Hamidah meminta putri dan menantunya untuk pergi setelah jam makan siang. Jadi, setelah selesai makan siang bersama, Dera membantu membereskan dapur lebih dulu. Soal pakaian, Dera sudah packing tadi bersama dengan Vera. Setelah ini, mereka bisa langsung pergi saja.
Daren tengah sibuk memanasi mobilnya yang tidak dipakai selama dua hari, sambil menunggu Dera. Cuaca hari ini cukup panas, matahari berada di atas hingga teriknya begitu menyengat.
Rumah Dera berada di kompleks kelas sedang, halaman rumahnya tidak terlalu lebar. Ditumbuhi dengan berbagai pohon seperti, jambu dan mangga. Daren sendiri berada di dekat jalan kompleks, melihat-lihat mobilnya.
“Halo, Adek.”
Ketika masih sibuk dengan mobil, seorang wanita paruh baya menyapa Daren. Pria itu menatap datar, sedangkan si perempuan tersenyum centil.
“Ya, Bu, ada apa?” tanya Daren.
“Kamu, kok, ganteng banget, sih?” Perempuan itu balik bertanya, kalau dikisarkan, mungkin umurnya sekitar empat puluh lebih.
Sambil senyum-senyum, perempuan itu mau mencolek wajah Daren, tetapi segera pria itu tepis. Dia hanya tidak ingin muncul kesalahpahaman pada keluarga Dera.
“Maaf, saya permisi,” pamit Daren ingin pergi, tetapi tangannya dicengkal.
“Kok, buru-buru, sih. Kenalan dulu lah. Nama aku, Surti,” ucap perempuan bernama Surti itu.
Karena dari awal sudah merasa risi, sekuat tenaga Daren berusaha melepaskan tangan Surti yang menggenggam pergelangan tangannya. Namun, semakin ingin dilepas, Surti semakin mencekam kuat. Perempuan itu tersenyum centil sambil mengedipkan sebelah matanya.
Hamidah yang baru keluar dan melihat itu, langsung berlari menghampiri menantunya. Dia menggeram marah pada Surti, yang langsung membuat nyali si perempuan centil menciut seketika.
“Lepas tangan menantuku!” geram Hamidah.
Tanpa pikir panjang, Surti langsung melepaskannya. “Hehehe, nggak sengaja tadi, Mbak,” kilah Surti.
“Nggak sengaja, nggak sengaja. Ini nggak sengaja, mau?” Hamidah mengepalkan tangannya, mengancam Surti.
“Jangan, Mbak. Nanti wajah saya nggak cantik lagi.”
“Mending kamu pulang sana, jangan meresahkan tetangga satu kompleks. Dikeroyok, baru tahu,” omel Hamidah. Surti mengangguk, langsung beranjak pergi.
Akhirnya Daren bisa bernapas lega, tetapi itu berarti sebentar sebab ibu mertuanya menatap dia masih dengan wajah garang. Daren meringis sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
“Surti memang begitu, suka menggoda suami orang. Semua ibu-ibu di sini, meradang karenanya,” ucap ibu.
“Maaf, ya, Bu. Saya tidak tahu,” ujar Daren merasa bersalah.
“Lagian Ibu tidak menyalahkan kamu, kok. Itu si Surti yang perlu dikasih pelajaran.”
Meski memiliki jiwa lemah lembut, ternyata dibalik itu ada sifat galak dan judes juga pada ibu Hamidah. Benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dera pun memiliki sifat begitu, Daren terkikik kecil mengingatnya.
“Kalau begitu Daren pamit masuk, ya, Bu,” pamit Daren.
“Iya. Sepertinya istri kamu juga sudah selesai berberes,” sahut Hamidah.
Langsung saja Daren masuk ke dalam rumah, dia langsung disambut tatapan horor oleh Dera. Gadis itu tengah berkacak pinggang sambil melotot ke arahnya.
“Tadi katanya mau bantuin masukin buku-buku aku, kenapa masih berserak di kamar semua?!” omel Dera masih dengan berkacak pinggang.
Setelah ibu, Daren harus menghadapi istrinya juga. Pria itu menggaruk tengkuk sambil nyengir polos.
“Saya lupa,” balas Daren.
“Huff.” Dera menghela napas kasar, beranjak dari hadapan Daren.
Melihat itu, tentu saja Daren harus mengejarnya. Dia tidak mau Dera ngambek dan mereka tidak jadi pergi. Sampai di kamar, ternyata Dera tengah duduk di sofa. Langsung saja, Daren menyusun semua buku milik Dera ke dalam tas.
“Tadi ditanyai apa saja, sama, Mbak Surti?” Dera membuka suara, membuat aktivitas Daren terhenti.
“Tidak ada, Ibu itu hanya berkenalan saja,” jawab Daren jujur.
“Oh.”
“Iya. Memangnya kenapa?”
“Nggak.”
“Atau kamu cemburu?” goda Daren sambil mengedipkan sebelah matanya.
Dera membuang wajah sambil mendecih. “Dih, geer!”
