“Bagaimana Qeiza menurut kamu, Von?”
“Kenapa Papi bertanya seperti itu?” tanya Ivona anak bungsu Andreas Bratajaya.
“Papi hanya ingin mendengarkan tanggapanmu tentang karakter Qeiza. Wajahnya mirip dengan Mami kalian kan?”
Ivona tersenyum lembut dan menatap dalam kedua netra sang ayah. “Qeiza sekilas memang mirip dengan almarhum Mami. Ivon lihat, dia juga wanita yang baik dan juga lembut. Persis Mami.”
Senyum Andreas merekah sempurna. Dia memang tak salah menilai Qeiza. Buktinya, anak bungsunya juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.
“Ivon dan Mas Ivan, pasti akan mendukung apapun keputusan Papi.” Semakin terkembanglah senyum Andreas mendengarnya.
“Papi kabari saja, kapan Papi akan melamar Qeiza.”
Air dalam mulut Andreas seketika menyembur. Pria lanjut usia itu bahkan tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pernyataan putri bungsunya.
“Papi tidak akan pernah menikah lagi!”
Ivona terperangah. Anak bungsu Andreas itu, bisa melihat tatapan lembut Andreas pada Qeiza, saat dirinya pertama kali dikenalkan pada janda beranak satu itu.
Saat itu, Qeiza baru satu Minggu bekerja sebagai sekretaris sang ayah. Wajah Qeiza yang mirip dengan sang ibu, membuat Ivona yakin, jika sang ayah menaruh hati pada wanita berumur 29 tahun itu. Terlebih, saat ini, saat Ivona tengah cuti melahirkan, ayah kandungnya itu selalu bercerita mengenai sikap Qeiza yang menawan hatinya.
Jika, sang ayah tak akan menikahi Qeiza, lantas mengapa ayahnya selalu memuji janda beranak satu itu?
“Papi selalu merasa kasihan dengan Ivan. Papi selalu merasa jika dia memilih istri yang salah. Bagaimana mungkin seorang wanita tak ingin memiliki anak hanya karena takut bentuk tubuhnya tak lagi bagus?”
“Ivon tadinya mendukung keputusan itu. Setiap orang berhak memutuskan sendiri pilihan hidupnya.”
“Bisa-bisanya kamu mendukung Mas-mu tak memiliki keturunan!” sergah Andreas.
“Pi, setiap orang bebas menentukan pilihan hidupnya. Termasuk ingin memiliki anak atau tidak. Ivon mendukung, karena Ivon pikir, mas Ivan juga memiliki pilihan yang sama dengan istrinya. Nyatanya, mas Ivan hanya mengikuti keinginan istrinya itu. Mending kalau istrinya pantas. Kerjanya hanya berfoya-foya saja!”
“Itu yang papi pikirkan. Eve itu hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Ivan tidak pernah diurus. Papi merasa kasihan. Papi ingin Ivan merasa bahagia, seperti yang papi rasakan saat menjadi suami mami kalian. Mami begitu mengurusi papi, melayani papi dengan baik. Bahkan, kamu yang bekerja saja masih mau mengurusi suami. Tapi, si Eve itu ....” Andreas menggelengkan kepalanya.
Andreas merasa, Ivander sudah begitu banyak berbuat untuk Evelyn. Tapi, menantunya itu tak pernah merasa bersyukur dan merawat anak sulungnya. Andreas akan lebih bisa menerima jika Evelyn divonis tidak bisa memiliki anak, dibandingkan wanita itu memilih untuk tak memiliki anak.
Andreas pun akan berusaha menerima keputusan anak dan menantunya untuk tak memiliki anak. Asalkan, Evelyn menyayangi anaknya dengan benar.
“Sejak pertama kali bertemu Qeiza, sejak pertama kali melihat kemiripan Qeiza dengan mami kalian, Papi sudah menginginkannya untuk merawat Ivan. Papi ingin Ivan merasakan kasih sayang dan perhatian dari seorang istri.”
Kini Ivona mengerti maksud sang ayah. Bibir wanita beranak dua itu seketika merekah.
“Ivon akan berusaha membantu Papi untuk mendekatkan Qeiza dengan Mas Ivan. Ivon akan berusaha sedikit demi sedikit merubah penampilan Qeiza. Tapi, itu nanti, saat cuti melahirkan Ivon selesai.”
***
Andreas menghela napas panjang. Pria lanjut usia itu sibuk dengan lamunannya. Reka ulang adegan enam bulan lalu, saat pertama kali dia membahas perihal perjodohan Qeiza-Ivander dengan putri bungsunya, kembali terbayang.
Sejak awal Qeiza bekerja sebagai sekretaris pribadinya, Andreas langsung mengenalkan wanita muda itu pada kedua anaknya. Andreas ingin kedua anaknya—Ivander dan Ivona— menjadi akrab dengan janda beranak satu itu. Sehingga rencananya untuk menjadikan Qeiza sebagai menantunya, berjalan lancar.
Namun, kedekatan antara Ivona dengan Qeiza, memunculkan rumor, kalau dirinya dan wanita muda itu akan segera melangsungkan pernikahan.
