“Sampai kapan saya harus tidur di sofa seperti ini?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Daren, membuat Dera tidak jadi menutup matanya. Gadis itu memiringkan tubuh, jadi menghadap ke arah sofa.
“Salah sendiri. Lagian, Om bisa tidur di kamar lain. Kenapa masih memaksa di sini?” cibir Dera.
“Bukankah sepasang suami-istri harus tidur di kamar yang sama? Rasanya tidak etis, jika suami-istri itu tidur di kamar berbeda. Apa tanggapan orang lain?”
“Tapi, kan, kita menikah karena terpaksa,” sahut Dera tidak terima.
“Apa pun alasannya. Pernikahan ini sudah terdaftar di negara dan sah dimata agama,” jelas Daren.
Malas berdebat, Dera memilih membelakangi Daren. Kesal rasanya mendengar penjelasan pria itu, tetapi memang itulah kenyataannya. Dera pun tidak bisa menyangkal, karena memang dia istri sah Daren.
Ketika akan membalikkan badan kembali, Dera dikagetkan dengan kedatangan Daren yang langsung tidur di sampingnya. Pria itu memiringkan tubuh, hingga keduanya saling menatap dalam satu ranjang yang sama.
“Dan ini pun wajib bagi suami-istri, yaitu tidur satu ranjang,” tekan Daren sambil tersenyum mengejek.
“Om ....”
“Apa? Benar, kan? Kamu pasti sudah diberi tahu oleh Ibu,” ucap Daren.
“Terserah aja.” Dera langsung membelakangi Daren, gadis itu menarik selimut hingga sebatas leher.
Berusaha memejamkan mata, Dera malah tidak bisa tidur. Yang tadinya mengantuk, malah semakin terjaga. Pergerakan Daren, membuat jantungnya berdebar-debar. Ingin tahu apa yang pria itu lakukan, tetapi Dera gengsi untuk berbalik kembali.
“Mau dikasih pembatas di tengah-tengah, hm?” tanya Daren.
“Iya ...,” lirih Dera.
“Iya, apa?” Daren sengaja menggoda gadis itu, agar mau berbalik dan berbicara dengan melihat dia.
Ternyata, wajah datar nan dingin Daren tidak selalu pria itu tampilkan. Ada sifat menggoda yang selalu Daren berikan pada Dera, dan sukses membuatnya kesal parah.
“Iya. Kasih pembatas di tengah-tengah!” cetus Dera membuat Daren tertawa kecil.
“Nah, gitu. Tidak baik berbicara sambil membelakangi lawan bicara.”
“Iya, Om. Terima kasih sudah diberi tahu,” kata Dera sambil memutar bola matanya, malas.
Malam itu, suami-istri yang katanya menikah karena sebuah keterpaksaan, tidur dalam satu ranjang yang sama. Pembatas yang Daren berikan atas persetujuan Dera, dihilangkan oleh gadis itu sendiri.
Memeluk erat tubuh Daren, seolah suaminya adalah bantal guling yang selalu menemani dia tidur. Pun, mendapat tepukan lembut dipunggung, membuat Dera semakin lelap dengan mimpi indahnya.
**
Merasa tenggorokan kering dan perlu dibasahi oleh air, perlahan Dera mengerjapkan mata. Kedua tangannya yang masih setia memeluk tubuh Daren, belum terlepas. Sampai nyawa yang sudah terkumpul sepenuhnya, barulah dia sadar. Gadis itu langsung menarik tangan, menjauhkan tubuhnya dari Daren.
“Astaga, nggak mungkin. Nggak mungkin, aku ... peluk dia,” ucap Dera sambil menggelengkan kepalanya.
Dera cepat-cepat turun dari kasur. Untung saja dia yang bangun lebih dulu, kalau sampai Daren, sudah pasti pria itu akan meledek dirinya. Jantung Dera masih berdebar tak karuan, mendapat kenyataan bahwa dia yang melanggar batas yang sudah mereka buat dan sepakati.
“Semoga saja, Om Daren tidak terbangun saat aku tidur tadi. Bisa bahaya.” Dera berucap sambil meremas kedua tangannya.
Niat untuk membasahi kerongkongan sudah musnah, yang ada malah rasa gugup. Namun, melihat wajah damai Daren. Ada kemungkinan pria itu tertidur sangat pulas. Dan Dera sangat berharap seperti itu.
Karena sudah trauma dan tidak ingin hal itu terulang kembali, Dera memilih tidur di sofa. Dia tahu, mungkin pagi nanti badannya akan sakit-sakit semua. Namun, kembali tidur di samping Daren juga tidak membuatnya nyaman. Jadi, Dera memilih yang aman-aman saja.
“Semoga tidak ada drama tidur sambil berjalan, terus memeluk Om-om itu lagi,” harap Dera.