Tawa pelan Daren terdengar, pria itu kembali fokus menyusun buku ketika Dera pergi ke kamar mandi. Semua barang yang akan istrinya bawa, sudah selesai dimasukkan ke dalam koper dan tas. Sedangkan dia, hanya membawa dua baju saja kemarin. Satu baju sudah masuk ke dalam koper Dera, sedangkan satu lagi, yang dia pakai.
Sekembalinya Dera dari kamar mandi, langsung diajak Daren untuk pergi. Mengingat waktu sudah mau mulai sore. Takutnya, ketika sampai nanti, mereka tidak bisa langsung berberes.
“Ingat pesan Ibu, ya. Kalian harus saling mengerti dan memahami. Dera juga, jangan judes-judes, nggak boleh,” pesan ibu. Dera mengangguk lemah.
Dia memeluk ibu lama, setelah itu beralih ke Vera. Gadis yang usianya di bawah Dera, menangis karena akan ditinggal kakak sepupu. Selama ini, Vera selalu bersama-sama dengan Dera, jadi wajar kalau ada rasa tidak rela. Namun, Vera segera melepaskan pelukan Dera, menangkup wajah itu dan mengecup singkat pipi Dera.
“Baik-baik jadi istri, jangan marah-marah terus. Entar yang ada, Om Daren kabur,” celetuk Vera yang langsung mendapat pukulan pada bahunya.
“Anak kecil sok tahu!”
“Kalau begitu, kami pamit, ya, Bu.” Daren menyalami ibu dan Vera, bergantian dengan Dera.
Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, Dera melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Air mata mulai merembes dari kedua sudut mata, tetapi langsung Dera usap karena tidak ingin membuat ibu sedih juga. Ketika dia sudah benar-benar masuk, Daren langsung menghidupkan mesin mobil dan kendaraan beroda empat itu mulai bergerak naik ke atas jalan kompleks.
Selama perjalanan, tidak ada percakapan antara mereka. Masing-masing sibuk dengan aktivitas. Sesekali Daren melirik Dera, gadis itu bersandar pada pintu sambil bermain ponsel. Wajahnya masih tampak murung, bukannya jelek, malah menambah kesan imut.
“Mau berhenti beli sesuatu?” tanya Daren. Sengaja ingin mencairkan suasana.
Dengan segera Dera menegakkan badannya dan menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin segera sampai di rumah.”
“Baiklah, sebentar lagi kita akan sampai,” ucap Daren.
Menempuh perjalanan hampir setengah jam, mobil Daren mulai memasuki kawasan kompleks kelas atas. Yang terlihat rumah-rumah megah berjejer rapi. Dera mengerjapkan matanya berulang kali, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Mobil berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi nan kokoh. Berulang kali Daren membunyikan klakson, agar gerbang segera dibuka oleh satpam. Setelah terbuka, pria itu langsung memasukkan mobilnya ke halaman yang lebar nan luas dengan pepohonan yang tampak asri.
“Om, ini rumah siapa?” tanya Dera dengan wajah bingung.
“Ya, rumah kita,” jawab Daren sambil membuka pintu mobil.
Pria itu membantu satpam mengeluarkan barang. Dera yang masih dilanda kebingungan, ikut keluar dan menyejajar langkah Daren.
“Rumah kita? Apa nggak salah?”
“Nggak Dera Calista. Rumah ini memang punya saya, tetapi ketika sudah menikah dengan kamu. Rumah ini punya kamu juga,” jelas Daren gemas.
“Tapi ini terlalu besar. Aku tidak sanggup kalau harus membersihkan seluruh ruangan sendiri,” papar Dera.
“Kamu tidak perlu kerja, karena di sini sudah ada pembantu yang akan mengerjakan semuanya. Nikmati saja hari-harimu sebagai Nyonya Algra,” sahut Daren.
Dera mencebik kesal, mendahului Daren dengan wajah cemberut. “Jelasin sekalian pamer. Dasar Om-om!” teriak Dera.
Daren hanya tertawa kecil melihat kelakuan istrinya itu.
**
Jangan lupa like, komen, hadiah dan vote, ya, gaes. Biar othor semakin semangat ngelanjutin cerita ini.
Seimut ini, pantes saja Om Daren suka. Hihihi😅
Haduh, Om. Nggak tahan aku tuh😂
Maaf kalau komennya ada yang belum othor balas. Kalau memang ada waktu, pasti othor akan balas kok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Hera Dita
emang gimana caranya kasih hadiah...
2024-04-05
0
Hera Dita
lah... pamernya dimana?
kecuali kalo Daren nyebutin semua asetnya... baru bisa dibilang pamer.../Curse/ ini author nya agak gak fokus kayanya...
2024-04-05
0
Hera Dita
wow.... ini umurnya berapa sih dera? baru 18 tahun ya?
padahal psikis wanita berusia 20tahun keatas, apalagi didukung pendidikan intelektual yg mumpuni... harusnya gak begini...
2024-04-05
0