Qeiza langsung merebahkan tubuhnya ketika tiba di hotel. Menatap pintu yang terhubung ke kamar Ivander, wanita itu menghela napas kasar. Membayangkan jika besok pagi dirinya harus kembali memasangkan dasi dan memastikan kerapihan pakaian atasannya itu, membuat Qeiza merasa malas.
Namun, seberapapun besar rasa malas itu, mau tak mau, Qeiza tetap harus melakukannya dengan ikhlas. Kini wanita itu memilih untuk membersihkan dirinya.
Tak lama terdengar suara ketukan di pintu penghubung itu. Dengan rambut yang masih digelung dengan handuk, Qeiza membuka pintu penghubung kamar.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Ivander tertegun menatap Qeiza yang menggunakan piyama dengan rambut yang masih bergelung dengan handuk. Jelas sekali kalau wanita itu baru saja selesai mandi. Walau ini bukan yang pertama kali bagi Ivander menyaksikan penampilan Qeiza yang seperti itu, tapi pria itu selalu merasa kagum dengan kesederhanaan wanita yang ada di hadapannya itu.
Ivander tersenyum, lantas melepaskan handuk yang berada di kepala Qeiza. Rambut Qeiza yang masih agak basah pun tergerai.
“Pak!” pekik Qeiza.
“Yuk makan malam,” ajak Ivander seraya menyerahkan kembali handuk yang kini ada di genggamannya kepada Qeiza.
“Saya lelah, Pak. Mau istirahat saja. Lagian, saya juga tidak terlalu lapar,” tolak Qeiza. Sengaja wanita itu menolak ajakan Ivander. Selain malas untuk berinteraksi terlalu dekat dengan sang atasan, Qeiza juga malas berganti pakaian lalu berjalan menuju restoran hotel.
“Aku sudah memesan makanannya. Mubadzir kalau tidak dimakan. Ayo Qei,” ucap Ivander. Pria itu berjalan mendahului Qeiza, seolah tau jika wanita itu pasti akan mengekorinya. Bibir Ivander melengkung saat mendengar derap langkah Qeiza yang kini telah berjalan di belakangnya.
Ivander menggeser kursi dan memersilakan Qeiza untuk duduk di sana. Kali ini, Qeiza menjadi sedikit salah tingkah dengan perlakuan atasannya itu. Terlebih saat menyaksikan meja bundar yang ada di hadapannya.
Meja dengan taburan beberapa kelopak mawar, dengan sebuah lilin di tengahnya. Bahkan sayup-sayup terdengar alunan lagu romance. Persis seperti candle light dinner yang sering disaksikannya di dalam beberapa drama.
Hanya suara denting sendok beradu yang menggema di kamar hotel itu. Sepasang manusia yang juga berada di sana, hanya menikmati santap malam mereka. Karena lagu dari Yura Yunita, yang menemani santap makan malam itu, berhasil membuat kedua insan saling salah tingkah.
...Tiap-tiap kata yang kau ucap...
...Kuurai, yakini, dan kusimak...
...Apa pun itu dari pikirmu...
...Kau bawa bahagia ke dekatku...
...Kau buatku lupa tentang waktu...
...Kapan pun itu di wahanamu...
...Di harummu aku hanyut...
...Di hangatmu aku larut...
...Ingin dekat-dekat...
...Dekat di pelukmu...
...Duhai sayang...
...Denganmu tenang...
...Hanya kau yang mampu...
...Melengkapiku...
...Duhai sayang...
...Denganmu tenang...
...Hanya kau yang mampu...
...Buat penuh hatiku...
...Hanya kau yang mampu...
...Hanya kau yang mampu...
...Membuatku merasa dicintai...
...Sebesar ini...
“Qei, Evelyn setuju jika aku menikahimu.”
Qeiza yang tengah menyesapi orange juice, seketika menyemburkannya ke wajah Ivander. Melihat wajah Ivander basah akibat perbuatannya, gegas Qeiza mengambil tissue dan membersihkan wajah pria itu dengan lembut.
“Maaf Pak, saya tidak sengaja,” ucap Qeiza gugup.
Ivander membawa kedua telapak tangan Qeiza ke dalam genggamannya. Kedua mata mereka kini saling bertatapan.
“Menikahlah denganku, Qei.”
Perlakuan-perlakuan lembut Ivander selama ini, ditambah dengan suasana syahdu malam ini, membuat hati Qeiza sedikit berdesir. Terlebih saat Ivander mulai berlutut dan mencium punggung tangannya.
Persis seperti drama romantis yang sering ditontonnya. Bahkan, almarhum suaminya tak pernah berlaku seromantis itu, karena pria itu memang bukan tipikal pria romantis. Berbeda dengan Ivander. Perlakuan Ivander saat ini, membuat degup jantung Qeiza tak beraturan.
