Qeiza menatap ponselnya. Sudah pukul satu dini hari, tapi wanita itu masih belum bisa terlelap. Bagaimana dirinya bisa terlelap, jika setiap menutup mata, bayangan keintimannya bersama dengan Ivander tadi, terus muncul.
Bahkan tubuh Qeiza kembali meremang kala terbayang Ivander yang tengah menyesapi telinga dan lehernya, beberapa jam lalu. Tubuh wanita itu pun bertambah meremang kala teringat Ivander yang menarik pinggangnya, hingga tubuh mereka menempel erat.
Qeiza meraba bibirnya. Masih teringat dengan jelas, bagaimana pria itu melahap habis bibir merah muda miliknya.
“Salah kah jika aku terbuai dengan permainan Pak Ivan? Bukankah istrinya juga sudah memberikan izin kepada kami, untuk bersatu?”
Qeiza terus bermonolog. Satu sisi dirinya begitu nyaman dan terbuai akan aksi pria itu. Pria yang selalu bersikap lemah lembut padanya, pria yang berlutut dan memintanya untuk menikah.
Tapi di sisi lain, Qeiza takut akan status Ivander yang masih memiliki istri. Walau istri pria itu telah memberikan restunya, tapi tetap saja Qeiza merasa bimbang jika harus hadir di tengah-tengah sepasang suami istri yang masih saling cinta.
Akankan pria itu bisa memberikan cinta yang sama besar?
Akankah dirinya tak lagi diperhatikan, saat apa yang diinginkan pria itu tercapai?
**
Sementara itu, Ivander terus mengembangkan senyum. Bayang-bayang Qeiza akan segera menjadi miliknya, membuat debaran jantung pria itu semakin menggila.
Tidak hanya Qeiza, nyatanya Ivander juga terus teringat ciuman panas mereka tadi. Teringat bagaimana perlahan wanita itu mengalungkan tangannya. Teringat ketika dengan sengaja Qeiza membuka bibir merah muda itu, hingga lidahnya bisa menelusup dan menyapu rongga mulut wanita itu.
Andai seorang room boy tak mengetuk pintu kamar hotel itu, bisa dipastikan dirinya akan melakukan perbuatan yang lebih dari itu. Perbuatan yang melewati batas.
Bahkan, dirinya sempat menggiring tubuh Qeiza menuju ranjang besar yang kini ditidurinya.
Jika room boy itu terlambat beberapa detik saja mengetuk pintu, bisa dipastikan dirinya sudah menghimpit Qeiza di atas ranjang.
“Jadilah milikku secepatnya, Qei. Aku benar-benar menginginkanmu,” lirih Ivander.
Dan, saat pagi tiba, Ivander kembali mengetuk pintu penghubung itu. Berharap mereka akan menyantap sarapan pagi bersama di kamar Ivander—persis seperti malam tadi. Ivander bahkan berencana meminta kecupan selamat pagi dari Qeiza. Hari ini pasti akan terasa lebih indah, jika dimulai dengan menerima kecupan hangat dari Qeiza.
Namun, agaknya itu hanya menjadi harapan Ivander seorang. Karena setelah hampir lima menit Ivander mengetuk pintu penghubung itu, Qeiza tak kunjung membukakan pintu itu.
Ternyata, wanita yang diharapkan dapat memberikan kecupan selamat pagi itu, telah lebih dulu melangkah menuju restoran hotel.
Gegas Ivander menuju restoran, saat membaca balasan pesan yang dikirimkan oleh Qeiza. Mengambil dua lembar roti gandum dan segelas susu hangat terlebih dulu, Ivander pun menghampiri Qeiza, dan duduk di hadapan wanita itu.
“Kenapa Kamu ke restoran sendirian? Kenapa tidak mengajakku?!” protes Ivander, saat pria itu baru saja duduk di hadapan Qeiza.
“I-itu karena saya sudah sangat lapar, Pak. Jadi, saya pergi ke restoran lebih awal. Saya pikir Bapak masih tidur. Jadi, saya tidak mau mengganggu.”
Ivander tersenyum, digigitnya roti gandum yang kini tengah dipegangnya. “Apa Kamu tidur nyenyak tadi malam?”
Qeiza mengangguk pelan. “Curang!” protes Ivander. Seketika Qeiza mengangkat wajahnya. “Curang?” tanya Qeiza bingung. Pria itu mengangguk, “aku tidak bisa tidur karena memikirkan Kamu semalaman. Sedangkan Kamu bisa tidur dengan nyenyak,” ucap Ivander seraya mencubit gemas hidung mungil Qeiza.
Wajah Qeiza seketika memerah. Wanita itu pun menundukkan pandangannya. Ivander tidak tau saja, jika Qeiza pun baru bisa terlelap ketika waktu subuh hampir tiba.
