“Judes.”
Alat make up ditangan hampir saja melayang, Dera mengusap dadanya sabar. Dia mencoba untuk melupakan kejadian tadi dan kembali fokus mengusap make up di wajah. Ketika masih asyik, pintu diketuk dari luar. Dengan malas Dera bangkit, lalu berjalan untuk menghampiri benda kokoh yang berdiri tegak itu.
“Ada apa, Ver?” tanya Dera sambil melihat Vera yang berdiri di depan kamarnya.
“Tante minta aku buat anterin makanan ini,” jawab Vera seraya menyodorkan nampan berisi makanan dan minum.
“Kok, banyak, sih?” protes Dera.
Pasalnya gadis itu selalu makan dengan porsi sedikit untuk menjaga berat badan. Namun, yang Vera bawakan kali ini, seperti ingin memberi makan dua orang.
“Ini bukan untuk kamu saja, tetapi Om Daren juga. Udah sana, bawa masuk,” kata Vera sambil menyodorkan nampan hingga mau tidak mau Dera ambil.
“Ngapain dia pakai dikasih juga, lagian nanti bisa ambil sendiri di daPur.”
“Dih, nggak gitu juga kali. Lagian, dia, ‘kan, suami kamu,” ujar Vera.
“Suami pengganti,” sahut Dera malas.
“Bodoh, ah. Yang penting suami.”
Vera pergi meninggalkan Dera. Sesekali gadis itu berbalik, untuk mengejek sepupunya. Ingin sekali Dera melempar sandal yang dia pakai, tetapi masih memiliki jiwa kemanusiaan. Jadi, mau tidak mau dia harus selalu sabar.
Nampan berisi makanan yang Vera antar tadi, Dera taruh di meja rias. Sedangkan gadis itu, kembali sibuk dengan wajahnya. Entah sudah berapa menit, Daren belum keluar juga dari kamar mandi. Dera yang sudah merasa sangat gerah, kesal pada pria di dalam sana.
“Apa memang Om-om kalau mandi itu lama?” tanya Dera pada dirinya sendiri. Sesekali dia mendesah kecil, karena pintu tak kunjung terbuka.
“Kalau tahu begini, nggak bakalan aku kasih dia tumpangan,” gerutu Dera.
Tidak lama setelah itu, pintu kamar mandi terbuka. Daren keluar sudah berpakaian lengkap, wajahnya pun kelihatan segar. Ditangannya terdapat pakaian kotor yang dia pakai tadi.
“Kamu mandi atau tidur?” tanya Dera ketus.
“Mandi,” jawab Daren santai.
“Mandi selama itu? Bertapa kali!”
“Biasa aja, sih.”
“Iya, sih. Om-om, ‘kan, emang biasa begitu,” sahut Dera. Sebelum berlalu masuk ke kamar mandi, dia sempat menatap Daren sinis.
**
Dera masih tidak percaya, bahwa sekarang dia sudah menjadi seorang istri. Pernikahan yang dia impikan dulu, kini menjadi kenyataan. Sayangnya, sang kepala rumah tangga, bukan sosok yang dia idam-idamkan. Bahkan, jarak umur mereka terpaut begitu jauh. Namun, ibu selalu meyakinkan dia, bahwa umur bukan patokan dari sebuah pernikahan.
“Kenapa piringnya satu? Saya juga lapar.” Setelah lama saling diam, Daren membuka suara lebih dulu.
Pandangan pria itu beralih dari nampan ke wajah Dera, sedangkan sang istri hanya mengedikkan bahu, tak acuh.
“Tanya aja sama cicak didinding,” sahut Dera.
“Oh, baiklah.”
Dera pikir pria itu benaran mau bertanya pada cicak, tidak tahunya Daren pergi untuk mengambil piring di dapur. Dera menghela napasnya, sebelum Daren yang meminum air putih ini, dia lebih dulu meminumnya.
Daren kembali membawa satu piring beserta sendok, tidak lupa juga pria itu mengambil minum untuk dirinya. Ketika akan membagi makanan, Daren bingung karena tidak tahu porsi makan Dera. Dia hanya takut milik gadis itu terlalu kebanyakan.
“Aku makan porsi sedikit,” ucap Dera. Daren mengangguk, mengerti.
Sore ini berbagi makanan, entah apa lagi yang harus Dera bagi setelah ini. Rasanya masih canggung, berada dalam satu atap bahkan ruangan dengan pria yang tidak dia kenal. Dulu, Pandu pernah bilang akan mengenalkan dia pada pamannya, tetapi tidak jadi karena kesibukan Dera. Meskipun Daren juga masih memiliki wajah tampan, tetap saja, Dera belum bisa terbiasa. Apalagi mengingat umur keduanya.
“Saya boleh numpang tidur?” tanya Daren setelah kembali dari menaruh piring di dapur.
