Rumah lantai dua bergaya Eropa dengan ornamen yang sangat indah. Cat dinding ruang keluarga berwarna emas, dipadu dengan barang-barang yang hampir berwarna senada. Napasnya tercekat, menatap semua barang di dalam ruangan itu. Mungkin kalau dihitung, harga semua barang di sini melebihi harga rumahnya.
Dera langsung tersadar ketika Daren berdehem cukup keras. Gadis itu tertunduk kecil untuk menghilangkan gugup, barulah kembali menegakkan kepalanya.
“Mau langsung ke kamar?” tanya Daren.
“Boleh. Aku juga udah capek, pengin segera rebahkan badan,” ucap Dera. Dibalas anggukan oleh Daren.
Lagi, gadis itu mengikuti langkah Daren menuju lantai atas. Yang katanya, di sana letak kamar yang akan Dera tempati. Setiap naik tangga, Dera mengagumi setiap lukisan yang tertempel di dinding. Mulai dari pegunungan, sampai hiruk piruk kota yang terlihat indah dan nyata. Segera Dera alihkan pandangan dan fokus pada langkahnya. Dia tidak ingin ketinggalan Daren, dan berujung nyasar entah kemana. Karena jujur saja, lantai dua juga begitu luas.
Saat pintu kamar terbuka, Dera menatap tidak percaya sekali lagi. Warna abu-abu mendominasi kamar itu, ditambah dengan satu ranjang besar untuk dua orang. Satu set sofa dan satu buah TV, ada lemari tempat barang berharga yang terletak di jajaran pintu. Dera bisa tebak, lemari pakaian pasti ada diruang sendiri, karena sejak tadi, dia menelusuri kamar ini tidak ada lemari pakaian.
“Apa aku akan tidur di sini?” tanya Dera seraya menatap Daren yang tengah membereskan tempat tidur.
“Iya. Kita akan tidur di sini,” jawab Daren tanpa mengalihkan pandangan dari kasur empuk.
“Apa? Kita?”
“Hmm.”
“Bukankah rumah ini besar, sudah pasti memiliki kamar banyak. Tidak mungkin, hanya ada satu kamar ini saja,” ujar Dera.
“Iya, banyak. Tapi saya maunya tidur di sini, kenapa?” Daren menaikturunkan alisnya.
“Kalau gitu, aku saja yang pindah ke kamar lain,” tukas Dera hendak pergi, tetapi tangannya langsung ditarik oleh Daren.
Dera tidak bisa menahan tubuhnya hingga terhuyung menabrak dada bidang Daren. Keduanya saling pandang, mendalami manik mata satu sama lain. Dera bisa merasakan detak jantung Daren yang normal, sedangkan dia, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat.
Dengan segera Dera langsung melepaskan diri, dia membenarkan bajunya yang hanya lepek sedikit. Berulang kali gadis itu berdehem, meloloskan rasa gugup yang mendominasi dirinya.
“Mau Om apa, sih? Kalau aku tadi jatuh, gimana?” omel Dera.
“Buktinya kamu tidak jatuh, karena ada saya yang menahan pinggangmu,” sahut Daren.
“Terserah, Om, lah.” Dera memilih pergi ke sofa, duduk di sana sambil melipat kedua tangannya di dada.
Selesai merapikan tempat tidur, Daren beranjak menghampiri Dera. Pria itu duduk tepat di samping sang istri, mengamati wajah cemberut yang nyatanya malah kelihatan imut. Kedua tangan Daren sudah amat gatal ingin mencubit pipi Dera, tetapi urung karena tidak ingin membangunkan harimau yang sedang tidur.
“Kata bibi, beliau belum sempat belanja bahan dapur. Jadi, saya berniat mengajak kamu. Apa kamu mau, belanja denganku?” Daren membuka suara, mencoba mencairkan suasana.
Dera menoleh, menatap wajah Daren yang kali ini sedikit ada senyuman di sana. Rasa lelah yang sejak tadi menghantam tubuh, seolah hilang ketika membayangkan jajanan yang ada di supermarket.
“Ya, udah, aku mau,” jawab Dera.
“Mau langsung pergi, atau istirahat dulu?”
“Sekarang aja, soalnya hari juga mulai sore,” usul Dera. Daren mengangguk.
“Kalau gitu aku mau ganti baju dulu, Om juga ganti sana. Jangan pakai ini, kelihatan jelek,” ucap Dera sambil menjulurkan lidahnya, mengejek Daren.
“Tidak apa jelek, yang penting sudah punya istri yang cantik,” jawab Daren.
Dera mendesah kesal, dengan mengentakkan kaki dia menghampiri kopernya untuk mencari baju yang akan dia kenakan. Sama halnya dengan Daren, pria itu keluar dari kamar untuk ke kamar sebelah. Baju-bajunya ada di sana, dan Daren berniat untuk memakai di sana pula.
