Tiga bulan berlalu, sejak Ivander menjadi CEO Bratajaya Corporation. Sudah tiga bulan juga Qeiza menjadi sekretaris pribadinya. Setiap hari janda beranak satu itu mengawali paginya, dengan membantu Ivander memakai dasi. Bahkan Ivander sengaja memesan sebuah kursi kecil yang terbuat dari kayu, untuk memudahkan Qeiza memasangkan dasi padanya.
Senyum Ivander terkembang, saat Qeiza masuk ke ruangannya. Pria itu pun sudah siap pada posisinya. Ivander bahkan sudah menyiapkan bangku kecil itu di hadapannya. Sehingga Qeiza bisa langsung menaiki bangku itu dan memasangkan dasi untuknya.
Harum tubuh Qeiza lah yang paling dirindukan pria itu, ketika mereka harus berpisah setiap senja.
Mata bulat Qeiza, bibir merah mudanya yang selalu tersenyum lembut itu, merupakan penyemangat bagi Ivander.
Namun, pagi ini, tak dilihatnya senyum itu. Qeiza malah terlihat sedikit kesal.
“Kamu kenapa?”
“Saya kesal dengan Bapak!” Netra Ivander seketika membulat.
Kesal? Qeiza merasa kesal dengannya?
Ivander merasa bingung. Apa yang membuat wanita yang ada di hadapannya itu merasa kesal padanya? Ah, dia tak ingin Qeiza merasa kesal dengannya.
“Beritau apa kesalahan saya? Saya akan memperbaikinya!”
“Saya capek, Pak. Sudah lebih dari lima bulan saya memakaikan dasi untuk Bapak. Tapi, kenapa Bapak belum juga bisa melakukan hal kecil seperti ini?”
Ivander tertawa. “Saya bisa kok memakai dasi sendiri?”
Seketika Ivander membuka kembali, dasi yang sudah dijalin Qeiza dengan rapi.
“Kok dibuka lagi sih, Pak. Nambah pekerjaan saya saja!” sungut Qeiza. Wanita itu hendak turun dari atas bangku kecil, tapi Ivander menahannya.
“Kamu perhatikan baik-baik.”
Ivander pun mulai memakai dasinya sendiri. “Tuh, saya bisa kan?” ucapnya bangga. Namun, Qeiza malah mendengus kasar.
“Yang rapih dong, Pak. Ini bukan simpul untuk memasang tandu, tapi buat memasang dasi! Membuat saya kerja dua kali saja,” oceh wanita itu. Ivander hanya tersenyum saat menyaksikan Qeiza mengoceh sembari membenarkan dasinya kembali.
“Bagaimana kalau saya tidak ada. Siapa yang akan memasangkan dasi Bapak?!”
“Memangnya Kamu mau ke mana? Mau mengundurkan diri?”
“Bisa saja kan saya tiba-tiba mati mendadak," ungkapnya kesal. Namun, Qeiza malah terkejut saat Ivander menggenggam kedua telapak tangannya.
“Jangan tinggalkan saya, Qei. Saya tidak bisa tanpa Kamu.”
Netra Qeiza seketika membulat.
“Saya tak akan membiarkan Kamu meninggalkan saya. Bahkan, saya tak mengizinkanmu untuk mati. Saya butuh Kamu, Qeiza Hikaru.”
Qeiza menatap lekat netra kecoklatan Ivander. Ucapan pria tampan itu hampir membuatnya berdebar. Namun, Qeiza segera sadar. Ivander mempunyai istri sempurna yang sangat dicintainya. Ivander membutuhkan dirinya, pasti hanya untuk urusan pekerjaan, itulah pikir Qeiza.
Wanita itu mengutuk dirinya sendiri yang hampir merasa melayang dengan kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Ivander.
Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir pria itu selanjutnya, kembali membuat Qeiza terperangah.
“Apa Kamu tidak berniat untuk menikah lagi, Qei?”
“Apa maksud Bapak?”
Tak menjawab pertanyaan Qeiza, Ivander malah menarik wanita itu ke dalam dekapannya.
“Apa kamu tidak pernah merasakan debaran seperti ini, ketika dekat dengan saya, Qei? Coba kamu rasakan debaran jantung ini, Qei. Debaran jantung ini selalu tak karuan, saat saya berada di dekatmu.”
Qeiza hampir kehilangan kata-kata. Namun, saat mengingat Ivander adalah pria beristri, Qeiza meronta dan melepaskan diri dari pelukan pria itu.
“Pak, ingat, Bapak itu sudah punya istri!” ucap Qeiza. Wanita itu pun turun dari bangku kecil dan hendak pergi meninggalkan Ivander. Namun pria itu mencekal tangan Qeiza.
“Saya tidak bahagia, Qei. Pernikahan kami terasa hampa.”
Ivander merapatkan tubuhnya dengan wanita itu, dan memeluk Qeiza dari belakang. Ivander bahkan menenggelamkan kepalanya ke lekuk leher Qeiza, dan menghirup dalam-dalam harum tubuh wanita itu.
Ivander menggesek-gesek hidungnya pada lekuk leher Qeiza. Wanita itu meremang. Qeiza yang sudah lama tak mendapat sentuhan pria, menutup matanya, menikmati sentuhan Ivander. Pria itu berhasil membuat Qeiza terbuai sejenak dengan permainannya. Terlebih Ivander berhasil memberikan beberapa jejek kepemilikan pada leher Qeiza.
Hampir Qeiza mendesis karena sensasi itu. Suara dering ponsel miliknya, berhasil membuat wanita itu tersadar akan kegilaannya yang menikmati sentuhan Ivander. Sentuhan seorang pria yang sudah beristri.
