi tidak kena karena sang empu langsung menghindar. Malas menanggapi pria itu lagi, batas kesabaran Dera sudah habis.
Saat melihat istrinya ingin berbaring, Daren buka suara. “Berawal dari aku yang dulu sering keluar kota, kembali seminggu setelah itu pergi lagi. Awalnya aku biasa saja, menganggap mereka hanya berhubungan selayaknya sepupu sesama sepupu. Tapi, ketika melihat dengan mata kepala sendiri, perbuatan gila mereka. Seketika aku runtuh, harapan rumah tangga harmonis tandas begitu saja karena sebuah perselingkuhan.” Daren menjeda ucapannya untuk mengambil napas. Dera tetap tenang, menunggu lanjutan dari sang suami.
“Dia memohon padaku dan keluargaku, bahwa semua itu khilaf semata. Aku menolak, merasa dia sangat merendahkan statusku sebagai suaminya. Tapi, kedua orang tuaku memaafkan dan berusaha membujuk aku untuk memaafkan dia juga. Kamu tahu bagaimana rasanya, saat semua orang malah menyudutkan aku? Aku sakit, Der. Aku benar-benar terluka.”
Melihat Daren menunduk dengan helaan napas yang terus terdengar. Dera menyesal karena sudah memaksa pria itu bercerita.
“Om. Maaf. Aku tidak bermaksud untuk membuka mas—“
“Tidak apa. Kamu memang perlu tahu,” potong Daren.
“Setelah mendapat maaf dari keluargaku, dia tidak berulah. Aku yang memang belum memaafkan dia, berpikiran semua itu hanya pencitraan saja. Ternyata dugaanku benar, satu bulan setelah insiden itu, dia ketahuan hamil. Dan nyatanya, anak dalam kandungan dia bukan anakku.” Daren menunduk, menahan sesak yang tiba-tiba menumpuk dalam dada.
Dera masih belum bereaksi, dia masih terkejut. Diam-diam ternyata luka Daren sangat dalam.
“Aku benci sama orang-orang yang masih menerima Jilia. Apa itu salah?” sambung Daren.
“Nggak salah, Om. Hanya saja ....”
“Aku mohon, jangan paksa aku untuk menerima semua itu, Der. Aku butuh waktu. Luka yang dia torehkan, nyatanya menghancurkan separuh hatiku,” lirih Daren masih menunduk. Dia berusaha mati-matian agar air mata tak menetes.
Dera bungkam. Tidak tahu respons apa lagi yang harus dia berikan. Berita ini cukup mengejutkan untuk dia. Dan sangat Dera sayangkan, sikap Jilia seolah-olah tidak terjadi apa pun. Padahal wanita itu nyaris membuat Daren gila.
Melihat Daren mengusap sudut mata, ada perasaan terluka yang tiba-tiba muncul di hati Dera. Gadis itu berusaha tenang, dia menganggap itu hanya sebagai bentuk turut berduka cita saja.
“Maaf, kebablasan curhatnya,” ujar Daren sambil terkekeh.
“Om kalau mau nangis, nangis aja. Nggak apa, kok. Dera nggak bakalan ngejek,” ucap Dera sambil mengangkat dua jari tangannya membentuk huruf V.
Daren tertawa mendengar ucapan Dera. Tanpa dia sadari, di balik tawa juga ada air mata yang menetes dengan sendirinya.
**
Ada yang cair, tapi bukan es.
jangan lupa vote dan hadiah, gaes. Biar othor semangat terus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
UDHLH BERKHIANAT,, SKRG MLH INGIN RECOKIN RMH TANGGA DAREN DN DERA..
YG GOBLOKNYA,, KNP DAREN HRS IKUT OMONGN KLUARGA, LO BKN ROBOT, BONEKA ATAU WAYANG, LO PRIA DEWASA YG PNY HAK PRIBADI...
2023-12-21
0
Ida Blado
makanya om,,,jgn kerjaan aja yg di kekepin
2023-01-03
1
Fatma Wati
heran gue si Daren kok mau maunya di panggil om om Mulu , tegas dikit Napa , dia gak berasa nidurin ponakan di panggil om Mulu or berasa nidurin pelacur muda , kan biasa tuch pada panggil om om gitu kan , ck ,, si perempuanaya gak punya adab panggilan ma suami !!!
2022-09-22
0