...*Flashback On*...
40 bulan, sebelum Qeiza menjadi istri seorang Ivander Bratajaya.
Tak ada tangisan yang terdengar dari bibir seorang Qeiza Hikaru, saat menatap tubuh sang suami yang kini terbujur kaku. Sembari menggendong si buah hati yang kini berusia tiga tahun, wanita itu menyeret kaki, mengantarkan jenazah sang suami ke peristirahatan terakhirnya.
Qeiza bukannya tak merasa sedih dengan kepergian mendadak itu. Kehilangan nakhoda di tengah samudra, dengan kapal yang baru saja meninggalkan dermaga, tentu membuatnya limbung. Namun, kini dirinya dihadapi pada pertanyaan, bagaimana cara mereka bertahan hidup?
Sejak menikah, Qeiza sepenuhnya bergantung pada sang suami. Promosi dari perusahaan tempatnya bekerja, tak mampu membuat wanita itu mempertahankan pekerjaannya. Karena itu sudah menjadi janji Qeiza pada sang suami sebelum mereka menikah. Qeiza akan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Tak lagi ada sang suami di sisi, mau tak mau, membuat Qeiza lah yang harus menafkahi hidupnya serta Qiana—anak semata wayangnya.
Namun, bukan hanya hidup sang anak yang menjadi tanggung jawabnya saat tak ada lagi yang menafkahi. Ada satu sosok lagi yang selalu menemani hari-harinya. Dia adalah Melati, ibu kandung yang juga harus dia penuhi kebutuhannya.
Karena tanggung jawab itu, Qeiza pun berusaha untuk mencari pekerjaan, walau baru satu Minggu tragedi itu terjadi. Tragedi yang menyebabkan sang suami meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Namun, setelah satu bulan berlalu, tak ada balasan surat elektronik yang diterimanya, ponselnya pun masih belum berdering. Tak ada satupun panggilan kerja dari puluhan lamaran yang ia lemparkan.
“Bagaimana ini, Bu? Tabunganku sudah menipis. Belum ada panggilan kerja sampai sekarang. Padahal aku sudah mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke belasan perusahan,” ujar Qeiza, suatu malam. Janda beranak satu itu mengembuskan napas berat. Menatap sang buah hati yang kini tengah terlelap.
“Sementara dari hasil berjualan kue hanya cukup untuk makan kita sehari-hari. Bulan depan, aku juga harus kembali membayar cicilan rumah ini. Apa rumah ini kita over kredit saja ya, Bu?”
“Jangan, Qei. Kalau kita menjual rumah ini dan mengontrak sebuah rumah, bukannya itu sama saja? Setiap bulan kita tetap harus memikirkan uang untuk membayar sewa rumah!” tegas sang ibu.
“Laginya, kalau kamu menjual rumah ini, paling hanya dapat berapa? Cicilan rumah ini bukannya baru berjalan satu setengah tahun?”
Lagi, Qeiza menghela napas berat. Ucapan sang ibu memang benar adanya. Qeiza tak tau lagi harus berusaha seperti apa. Setiap hari dia harus berbelanja dan membuat kue untuk dijual, lalu berselancar di internet untuk melamar pekerjaan.
“Jual saja motor milik Aldi itu. Ibu rasa, hasil penjualan motor itu bisa untuk membayar cicilan rumah dan tagihan listrik bulan depan.”
Qeiza tentu merasa berat menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu. Aldi—suaminya, telah menabung cukup lama, bahkan dari sebelum mereka menikah, hanya untuk bisa membeli sepeda motor itu secara tunai.
Sepeda motor itu memang tak dikendarai Aldi setiap hari. Karena pria itu lebih memilih untuk menaiki bus jemputan dari pabrik tempatnya bekerja. Aldi hanya akan mengendarainya setiap hari Minggu, saat dirinya sedang libur, dan mengajak anak istrinya turut serta.
Jika saja sang suami tak mengalami kecelakaan kerja, bisa dipastikan, besok, suaminya itu akan mengajak dirinya dan anaknya untuk berkeliling kota, mengendarai sepeda motor kesayangannya.
Qeiza masih berusaha untuk tak menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu. Tapi, saat memasuki akhir bulan, uang hasil berdagang kue masih belum dapat menutupi pembayaran cicilan rumah. Akhirnya, Qeiza pun menjual sepeda motor kesayangan suaminya itu.
“Maaf Mas, aku harus menjual sepeda motor kesayanganmu.”
Qeiza menatap sendu pada sepeda motor kesayangan sang suami, yang perlahan semakin menjauh, dibawa sang pemiliknya yang baru.
Tak mau larut dalam kesedihan, wanita itu gegas melangkahkan kakinya, menuju Bank BTN dan menyetorkan uang hasil penjualan sepeda motor itu.
Qeiza tersenyum, menatap buku tabungan yang kini dipegangnya. “Alhamdulillah, dua bulan ke depan, aku tak perlu lagi memikirkan uang cicilan rumah.”
Qeiza lalu melangkahkan kakinya, menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumahnya. Sisa uang penjualan sepeda motor itu, dibelikannya bahan kebutuhan pokok. Beras, minyak goreng, gula, garam, aneka macam tepung untuk membuat kue.
Qeiza menambah kuantitas kue yang dibuatnya. Karena kini, wanita itu tak hanya berdagang di depan rumahnya saja. Kini, Qeiza juga menitipkan kue buatannya ke warung-warung yang ada di sekitar kediamannya.
