Suasana makan malam kali ini begitu menegangkan. Empat orang yang berada di sana, saling diam. Fokus pada makanan tanpa ada yang membuka suara. Begitu pun Dera, mulutnya terasa kelu meskipun hanya ingin meminta tuangkan air putih saja. Alhasil, dia memilih untuk menahan haus.
“Masakannya enak.” Daren berucap sambil tersenyum kikuk. Entah apa maksud pria itu, tetapi yang tertangkap dimata Dera, seperti ingin mencairkan suasana.
“Terima kasih, Daren,” balas ibu sambil tersenyum. Beliau kelihatan bahagia, mendapat pujian dari menantu barunya.
“Sama-sama, Bu. Tapi ini benaran enak,” ucap Daren lagi-lagi. Dera memutar bola matanya, malas.
Kembali hening. Vera hanya mendengar obrolan singkat tadi tanpa berniat untuk ikut. Dia tetap fokus pada nasi goreng yang masih separuh, melahap dengan penuh kenikmatan. Jujur, masakan ibu Hamidah memang sangat enak, Vera dan Dera tidak akan pernah rela melewatkan setiap waktu makan di rumah.
Sudah menghabiskan dua centong nasi goreng, Daren meraih gelas berisi air putih dan menenggak hingga tandas. Pria itu berniat bangun untuk menaruh piring di westafel, tetapi ibu Hamidah menolak.
“Biar Dera saja, Nak. Jangan repot-repot sampai turun tangan begini,” larang ibu. Daren tidak jadi pergi.
“Kok, Dera, sih, Bu!” protes gadis itu.
“Kan, kamu ini istri saya. Ya, memang sudah tugas istri, melayani suami dengan baik,” sahut ibu.
Dera hanya bisa menghembuskan napas kasar, beranjak dari duduk membawa semua piring kotor di meja untuk dicuci. Gadis itu sengaja berlama-lama mencuci piring, agar tidak terlibat percakapan dengan ibu dan Daren. Sedangkan Daren, dia masih bingung ingin memulai percakapan dengan baik. Niatnya ingin membawa Dera pindah, belum mampu terlontarkan.
“Maaf, ya, kalau anak Ibu sikapnya begitu. Dia memang judes, tetapi sebenarnya Dera itu baik, kok,” papar ibu.
“Tidak masalah, Bu. Saya maklum, kok.” Daren tersenyum, agar ibu percaya dia memang tidak masalah dengan sikap Dera. Meski, kadang kesal.
“Ibu sangat bersyukur, karena yang menjadi suami Dera adalah kamu. Kalau saja Pandu, Ibu tidak bisa menjamin kebahagiaan Dera,” lirih ibu Hamidah.
Daren masih terus tersenyum simpul. “Ibu, yang menjamin kebahagiaan Dera adalah Tuhan. Sedangkan Daren ini, hanya perantaranya saja. Daren tahu, harus apa dan melakukan apa. Ibu doakan saja, semoga kami selalu baik-baik saja,” ucap Daren.
Mendengar itu, Hamidah ingin menangis sambil memeluk Daren. Awalnya dia tidak percaya dan takut sebab putrinya menikah dengan pria yang lebih tua, daripada Dera. Nyatanya sekarang, Hamidah sangat bersyukur karena mendapatkan menantu seperti Daren.
“Ekhem.” Daren berdehem. “Sebenarnya saya ingin meminta izin pada Ibu, untuk membawa Dera pindah ke rumah saya.”
“Kapan, Nak?” tanya Hamidah.
“Rencananya besok, Bu. Tapi, kalau memang Ibu masih ingin bersama Dera, saya bisa mengundur harinya,” ucap Daren.
“Tidak perlu! Sekarang ini, Dera adalah tanggung jawab kamu. Kalau memang begitu niat kamu, Ibu setuju. Karena semua ini yang terbaik untuk kalian, biar bisa lebih mandiri lagi.”
“Syukurlah kalau memang Ibu tidak keberatan.” Daren tersenyum.
“Justru Ibu sangat senang. Pesan Ibu cuma satu, ketika kalian ada masalah nantinya, selesaikan dengan cara baik-baik. Sebab, setiap rumah tangga pasti akan ada kesalahpahaman. Ibu harap, kalian bisa sama-sama dewasa ketika hal itu terjadi nantinya,” pesan ibu. “Dan satu lagi, tolong jaga putri semata wayang Ibu dengan sebaik yang kamu bisa. Karena, jika kamu menyakiti Dera, maka kamu juga menyakiti Ibu, Nak.”
“Baik, Ibu, Daren akan selalu ingat pesan itu,” jawab Daren mantap.