Namun, Qeiza seketika tersadar dari mimpi indahnya yang sesaat. Qeiza kembali teringat akan status Ivander yang merupakan seorang pria beristri. Gegas wanita itu menarik tangannya.
“Maaf Pak, saya tidak bisa!” Qeiza membalik tubuhnya, memunggungi Ivander yang masih berlutut.
“Saya tidak mau menjadi pelampiasan kebosanan Pak Ivan pada istri anda! Saya hanya akan menikah dengan pria yang menyintai saya. Bukan pria yang hanya memanfaatkan saya!”
Melangkah mendekati Qeiza, kini Ivander merengkuh wanita itu dari belakang. “Aku mencintai kamu, Qei.”
Ucapan cinta pria itu membuat tubuh Qeiza meremang. Pasalnya pria itu berbisik, tepat pada di telinganya. Hembusan napas Ivander pada daun telinganya, membuat wanita itu tak hanya meremang. Kini, degupan jantung Qeiza semakin bertalu. Qeiza berusaha menahan hasratnya, pada pria macho yang tengah mendekapnya dari belakang dengan erat.
“Kamu mau kan, menikah denganku, Qei?”
Qeiza semakin meremang. Bukan karena pertanyaan yang dilontarkan oleh atasannya itu. Tapi karena Ivander yang mulai mengecup telinganya. Tubuh Qeiza sedikit gemetar, dengan napas yang semakin berat. Wanita itu hanya bisa meremas jemarinya yang saling bertautan.
“Sa-saya tau, Bapak mau menikahi saya hanya karena menginginkan anak kan?” ucap Qeiza. Sekuat tenaga wanita itu menahan bibirnya yang juga gemetar.
Sementara Ivander yang sedari tadi sibuk memberi jejak pada leher mulus Qeiza, seketika menghentikan aksinya. Pria itu melepaskan Qeiza dan membalik tubuhnya hingga kini mereka saling berhadapan.
Qeiza seketika menunduk, karena tak mampu menatap wajah Ivander. Namun pria itu mencengkeram dagu Qeiza dan mengangkatnya, hingga kini mata mereka saling terkunci.
“Aku memang menginginkan seorang anak darimu, Qei. Bahkan hanya dengan menikahimu, aku sudah langsung memiliki anak. Qiana akan resmi menjadi anakku. Dan aku memang sudah menyayangi anak itu sejak beberapa bulan lalu. Tapi, yang harus kamu tau, Qei. Aku jatuh cinta padamu. Aku ingin terus diperhatikan olehmu. Tidak hanya di kantor, tapi juga di rumah kita nantinya.”
Qeiza menatap dalam manik kecoklatan pria itu. Mencari kebenaran di dalam sana. Banyak sekali pertanyaan di benak Qeiza setelah mendengar penjelasan Ivander.
Benarkah pria itu mencintai dirinya?
Kenapa pria itu bisa jatuh cinta padanya, padahal jika dibandingkan dengan Evelyn, dirinya jauh di bawah standar?
Benarkah Ivander hanya butuh perhatian?
Banyaknya pertanyaan di benak Qeiza, membuat wanita itu tak menyadari, jika wajahnya dan wajah Ivander sudah semakin dekat. Bahkan, pria itu kini menyantap bibirnya dengan lembut.
Mata Qeiza yang mendelik, perlahan menutup. Walau tak membalas, wanita itu mulai menikmatinya. Jemari Ivander bahkan kini telah berpindah ke tengkuk Qeiza. Pria itu pun mulai memperdalam ciumannya. Tanpa di sadari, Qeiza mulai mengalungkan kedua lengannya pada leher pria itu.
Tubuh kedua insan itu kini menempel erat. Ivander bahkan menginginkan lebih dari sekadar berciuman. Namun, suara ketukan di pintu membuat mereka harus mengakhiri ciuman panas itu.
“Room service!”
Rupanya pelayan hotel ingin membereskan bekas makan malam. Ivander menempelkan dahinya ke dahi Qeiza. Napas mereka masih tersengal-sengal.
“Kamu masuklah ke kamar. Istirahat, besok pagi kita akan ada pertemuan.”
Qeiza mengangguk dengan pandangan menunduk.
“Good night, Qei,” ucap Ivander kemudian mengecup singkat dahi wanita itu.
Qeiza berlari kecil, ketika Ivander beralih membuka pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
bungaAaAaA
aku beneran ga setuju klo masi ada eve. Sumpah. garelaaaaa
2022-11-27
1
Mei
ganggu weiiy mas2 room boy 😝
2022-08-07
3
Mei
ebuset maen sosor ae 😳
2022-08-07
2