Qeiza bahkan berjalan kaki, hingga ke beberapa perumahan dan menitipkan kue buatannya di warung-warung yang ada di sana.
“Alhamdulillah ya Qei, hasil penjualan kue semakin banyak. Kita juga bisa menabung untuk membayar cicilan rumah. Walau kita harus benar-benar berhemat untuk makan,” ucap Bu Melati.
Qeiza mengangguk sembari tersenyum. Namun, dirinya masih terus mengirimkan lamaran pekerjaan. Karena, jika Qiana bertambah besar, hasil penjualan kue itu tidak akan cukup untuk membiayai hidup mereka lagi.
“Qiana harus mendapatkan pendidikan yang baik,” gumamnya.
Hingga dua bulan berlalu, sejak suaminya mengembuskan napas terakhir. Untuk pertama kalinya, Qeiza mendapatkan panggilan mengikuti psikotes untuk masuk di salah satu perusahaan multinasional. Milik salah satu dari sepuluh orang terkaya di Indonesia. Bratajaya Corporation.
“Baik, Bu. Terima kasih banyak atas informasinya.”
Qeiza tak dapat menutupi rasa bahagianya saat ini. Wanita itu berlari menghampiri sang ibu yang tengah bermain bersama Qiana. Tak peduli jemarinya yang berlumur adonan kue, wanita itu memeluk sang anak dan ibunya bergantian.
Bahkan kini, Qeiza dan Qiana tengah melompat-lompat sembari berteriak riang. Qiana yang masih belum mengerti apa yang terjadi dengan sang ibu, hanya ikut merasa gembira dengan kegembiraan yang kini tengah dirasakan oleh ibunya.
Mata Qiana berbinar. Anak berumur tiga tahun itu, sudah lama tak berteriak riang bersama sang ibu. Anak kecil itu masih belum terlalu mengerti, mengapa sang ayah tak kunjung pulang? Mengapa sang ibu tak seceria biasanya?
Dan kini, hati gadis kecil itu begitu bahagia, karena kembali bisa berlompatan riang dengan ibunya. Hal yang dulu sering mereka lakukan. Menari bersama, melompat-lompat bersama.
Dibandingkan dengan Qeiza yang bergembira atas panggilan interview yang diterimanya, Qiana lebih bergembira, karena kembali bisa melihat binar bahagia dari wajah sang ibu, yang belakangan terlihat redup.
***
Tes yang dijalani oleh Qeiza berjalan lancar. Wanita itu optimis akan bisa mendapatkan pekerjaan itu. Menjadi staff di salah satu perusahaan multinasional, dengan gaji di atas standar, Qeiza benar-benar berharap akan diterima bekerja di sana.
Qeiza tengah berjalan keluar dari perusahaan itu, bersama beberapa pelamar lainnya. Melangkah menuju halte pemberhentian bus, Qeiza menangkap suatu pemandangan yang membuat hati kecilnya tergerak. Seorang pria tua, sedang membawa beberapa kantong plastik, tersandung, lalu tersungkur.
Gegas Qeiza berlari dan membantu pria lanjut usia itu untuk berdiri, dan menuntunnya duduk di halte.
“Bapak tunggu di sini saja, biar saya yang memungut buah-buahan itu.”
Qeiza lantas memunguti beberapa buah jeruk dan apel yang berserakan di jalan. Lalu lalang pejalan kaki, tak membuat Qeiza enggan memunguti buah-buahan itu. Seorang juru parkir yang mengenal pria lanjut usia itu, turut membantu Qeiza.
“Terima kasih, Pak,” ucap Qeiza pada juru parkir yang telah membantunya.
Sementara, pria lanjut usia yang tengah duduk pada bangku pemberhentian bus, menatap Qeiza tanpa berkedip, bahkan hingga wanita itu tepat berada di hadapannya.
“Ini Pak, buahnya. Ada dua buah jeruk yang terinjak, jadi tidak saya ambil. Tidak apa-apa kan, Pak?”
Pria lanjut usia itu tersenyum, “iya, tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah membantu saya.”
Tak henti pria lanjut usia itu menikmati wajah Qeiza. Menatapnya lekat. Merasa begitu diperhatikan, Qeiza menjadi salah tingkah.
“Saya permisi dulu, Pak.”
“Mau ke mana?”
“Mau pulang, Pak. Tadi saya habis ikut tes di Bratajaya Corp. Saya permisi dulu, Pak.”
Andreas Bratajaya yang sedari tadi terus tersenyum, lantas menganggukkan kepalanya. Namun, sebelum Qeiza menaiki angkutan kota, Andreas sempat menanyakan nama wanita itu.
“Nama saya, Qeiza Hikaru, Pak.”
Qeiza pun meninggalkan pria lanjut usia itu di sana. Tanpa dirinya tau, jika pria tua itu adalah seorang Andreas Bratajaya, CEO Bratajaya Corporation, perusahaan tempat dia melamar pekerjaan.
“Gadis itu, wajahnya mirip dengan almarhum istriku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Dewa Rana
baru mulai baca, mudah2an bagus ceritanya
2024-12-19
0
Ramlah Rato
baru baca...nunggu banyak 🤣🤣😂
2022-09-21
3
Sri
duh kasian
2022-08-05
2