Celana jeans hitam yang dipadu dengan sweater putih melekat indah ditubuh Dera. Tidak lupa pula sneakers berwarna putih yang sudah dia siapkan. Sebelum keluar menemui Daren, Dera memoles tipis make up di wajahnya, agar tidak kelihatan pucat. Setelah itu dia mengambil tas gendong di kasur, dan melangkah pergi meninggalkan kamar.
Terpana melihat penampilan Daren dari ujung kaki sampai kepala. Pria itu memakai celana hitam dan kaos oblong berwarna hitam pula yang dilapisi dengan jaket berwarna senada. Konsep Daren hari ini adalah hitam.
“Ayo, pergi. Jangan bilang kamu terpana dengan ketampanan saya,” celetuk Daren.
Dera membuang wajah dengan kesal. “Jadi cowok, kok, ke-geer-an banget.”
“Saya cuma menebak. Kalau pun tidak, masih ada, kok, yang bakalan terpana dengan saya,” ucap Daren sombong.
“Ya ya ya. Terserah, Om, aja.”
**
Mobil Daren memasuki halaman lebar mal kota. Setelah mematikan mesin mobil, pria itu meminta Dera untuk turun. Dera pikir mereka akan belanja di supermarket saja, ternyata Daren malah mengajaknya ke mal. Keduanya berjalan beriringan, tanpa berpegangan tangan. Bahkan, jarak antara Dera dan Daren cukup jauh karena Dera yang terus memberi jarak.
“Sini lagi, nanti kamu hilang. Apalagi suasana sedang ramai sekali,” pinta Daren.
“Apa, sih, Om? Aku udah besar juga,” sahut Dera.
“Sudah cepat, sini. Kalau kamu hilang, saya juga yang repot.”
“Lagian aku nggak minta Om repot.”
“Dera,” panggil Daren penuh penekanan. Mau tidak mau gadis itu menurut, tentunya dengan wajah cemberut karena kesal.
Tempat pertama yang mereka tuju adalah sayur-sayuran. Dera mulai memilih sayur yang dia suka, sambil melihat-lihat harga yang tertempel di sana.
“Di sini mahal-mahal. Gimana kalau kita pindah ke supermarket saja, mungkin harganya sedikit lebih murah,” usul Dera. Memang benar, dia saja sampai meringis ketika melihat harga.
“Pindah? Nggak perlu, capek kalau harus bolak-balik. Udah, kamu pilih saja, yang bayar, kan, saya.”
“Tapi, Om.”
“Pilih saja, Dera. Kalau pun saya harus membeli mal ini, saya sanggup,” ucap Daren.
“Ck, dasar sombong!” cibir Dera.
Karena sudah mendapat perintah untuk membeli saja, akhirnya Dera mengambil semua kebutuhan dapur. Tidak peduli kalau pun harganya sangat menguras dompet, dia terlanjur kesal pada Daren yang sombong itu.
Selesai dengan sayuran, Daren dan Dera kembali berkeliling mal. Sesekali Dera berhenti, untuk sekadar melihat-lihat saja. Sebab, keinginan yang sudah dia susun di rumah, hilang ketika mengetahui harga semua barang di sana. Namun, langkah Dera kembali berhenti ketika melihat patung pria yang sangat dia sukai.
“Oppa Lee Minho, astaga kamu tampan sekali,” ucap Dera sambil menyentuh patung di depannya.
Melihat itu, Daren mencebik kesal. Apa semua perempuan, memang menyukai pria negeri ginseng? Ah, rasanya dia ingin menendang patung itu.
“Dera, ayo pergi,” ajak Daren sambil menarik tas Dera.
Gadis itu menepis, menjawab ajakan Daren dengan kesal, “Aku sedang menikmati ketampanan pria ini, Om. Tolong jangan ganggu!”
“Lebih tampan juga saya.” Dengan percaya diri, Daren memakai kaca mata hitamnya, yang menambah ketampanan pria itu lagi dan lagi.
“Dasar tukang pede!”
**
Sudah doubel up, ya, gaes. Kita lanjut besok lagi.
Iya, tau, om paling ganteng dah.
Nyonya Algra, nih, gaes. Senggol dong 😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Hera Dita
Alhamdulillah.... saya tetap mengidolakan suami...
2024-04-05
0
Hera Dita
beh... suami idaman banget... kaya, pengertian, perhatian, dewasa, sabar, tanggung jawab, mudah mudahan setia...
2024-04-05
0
Sulaiman Efendy
ARTIS2 DARI NEGERI KAFIR DI IDOLAKN.. YG PARAH YAA CEWEK2, MUSLIM, OPPA2, KOREA KAFIR YG GAK SUNAT ALIAS KULUP DIJADIKN IDOLA...
2023-12-20
2