Tak mau jika rumor itu semakin berkembang tak tentu arah, Andreas langsung menghubungi Ivona.
“Ke ruangan Papi sekarang. Papi mau menagih janji!”
Ivona menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Janji apa yang sudah dia rapalkam pada sang ayah?
Putri bungsu Andreas itu gegas menyeret langkah menuju ruangan sang ayah. Namun, wanita itu menghentikan langkahnya terlebih dulu, tepat di depan meja kerja Qeiza dan menyapa wanita itu.
“Papi kenapa, Qei?”
Qeiza yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya, mengalihkan pandangannya kepada sang sahabat yang kini duduk di depan meja kerjanya.
“Memangnya kenapa?”
“Tadi Papi menghubungiku, katanya mau menagih janji. Kamu tau, janji apa?”
“Ih, mana aku tau! Coba kamu pikirkan lagi, kamu pernah berjanji apa sama Bapak,” ucap Qeiza.
“Kamu juga tumben sibuk ketak-ketik. Sedang mengerjakan apa?”
Qeiza menghela napas berat. “Tapi, Bapak memang sedikit aneh, Mba.”
“Aneh?”
Qeiza mengangguk, “masa aku diminta menggantikan Bapak untuk menemani Pak Ivan meeting bersama klien, besok,” jelas Qeiza.
Ivona menatap dalam kedua netra Qeiza. Akhirnya Ivona tau, perihal janji yang akan ditagih oleh ayahnya. Bibir putri bungsu Andreas Bratajaya itu mendadak terkembang lebar.
“Aku ke ruangan Papi dulu, ya!” ucap Ivona riang. Qeiza menatap kepergian sahabatnya itu dengan bingung.
Namun, Andreas malah menatap kedatangan sang putri dengan wajah masam.
“Pi ... Papi itu sudah tua. Sudah banyak keriput kecil-kecil di wajah Papi. Jadi, tolong wajah Papi jangan ditekuk-tekuk seperti itu lagi. Jadi tambah banyak keriputnya!” cebik Ivona yang langsung menghempaskan tubuhnya pada sofa yang ada di ruangan itu.
“Kamu ini memang anak kurang ajar! Papinya lagi bingung malah dikata-katain!”
Ivona menanggapi kekesalan sang ayah dengan terkikik.
“Ayo Pi, kita jalankan misi perjodohan Qeiza dan kak Ivan!”
“Akhirnya kamu ingat juga dengan janjimu itu!”
“Ivon selalu ingat kok, Pi. Setiap awal bulan, Ivon selalu mengajak Qei ke salon untuk perawatan, itu buat apa?”
“Halah ... Kamu sejak remaja memang hobi pergi ke salon sama Mami!” cebik Andreas.
“Sambil menyelam minum air, Pi. Sejak Mami meninggal, Ivon tidak punya teman yang bisa diajak ke salon bersama. Kak Eve mana mau dia pergi dengan Ivon. Sebagai calon ipar Ivon yang baru, Qei harus menemani Ivon!”
Andreas hanya melengos mendengar penuturan sang anak.
“Selain itu, apa Papi tidak melihat perubahan Qei? Setelah Qei bersahabat dengan Ivon selama enam bulan ini, wajahnya lebih kinclong kan? Penampilannya juga lebih modis. Itu semua berkat Ivon! Itu langkah Ivon agar membuat Mas Ivan terpesona akan kecantikan Qei!” ujar Ivona bangga.
Andreas menghela napas panjang. “Kamu ini memang tidak paham, Von. Pesona Qei itu bukan pada wajahnya. Qeiza memang cantik. Tapi Evelyn jauh lebih cantik. Papi ingin Ivan melihat sisi pesona Qei yang lain. Papi ingin Ivan merasa nyaman di samping Qei. Lalu jatuh cinta dengan sikap dan sifat Qeiza!”
“Makanya, Papi meminta Qei menemani Mas Ivan bertemu klien, besok?"
Andreas menganggukkan kepalanya. “Apa Papi bisa mengatur agar mereka bertemu klien di luar kota, atau di luar negeri? Supaya mereka bisa berdua lebih lama, lalu Papi minta Qei mengurusi segala kebutuhan Mas Ivan!”
Akhirnya senyum Andreas terkembang. Ide yang dilontarkan Ivona ada benarnya. Setiap bertemu klien di dalam maupun di luar negeri, Andreas selalu mendampingi putranya. Satu kebiasaan Ivander yang tidak bisa luput dari perhatiannya.
Dasi.
Walau sudah berumur hampir 40 tahun, anak sulungnya itu tidak bisa memakai dasi dengan rapi. Sejak dulu, setiap ada acara penting, Andreas lah yang selalu merapikan dasi sang anak.
Namun, masih ada hal yang mengganjal hati Andreas.
“Von, bagaimana menurutmu kalau papi pensiun?”
“Pensiun?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Lin
lnjut
2022-08-05
2
As
weleh 😅
2022-07-30
2
Mei
eetdah gak bisa masang dasi 😂
2022-07-28
5