Dera bergeming. Matanya berulang kali mengerjap, memastikan bahwa yang Daren ucapkan benar adanya.
“Numpang? Di kamarku?” tanya balik gadis itu, tentunya dengan wajah bingung.
“Hmm.”
“Hah?”
“Iya, Dera. Tidak mungkin saya menumpang di kamar Ibu,” tekan Daren.
Melihat seisi kamar, hanya ada satu ranjang. Meskipun cukup untuk dua orang, tetapi Dera tidak ingin Daren tidur di sana. Membayangkannya saja, dia sudah ngeri.
“Jangan tidur di ranjangku!”
“Terus?” Sebelah alis Daren terangkat. Jujur, dia semakin tampan meskipun usianya juga semakin bertambah.
“Ya, di sofa, gitu,” celetuk Dera.
“Badan saya akan sakit-sakit,” ujar Daren.
“Terserah! Intinya, jangan tidur di ranjangku!”
Dera beranjak keluar dari kamar. Berlama-lama bersama Daren, tidak aman untuk jantungnya. Banyak hal yang dia pikirkan, terutama tentang hak. Dera takut Daren akan memintanya hari ini juga, sungguh dia tidak akan bisa memberikan.
Ternyata di ruang tamu sudah sepi, dekorasi pun sudah tidak ada lagi. Dera memilih duduk di sofa, tangannya tergerak mengambil remot untuk menonton sinetron di TV.
“Loh, pengantin baru, kok, ada di luar?” Vera datang dari dapur, langsung menjatuhkan bokongnya di samping Dera.
“Apaan, sih, kamu!”
“Kok, marah? ‘Kan, emang bener, pengantin baru,” celetuk Vera sambil tertawa.
Menghembuskan napas kasar, Dera menjawab, “Masih nggak percaya, kalau om-om itu suamiku.”
“Huff. Terima apa adanya, Der. Meskipun sebenarnya aku juga masih nggak percaya.”
“Tuh, ‘kan, sama.”
“Terus maunya kamu gimana? Apa kamu masih memikirkan Pandu? Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau Pandu bukan orang baik. Jadi, sebaiknya kamu tidak perlu memikirkan itu, karena akan menyakiti kamu saja,” tutur Vera.
“Nggak gampang juga melupakan dan menerima orang baru, Ver. Aku butuh waktu.” Dera menunduk dengan wajah sendu.
“Dera, semangat. Aku yakin kamu bisa.” Vera mengepalkan tangannya, memberikan semangat pada sepupu yang paling dia sayang.
“Terima kasih karena selalu mendukung aku.”
“Sama-sama.”
Keduanya lalu kembali sibuk menonton TV sambil ngemil kaca telur yang Vera bawa dari dapur. Sesekali tawa mereka terdengar, ketika ada adegan komedi.
Melihat itu, Hamidah merasa sedikit lega. Setidaknya sang putri tidak murung terus, meski dia tahu, itu hanya gambaran luar saja, tidak dengan hati Dera. Hamidah berharap Daren mampu menyembuhkan hati Dera dan berusaha menjadi suami yang baik. Mengingat sikap putrinya belum sepenuhnya menerima pernikahan ini.
Daren yang berada di kamar, merasa sakit karena harus tidur dengan kaki ditekuk. Sebab, sofa di kamar Dera tidak sepanjang tubuhnya. Alhasil pria itu kembali duduk, menatap kasur Dera dengan keinginan berbaring di sana. Andai saja dia berani, sudah sejak tadi melupakan larangan Dera dan tidur dengan nyaman di kasur berwarna merah mudah itu.
Karena tidak tahu harus melakukan apa, Daren memilih keluar dari dalam kamar. Niatnya ingin mencari Dera, meminta izin untuk beristirahat sejenak di kasur gadis itu. Melihat sang istri di ruang tamu, Daren langsung menghampirinya.
“Eh, ada Om Daren,” celetuk Vera karena lebih dulu melihat Daren.
Dera menoleh, memasang wajah datar.
“Boleh tidur di kasurmu? Badanku sakit semua, karena sofa di kamar tidak sepanjang tubuhku,” izin Daren, menatap Dera lama.
Sang empu melotot, sedangkan Vera mengerjapkan matanya berulang kali karena tidak percaya dengan drama sepupunya ini.
“Ini maksudnya apa, Der?”
“Hush, anak kecil diam!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ari Peny
klo gk mau bilg aja gk usah nikah beres toh yg malu jg kamu dw knp malah nyakitin yg nolong sok kecantikan sombong amat jd gadis
2024-08-16
0
Hera Dita
tapi tidak boleh dong benci ke orang yg sudah berkorban buat kamu....
2024-04-05
3
Hera Dita
pantes pandu kabur... emang gak patut di jadiin istri, apalagi panutan buat anak anak nanti.
2024-04-05
1