Kedua pria itu saling menekan dalam pekatnya malam. Tak ada yang mau mengalah.
"Jauhi dia! Atau kau akan tahu akibatnya!" pekik lantang orang yang terpaut usia tiga tahun darinya itu.
"Tidak akan! Aku yang harus mendapatkannya!" balas Dodi tak terima. Menerjang dengan pukulan-pukulan telak, namun meleset.
"Awas kalau sampai terjadi apa-apa dengannya!" ancamnya sembari menangkis pukulan keras Dodi.
"Kita akan sama-sama menderita! Impas, bukan?" tantang Dodi lagi tak mau kalah. Pergerakan tangannya semakin dipercepat, namun pemuda lain tak kalah lihai menangkis lalu beberapa kali membalas dengan hantaman deras, tepat sasaran membuat pria narsis itu meringis berkali-kali.
"Argh! Bajingan!"
"Bedebah!"
Adu otot berlanjut di bawah penguasaan pria jangkung itu hingga pihak Dodi terpaksa menambah personil. Empat orang suruhan tiba-tiba muncul dan menyerang pemuda yang tampak menguasai cukup banyak gerakan bela diri hingga posisi lawan terancam bahaya.
"Hajar dia!" titah Dodi tak berperikemanusiaan. Memancing animo personil untuk terus membabi buta.
Kembali ke apartemen Galaksi, Aya baru saja akan tersungkur ke lantai akibat ulah kasar Januar. Namun, tangan kekar itu berhasil menariknya lagi ke posisi semula.
"Dengar baik-baik, gadis payah! Jaga batasanmu." Menekan kata terakhir bersamaan dengan mengerat cekalan tangannya. "Kau hanya boleh pulang setelah semuanya tuntas," lanjutnya tegas. Membuat Aya meringis, namun Januar tidak memedulikan rintihan gadis malang tersebut.
"Maka dari itu, jangan pernah lagi sebut kata 'pulang' di depanku." Usai memberi peringatan, Januar mendorongnya hingga terduduk dan gadis itu meratapi nasib dalam isakan tanpa suara.
"Keluar dari sini!" Satu bentakan keras mengikutinya, membuat Aya kembali berjingkat lalu bangkit dan mengambil langkah seribu. Berlari ke kamar yang menjadi saksi awal kehadirannya. Memandang sekeliling dengan wajah memerah, lalu menembus kamar mandi. Sekedar mencari tenang. Di sini, akhirnya ia melampiaskan segala kekesalan dengan menangis sepuas keinginan. Rasa panik, gusar, dan takut, tiba-tiba mendera. Bibirnya bergetar. Gadis itu lagi-lagi dejavu. Hingga sekujur badannya menggigil hebat.
Tidak lama, Januar memburu keluar dari ruang kerja dengan pandangan mengeliling, seakan merasakan suatu keanehan dalam dirinya. Lebih tepatnya, apa yang dirasa di panggung hidrolik tadi, kini muncul kembali dan entah apa penyebabnya.
"Ada apa ini?" Januar tidak menemukan apa yang dicari. Mencoba menutup netra lalu menajamkan pendengaran. Perlahan mendekati pintu kamar yang tadi dimasuki oleh gadis itu, meraba gagang pintu, namun berakhir enggan membukanya.
"Damn!" serunya menyapu kasar wajah nan letih, seakan menyadari sesuatu. Lalu dengan segera ia pun meninggalkan apartemen. Tentunya setelah pergi ke dapur dan meninggalkan pesan kepada pelayan pribadi yang masih setia menunggu perintah selanjutnya.
"Bu Mirna, tolong awasi dia sampai aku kembali besok pagi."
*
Mobil itu, kini melaju kencang membelah jalanan sepi. Membawa seribu rasa berkecamuk di ulu benak. Namun, wajah dinginnya tidak menggambarkan kekhawatiran sedikit pun.
"Itu dia!" geramnya dengan dada gemuruh.
Di sela mobil melesat tajam, tampak bayangan yang sangat ia hafal berkelebat cepat di manik mata. Sejumlah orang saling menerjang dengan penampakan empat lawan satu di depan sana. Januar menghentikan paksa laju kendaraan. Lalu melompat turun dengan sigap bersamaan dengan empat orang tadi berhasil membuat satu-satunya lawan tersungkur.
"Hentikan dia!" pekik suara tak lain milik Dodi yang membawa komplotan menyerang Danur Dirga saat melewati area rawan.
Januar berkelit lihai menepis serangan beberapa tim lain yang tiba-tiba sudah menghadang. Kemampuan bela diri yang hebat membuatnya dengan mudah membereskan dua lapis tim masing-masing berjumlah empat orang. Jelas menandakan Januar bukan lah tandingan mereka.