Ivander terlihat gemas melihat tingkah malu-malu Qeiza. Rasanya pria itu ingin sekali merengkuh Qeiza ke dalam dekapannya hingga tubuh mereka kembali menempel erat seperti tadi malam.
Kini, Ivander dan Qeiza tengah menikmati sarapan mereka dengan saling diam. Jika Qeiza menyantap makanannya sembari tertunduk malu, Ivander menyantap hidangannya sembari tersenyum simpul, menatap wanita di hadapannya.
***
Pintu penghubung kembali diketuk. Qeiza menghela napas berat. Kejadian di restoran tadi, membuat Qeiza bertambah malas untuk bertemu Ivander. Pria itu semakin berani menggodanya. Hal itu bukan salah Ivander seutuhnya, karena malam tadi, dirinya sendirilah yang membiarkan pria itu bertindak semaunya.
Jika saja malam tadi dirinya menolak, saat Ivander memeluknya dari belakang, tentu pria itu tidak akan berani mengecup bibirnya.
Andai saja malam tadi Qeiza menolak, saat pria itu menyesapi bibirnya lebih lama, tentu tubuh mereka tidak akan menempel seerat itu.
Nyatanya, Qeiza malah mengalungkan tangannya pada leher pria itu, sehingga Ivander memperdalam ciumannya. Nyatanya, Qeiza malah meremas rambut pria itu, hingga Ivander semakin menggila.
Suara ketukan kembali terdengar. Dengan ragu, Qeiza mengayun langkahnya, dan membuka pintu itu. Tampak Ivander berdiri di hadapannya sembari tersenyum lebar. Pria itu kemudian meninggalkan Qeiza yang masih berdiri di ambang pintu penghubung.
“Sini, Qei. Tolong pasangkan dasiku,” ucap pria itu sembari menepuk ranjang yang tengah didudukinya. Lidah Qeiza kelu. Rasanya ingin dia menolak permintaan pria itu. Kenapa memasang dasi saja, Ivander harus duduk di ranjang?
Tapi agaknya, bagian tubuh Qeiza tidak tersinkronisasi dengan baik. Pikirannya ingin menolak, tapi nyatanya, wanita itu malah semakin mendekat, dan kini berdiri tepat di hadapan Ivander yang sudah melebarkan kakinya, agar tubuh Qeiza semakin mendekat padanya.
“Aku lelah kalau harus menekuk kakiku, agar kamu tidak harus berjinjit memakaikan dasi,” ucap Ivander. Qeiza hanya mengangguk dan menerima dasi pemberian Ivander.
Wanita itu pun mulai memakai dasi pada pria yang sedari tadi menatapnya lekat sembari tersenyum lebar.
“Sudah lama kamu tidak memakaikan dasiku. Iya kan?”
“Iya Pak,” jawab Qeiza. Ivander menghela napas berat saat mendengar Qeiza masih saja memanggil dirinya dengan sebutan bapak. Pria itu meletakkan kedua tangannya pada kedua sisi pinggang Qeiza.
“Panggil aku, Mas,” rengek Ivander.
Wanita itu berusaha untuk bersikap santai, saat debaran jantungnya semakin bertalu. “Kenapa aku harus memanggil Pak Ivan dengan sebutan, Mas?” jawab Qeiza yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Bukan jawaban yang didapat Qeiza. Ivander malah menarik pinggang wanita itu,hingga kini tubuh mereka semakin bertambah dekat. Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Qeiza, Ivander pun menatap lekat gadis yang wajahnya sudah memerah seperti tomat itu.
“Karena Kamu adalah calon istriku. Kamu mau kita menikah kapan? Bulan depan atau Minggu depan?”
“Me-memangnya kapan saya mengatakan kalau saya mau menikah dengan Bapak?!”
Dahi Ivander berkerut. “Aku kan sudah katakan, kalau Ev menyetujui jika aku menikahi Kamu,” jelas Ivander.
“Tapi saya tetap tidak mau menikahi pria beristri!”
Menarik napas berat, Ivander pun melepaskan pelukannya, lalu menjauh dari wanita itu.
“Cepat bersiap. Sebentar lagi kita pergi rapat!”
Qeiza menatap pria yang kini tengah memakai jas berwarna abu-abu. “Saya tunggu kamu di lobby.”
Pria itu pun meninggalkan Qeiza yang masih berdiri mematung di depan ranjang.
“Dia ngambek?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Dewa Rana
udah tua masih ngambek 😃😃
2024-12-19
0
Mei
wkwkwk pake ngambek segala ih
2022-08-07
3
Lin
hahaha ngambek nih
2022-08-05
3