Qeiza memaksa Ivander untuk melepaskan pelukannya.
“Maaf Pak. Saya tidak mau menjadi penyebab keretakan hubungan rumah tangga seseorang!”
Dengan sedikit berlari, Qeiza meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Ivander yang terpaku. Bukan hanya meninggalkan ruang kerja Ivander, Qeiza bahkan pergi meninggalkan kantor.
Menaiki taksi yang kebetulan melintas, wanita itu mendatangi sebuah komplek pemakaman.
“Hari ini aku menyakiti hati seorang wanita, Mas. Aku berpelukan dengan suami seseorang,” ucap Qeiza di makam suaminya. “Apa karena aku ini janda, Mas? Apa karena aku janda, makanya semua orang berlaku seenaknya terhadapku? Apa karena aku janda, makanya semua orang mencibirku? Kenapa Kamu menjadikan aku janda, Mas?! Kenapa Kamu meninggalkan aku?!”
Qeiza menangis sesenggukan di atas pusara suaminya. Dirinya sanggup bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sang anak. Dirinya sanggup tak memedulikan ucapan miring orang-orang di sekitarnya. Dia menerimanya takdirnya sebagai janda. Tapi kini, dirinya tak lagi sanggup untuk tak menyalahkan takdir.
Ini semua karena Qeiza merasa begitu bersalah karena menikmati sentuhan demi sentuhan yang diberikan Ivander, yang notabenenya adalah suami seseorang.
“Baru kali ini aku merasa diriku begitu hina, Mas.” Kembali wanita itu menangis sesenggukan.
Hampir satu jam Qeiza duduk di hadapan makam suaminya. Menyeritakan keluh kesahnya setelah hampir dua tahun menjanda.
Dan sejak hari itu, Qeiza tak lagi ramah pada Ivander. Qeiza tak lagi masuk ke ruang kerja pria itu untuk memakainya dasi. Qeiza tak mau berinteraksi dengan pria itu, jika tak menyangkut masalah pekerjaan.
Ini adalah hari ketiga Ivander tak menyematkan dasi pada pakaian kerjanya. Dering telepon di meja kerja, membuat wanita itu menghentikan pekerjaannya.
“Iya Pak.”
“Kamu bisa ke ruangan saya sekarang, Qei?” tanya Ivander lembut.
“Data yang Bapak minta untuk meeting hari Jum'at, belum selesai, Pak. Nanti kalau sudah selesai akan saya bawa ke ruangan Bapak.”
“Tidak masalah, bawa saja ke ruangan saya, kita kerjakan bersama biar cepat selesai.”
“Tidak perlu, Pak. Saya bisa menyelesaikannya sendiri!” ketus Qeiza. Wanita itu bahkan memutuskan panggilan telepon itu secara sepihak. Ivander menghela napas berat. Ivander bingung. Entah alasan apa lagi yang harus diperbuatnya, agar wanita itu mau berinteraksi seperti biasa padanya. Padahal mereka sering berbincang dan saling melempar canda, sejak dirinya menjabat sebagai CEO Bratajaya Corporation.
Tapi kini, Qeiza tak lagi sama. Sejak kejadian tiga hari yang lalu itu, sejak dirinya menikmati leher mulus Qeiza, wanita itu tak mau lagi menyapanya. Bahkan tak ada senyum terukir di bibir merah muda itu.
Qeiza selalu memasang wajah datar, berbicara seadanya, bahkan tak lagi peduli padanya. Hal ini membuat Ivander bertambah risau dari menit ke menit. Hari ini dia sudah tak lagi bisa menahan. Ivander rindu senyum cerah Qeiza. Dia rindu berbincang hangat dengan janda beranak satu itu.
Ivander rindu bau tubuh Qeiza.
Menyeret langkahnya, Ivander kini berada tepat di depan meja kerja Qeiza. Memerintahkan secara langsung kepada wanita itu, untuk segera membawa pekerjaan yang sedang dilakoninya ke ruang kerja CEO.
Qeiza tak lagi bisa menolak, karena Ivander menyuruhnya di depan para karyawan yang lain. Dengan langkah malas dan hati dongkol, terpaksa Qeiza menuruti perintah atasannya itu.
“Kita kerjakan di sofa saja, Qei,” ucap Ivander, saat Qeiza menaruh setumpuk berkas ke atas meja kerja pria itu. Menghela napas kasar, Qeiza kembali mengambil berkas-berkas itu dan memindahkannya pada meja yang berada di depan sofa tamu.
“Kita kerjakan bersama ya, Qei. Soalnya mendadak meeting dimajukan ke hari Jum'at,” ucap Ivander. Ivander tak tau lagi untuk membuat alasan apa, agar Qeiza mau menghabiskan waktu bersama di ruang kerjanya, hingga akhirnya pria itu memilih untuk berbohong.
Berulangkali Ivander mencuri pandang pada wanita itu. Menatap mata bulat Qeiza, hidung mungilnya, dan bibir merah muda yang lagi menampakkan senyumnya. Ivander begitu merindukan wanita yang kini duduk di sampingnya itu.
Padahal mereka masih bertemu setiap hari, tapi perlakuan dingin wanita itu membuatnya merindu sikap hangat Qeiza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Dewa Rana
jangan gitu qei...nanti jatuh cinta...
2024-12-19
0
Lila
Seperti di film Bollywood Khabi Khusi Khabi Gham😀
2023-08-21
1
Lin
pak Andreas salah jg sih
masa Ivan msh punya istri malah dijodohin sama Qeiza
2022-08-05
3