**
Ayunis—teman Dera yang baru kembali dari Surabaya, mengajak gadis itu untuk ketemuan di kafe terdekat. Dera yang memang sangat rindu dengan si bawel, setuju saja. Bahkan, gadis itu yang paling antusias.
Pukul sebelas siang, Dera sudah bersiap-siap untuk pergi. Saat akan menuruni anak tangga, dia berpapasan dengan Daren yang sedang menaiki anak tangga menuju kamar. Pria itu melihat penampilan istrinya dari ujung kaki sampai kepala. Dress putih tulang melekat indah ditubuh Dera, dipadu dengan sneakers berwarna senada. Wajah Dera pun tampak cerah, dengan make up tipis yang sudah dia poleskan.
“Mau ke mana?” tanya Daren dingin. Tatapannya tidak lepas dari wajah Dera.
“Ketemu temen,” jawab Dera santai. Hendak menuruni anak tangga kembali, tetapi langsung ditahan oleh Daren.
“Laki-laki atau perempuan? Dan, lagi, kenapa tidak izin padaku lebih dulu jika ingin pergi?”
“Izin? Harus banget, ya?” Dera balik bertanya. Dengan dahi berkerut.
“Jelas, karena aku suamimu!” sahut Daren. Cengkaman di pergelangan tangan Dera semakin erat.
“Aku ingin pergi menemui teman perempuanku di kafe terdekat sini. Maka, aku meminta izin pada Om untuk segera pergi. Udah, kan?”
Daren tidak menjawab ucapan Dera, tetapi pria itu malah meremas telapak tangan Dera yang sudah dia genggam. Ada rasa tak rela melepaskan gadis itu pergi, tetapi ketika melihat raut wajah kesal Dera sudah tampak. Mau tidak mau, Daren melepas genggamannya.
“Baiklah, saya mengizinkan kamu pergi. Tapi, jangan pulang terlalu sore,” pesan Daren.
“Hmm. Bawel, deh.” Dera langsung menuruni anak tangga. Berjalan cepat meninggalkan rumah karena takut temannya sudah menunggu.
**
Dera sudah sampai di kafe, tempat janjian dia dan Ayunis. Sambil menunggu temannya datang, Dera memesan makanan lebih dulu. Gadis itu memperhatikan sekitar, interior kafe tidak terlalu mewah, tetapi terkesan sangat bersih dan rapi.
Tidak lama, orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang. Ayunis langsung memeluk Dera yang dibalas oleh gadis itu. Mereka melepas rindu sejenak, barulah duduk.
“Aku sudah mendengar kabar pernikahanmu dari Vera. Sungguh, aku tidak menyangka,” ucap Ayunis.
“Sudah kuduga, pasti Vera yang akan lebih dulu bercerita,” gerutu Dera.
Ayunis langsung saja tertawa. “Dia sudah menganggap aku Kakak. Sudah pasti akan menceritakan semuanya.”
Si empu hanya bisa menghembuskan napas pelan. Lalu menyesap minuman yang sudah dia pesan tadi, beserta mencomot satu kentang goreng.
“Sejak dulu aku memang tidak pernah suka dengan Pandu. Kelihatannya saja dia baik, tetapi di balik semua itu, dia munafik,” kata Ayunis dengan wajah geram.
“Sudahlah, aku juga sudah berusaha untuk melupakan dia dan kejadian itu.”
“Tidak bisa, Der. Pandu harus diberi pelajaran. Enak sekali dia, sudah menyakiti kamu. Eh, malah Om-nya yang menikahi kamu, doubel sakitnya,” bantah Ayunis.
Sebagai seseorang yang sudah berteman dengan Dera sejak kecil, tidak terima jika temannya disakiti seperti itu.
“Terus aku harus apa? Menghukum Pandu? Dia saja sudah menghilang.”
Melihat wajah sendu Dera, Ayunis menghampiri sahabatnya dan memeluk gadis itu dengan erat.
“Sabar, ya. Aku yakin, kamu bisa melewati ini semua. Ingat, masih ada aku, Ibu dan Vera yang sayang sama kamu.”
**
Maaf. Othor baru bisa up. Kemarin saya sangat riweuh dengan sekolah yang sudah full day. Tapi, insyaAllah saya akan berusaha membagi sedikit waktu untuk melanjutkan cerita ini.
Jangan lupa tap favorit, like, dan komen. Jika ingin berikan vote dan hadiah agar saya semangat, boleh saja😁
Dapet bonus om Daren, nih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Indra Davais
aku juga lebih seneng wajah bule dr oppa lebih cocok
2024-01-22
0
Sulaiman Efendy
SUKA DGN VISUAL DAREN,, MSKI KBULE BULEAN, TPI LBH OKE DRIPADA VISUAL OPPA2 KOREA.
2023-12-21
1
Sulaiman Efendy
NAHHHH,, SAHABAT LO AZA GK SUKA LO SAMA PANDU...
2023-12-21
1