Hamidah menepuk pundak Daren sebelum pergi. Sedangkan Vera, gadis itu sudah sejak tadi masuk kamar karena ada tugas kuliah. Selesai mencuci semua piring, Dera kembali ke meja makan. Semua sayur di meja, sudah dirapikan, bahkan meja itu pun sudah kembali kinclong.
Justru yang dia temukan adalah Daren, pria itu masih duduk dengan nyaman. Sorot mata elang, tertuju pada Dera yang berdiri di dekat meja.
“Kenapa masih di sini?” tanya Dera dengan salah satu alis yang sengaja dinaikkan.
“Lalu saya harus kemana?” Daren balik bertanya, sambil menaikturunkan alisnya.
Dera segera membuang muka, malas melihat wajah tengil milik Daren. Rupa-rupanya, pria itu bisa menggoda dirinya juga.
“Ya, di kamar. Kan, nggak mungkin di loteng,” sinis Dera.
“Kamar siapa, Dera? Kamar kamu?”
“Nggak, lah. Enak banget!”
Keduanya kembali diam. Sesekali Dera menggaruk kepala yang tidak gatal. Benar, kalau tidak tidur di kamarnya, lantas pria berstatus suaminya itu tidur di mana. Sedangkan di rumah ini, hanya ada tiga kamar. Dan semua kamar sudah ada pemiliknya.
“Om bisa tidur di tempat dingin?” tanya Dera.
“Om?” Daren menatap tidak percaya. Panggilan macam apa itu? Apakah ada suami-istri yang memiliki panggilan seperti itu?
“Iya. Kan, emang om-om,” jawab Dera santai.
“Tapi kamu bisa memanggil dengan panggilan yang lain,” sangkal Daren.
“Apa? Abang? Atau Mas? Nggak cocok!” Dera tertawa setelah berbicara.
“Ya, terserah kamu saja.” Daren membuang mukanya, seperti kesal pada Dera. Tapi gadis itu bodoh amat, dan kembali mendesak Daren dengan pertanyaan.
“Jawab. Bisa tidur di tempat dingin, kan?”
“Kenapa? Kamu menyuruhku tidur di lantai?” sahut Daren.
“Kalau tidak mau, ya, sudah. Om bisa tidur di ruang tamu saja.”
Dera berniat pergi, tetapi tangannya dicengkal oleh Daren. Pria itu sudah berdiri, pandangan keduanya saling bertemu. Namun, lebih dulu Dera memutuskan kontak mata.
“Aku mau tidur di lantai, asalkan di kamar kamu,” ujar Daren.
“Cih.”
**
Dera sudah menyiapkan tempat untuk Daren tidur, karpet yang dia lapisi lagi dengan selimut. Lalu gadis itu mengambil bantal dan selimut baru, untuk diberikan pada Daren.
“Apa kamu pikir seperti ini, malam pertama pengantin baru?”
Gerakan Dera yang sedang memasang seprai, terhenti mendengar ucapan Daren. Mata gadis itu melotot tajam, pada pria yang kini juga menatap ke arahnya.
“Terus? Harus gimana?” tanya Dera sambil menaikturunkan sebelah alisnya.
“Kamu, ‘kan, tahu kalau saya ini seorang duda. Sudah pasti saya akan memin—“
“Sts, diam! Atau aku usir Om, biar tidur di luar saja,” ucap Dera. Memotong ucapan Daren.
“Baiklah.”
Akhirnya Daren memilih membaringkan tubuhnya di karpet yang sudah dilapisi selimut itu. Tidak lupa pula, dia juga menutup bagian tubuhnya dari atas sampai leher dengan selimut pemberian Dera. Sengaja Daren tidur dengan posisi miring ke arah ranjang, agar dapat melihat wajah Dera ketika tidur. Sayangnya gadis itu berbalik, memunggungi dia.
“Awas aja, kalau macam-macam!” ancam Dera. Daren terkekeh kecil.
“Kamu takut?” tanya pria itu remeh.
Tentu saja hal itu, membuat Dera langsung membalikkan badan karena merasa diremehkan.
“Siapa? Aku? Hahaha, enggaklah!”
“Yakin?” Daren menaikturunkan sebelah alisnya, menggoda Dera.
“Sudah, tidur!”
**
Terima kasih untuk yang sudah membaca karya ini. Jangan lupa like dan komen, ya, guys. Kalau mau, juga boleh kasih kembang atau kopi buat om Daren dan Dera.
Sedikit Visual haluan othor. Kalian bisa berhalu dengan visual yang lain. Itu hak kalian🙏
Om Daren Algra, guys.
Sedangkan ini, mbak Dera dengan wajah judesnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ari Peny
thor dera kok gitu
2024-08-17
0
Hera Dita
tamu aja gak pantes di giniin... lah ini suami.. ladang pahalanya istri...
2024-04-05
0
Hera Dita
judes itu cara ngomongnya ketus. bukan kelakuannya.
2024-04-05
0