"Lepaskan adikku!" serunya lantang manakala mendapati sang adik sudah tidak berdaya, masih saja dihantam dengan beberapa pukulan telak. Daksanya melesat ringan mendatangi sang adik yang masih tergeletak di tanah. Kaki, tangan nan lincah, pun sigap mematahkan serangan empat lawan berikutnya dengan pergerakan zig zag. Membuat keempatnya terpental dengan luka serius.
"Bro!" Suara berat yang tergeletak di tanah, muncul dengan napas tersengal mengangkat tangan memberi high five, namun belum bisa bangkit lantaran cedera cukup serius.
"Sudah kubilang jangan diladeni!" serunya meninggi. Lalu mengulur bantuan pada sang adik agar bangkit.
"Tanggung, Bro! Biar dia paham berhadapan dengan siapa!" balas Danur tak mau kalah. Dengan susah payah ia bangkit dengan bantuan tangan kekar sang kakak.
"Petarung Ulung tidak mengandalkan amarah, jika kau ingin sepertinya, perbaiki dulu emosimu!" ujarnya datar. "Manfaatkan otak, bukan otot." Bersamaan dengan menepuk pelan pundak sang adik saat sudah berdiri tegak. Danur meringis.
Puk! Puk! Puk!
Sebuah tepukan tangan penghargaan membuyarkan konsentrasi dua bersaudara itu. Januar menoleh disusul oleh Danur.
"Hebat! Akhirnya kau datang juga, Januar!" Dodi menyeru sinis dan penuh dendam.
"Lalu kau tiada kapoknya memancingku!" balas Januar tegas.
"Tidak, selagi kau masih berkuasa, Januar! Pembual sepertimu harus ditumpas biar tidak lagi menyakiti wanita."
"Pecundang sepertimu bicara soal pembelaan wanita?" Pemuda itu menarik bibir smirk. "Siapa wanita yang kau maksud?"
"Jangan pura-pura bodoh, Januar! Kau baru saja melukai perasaan adik angkatku!" Dodi mengepal tinju lalu berjalan mendekat dan berhenti di jarak terdekat.
"Yakin?" Januar mendesis sinis. "Hanya peduli, atau peduli adik angkat yang sudah kau rusak hidupnya?"
"Jaga ucapanmu, bajingan!" Kini tubuh Dodi sudah bergetar hebat dengan amarah yang siap pecah.
"Kau yang biadap! Mana ada maling yang mau mengaku!" ejeknya sinis. Dodi sukses hilang sabar. Tangannya semakin gatal. Tidak perlu berlama-lama langsung melayangkan tinju ke wajah bersih milik Januar yang tampak bersedekap dan sangat tenang. Namun, tangan Danur lebih sigap menangkap pergerakan pria itu.
"Stop! Tangan kakakku terlalu berharga untuk sekedar menyentuh pecundang sepertimu!" Danur mendorong keras tinju milik Dodi hingga pemuda itu mundur selangkah. "Pergilah! Kuperingatkan sekali lagi, jauhi Aya atau kau akan berhadapan dengan amarahku lagi!" tekannya tegas. Nada beratnya berhasil menuai kerut tajam di kening Januar.
"Tidak akan kubiar kau menghalangi jalanku, bocah sialan!" pekik Dodi berang. "Kalian berdua tunggu saja pembalasanku!" tunjuknya geram lalu memilih kabur dari sana.
Januar menarik lengan Danur lalu menyandarkan sang adik ke badan mobil. Memberinya posisi duduk ternyaman.
"Katakan, kenapa kalian mempertaruh nyawa demi gadis itu?"
"Siapa?" Danur meringis menahan sakit bekas pukulan telak di bahu.
"Jangan berkelit! Aku belum tuli." Januar menekan ucapannya. "Baru saja kau menyebut nama Aya, kan?" Kini giliran Danur menarik lengan dari cekalan pelan sang kakak.
"Lepaskan dulu orangnya, baru kucerita." Lalu merapikan baju yang berantakan dan bersimbah darah. Luka lebam menghias wajah tampan yang ditutupi oleh rambut gondrong pirang.
"Kau mengancamku?" Januar melotot tajam. Sementara Danur menghela napas dalam. Beberapa kali hingga hatinya ikut melunak.
"Bukan, tapi sudah cukup penderitaan dialaminya selama ini. Jangan ditambah dengan hal lain," ungkapnya datar. Januar tertegun. Pikirannya mendadak terganggu. Sepertinya Danur tahu banyak perihal gadis payah itu.
"Bisa diperjelas lagi?" Netranya menyorot tajam, namun Danur hanya meringis sembari mengedikkan bahu.
"Itu urusan pribadiku dengan Aya, tidak ada hubungannya dengan Kakak," ulasnya santai. Januar tidak menyerah. Otaknya mencoba mencerna sesuatu.
'Lalu apa kaitannya dengan Dodi? Apa jangan-jangan gadis itu--'
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments