Di akhir hangatnya perbincangan, dan suasana mulai lengang. Masih ada beberapa pasangan turut dalam acara ramah tamah, termasuk keluarga Beryl-Lusia yang tampak menempel erat pada Nyonya Clara.
"Aku tetap tidak setuju, Pa." Clara menatap dingin suaminya. Sementara Gala Dirga tetap fokus memandang Aya di depan sana.
"Belajarlah menghargai keputusan anak-anak. Mereka sudah dewasa, Ma." Ucapannya justeru membuat Clara semakin uring-uringan.
"Percuma curhat sama Papa," keluhnya datar dan berlalu. Gala Dirga hanya melirik singkat lalu mengedikkan bahu.
Kini, para kerabat sudah berpindah ke halaman hotel yang diatur sedemikian rupa hingga memberi kesan lebih santai dibanding saat berada di ruang pertemuan, menegangkan. Alunan musik instrumental turut menambah kesan tenang dibarengi suguhan menu andalan Hotel Galaksi, terlezat sejagat kuliner.
"Selamat menikmati momen bahagia!" Suara Tuan Gala Dirga menyeru lewat pembesar suara. Lalu berjalan pasti mendatangi Aya dan Januar di meja dekat kolam renang.
"Ay, salah satu temanmu tadi, sudah berkunjung, kan?" Lalu ikut melabuhkan posisi duduk.
Gadis itu terperangah mendengar penuturan pria paruh baya yang kini bergelar calon mertua, palsu maksudnya. "Santi, maksud Paman?" seru Aya tidak percaya. "Tuh, ada bersama Bu Mirna."Telunjuknya mengarah ke pintu belakang. Gala Dirga mengangguk dengan senyum mengiringi.
"Paman kan, sudah berjanji akan mempertemukan kalian secepatnya," tuturnya ramah. Aya nyaris terlonjak riang, namun tatapan mematikan Januar menghalangi pergerakan. Akhirnya hanya lolos dengan senyum sungkan dari wajah sendu yang kini tampak sangat memukau.
"Terima kasih banyak, Paman." ucapnya super senang. "Nanti Aya traktir, ya." Refleks ocehan santai yang biasa ia lempar ke Santi maupun Danur melepas begitu saja dari bibir. Membuat Gala Dirga ikut tertawa renyah, meski ada Januar yang memamer tampang tidak suka.
"Aman itu, tinggal atur waktu," balas Tuan Gala santai. Januar berdehem seperti ingin angkat bicara. Namun, kelebat seseorang samar-samar di ujung pintu hotel memaksa Aya meminta izin bangkit dari duduk.
"Paman, izin ke belakang, ya. Mau ke toilet." Gala Dirga merespon baik.
"Silakan, bawa santai, Nak. Ini acara keluarga, bukan soal bisnis," ujarnya ramah sembari melirik tajam ke arah putra sulung yang duduk di ujung sofa. Januar menghindari tatapan menohok sang ayah. Paham akan sindiran untuknya.
Aya menyusur beberapa lorong pembatas, lalu berjengit mencari sosok yang serasa dikenal dekat. Pandangan menyapu keliling. Beragam tamu dengan jenis kelamin beda berlalu lalang, namun belum menemukan apa yang dicari.
"Ke mana dia?" Aya bermonolog. Sorot netranya memindai keliling.
"Cari siapa?" Gelegar suara maskulin berhasil memicu aliran darahnya hingga nyaris terhenti. Aya sudah siap memekik, namun orang itu sigap membungkam mulut dengan telapak tangan. "Jangan teriak, napa," sentaknya pelan dan Aya merasa lega karena dugaan itu benar.
"Benar ini kau?" seru Aya pelan, menyadari kehadiran Danur di sana. Pemuda itu menarik tangannya dengan anggukan memelas. Aya memindai sesuatu tidak beres di wajah bersih itu.
"Kau kenapa? Lalu ini apa?" Tangannya naik meraba pelipis Danur. "Mukamu lebam, habis berkelahi dengan siapa?" Aya memberondong tanya. Refleks menyentuh area bibir Danur dengan perasaan cemas mendalam.
"Eit! Jangan sentuh. Aku baik-baik saja, oke." Danur menghindar saat ekor matanya memindai sosok yang muncul dari sisi berbeda. Namun, Aya tidak peduli.
"Tapi itu lebam, pasti sakit, kan?"
"Nggak lah, anak jalanan mana boleh lembek."
"Ih! Kenapa harus berantem, Danur?" sergahnya tak mau kalah sambil berjingkat gemas meraba pipi pemuda itu. Hingga upayanya berhasil memboyong Danur ke tempat aman kamera. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa kau berada di sini?"
"Ini tempatku," balas Danur pendek.
"Ah, yang benar?" Aya melotot tidak percaya. Danur menaik turunkan alis jahil dan Aya mencebik. "Eh, anak jalanan, ngaku-ngaku punya hubungan dengan Tuan Galak," tudingnya miring.
"Galaksi." Danur baru menyadari, dia memang tidak pernah memperkenalkan identitas asli kepada orang baru mana pun termasuk Aya.
"Galak," sangkalnya.
"Bukan, Galaksi." Danur meralat.
"Bukan, khusus dia, Tuan Ga lak, sih!" Aya meniru tatapan sangar Januar membuat Danur ikut tertawa renyah. Mau tidak mau pemuda itu membenarkan ucapan Aya. "Ya, ya, ya." Tangannya mengacak gemas rambut Aya.
"Hoo! Penampakan bagus!" Seorang wanita modis menyindir pedas. "Baru beberapa menit tunangan dengan kakak, sekarang malah pacaran dengan adik," tambahnya dengan pandangan sinis. Danur dan Aya sama-sama kaget dan menoleh.
"Ah, kau Ellen." Danur merespon malas. Sementara Aya hanya memandang bingung pada Ratu Ellen yang tersenyum sinis. Namun, kecantikan sang artis justeru memukau netra gadis berwajah oval ini.
"Anggunnya!" gumam Aya pelan dan masih didengar oleh Danur yang kini sudah menyikut lengannya. Aya berjingkat. Lagi-lagi Ratu Ellen menyeringai sinis.
"Ck! Jadi ini wanita penggodanya?" decak Ratu Ellen kasar. Sementara Aya hanya melongo melihat kehadiran artis yang baru kali ini dilihat dari dekat.
"Pantas, jual murah, ya." Ratu Ellen memandang penuh hinaan. "Katakan, berapa banyak pria kau goda di luar sana?" tambahnya dengan amarah membumbung. Aya baru menyadari kalau gadis itu tengah menyoroti dirinya. Kini wajahnya berubah mendung. Danur mengetahui itu.
"Stop menuduh sembarang, Ellen!" sergah Danur menatap tajam. "Ini wilayahku, siapa pun tamunya, dia keluargaku, dan tidak perlu menjelaskan status apapun kepada siapa pun."
"Jangan membela, Danur! Dia pantas dihina." Ratu Ellen tidak terima. Kali ini tangannya sigap mendorong tubuh semampai Aya hingga terhuyung. Namun, Danur lebih gesit menahan tubuh itu ke dalam tangan kekarnya.
"Jaga sikapmu, Ellen. Pergi dari sini sebelum kuusir."
"Danur! Jaga sikapmu, siapa menyuruhmu mengusir tamu mama di sini?" Nyonya Clara tiba-tiba datang dan ikut menimpali. "Sekarang juga mama minta, jauhi gadis ini," lanjutnya penuh permusuhan.
"Setidaknya Mama juga punya penghargaan terhadap tamu kita yang lain," balas Danur cuek.
"Bukan kita, tapi kalian. Hebat! Anak mama semua sudah pandai melawan gara-gara membela seorang gadis asing."
"Dia rekanku, tidak ada yang boleh menghinanya di depanku," bela Danur sekenanya. Sementara Aya sukses mematung. Baru menyadari kalau Danur memang adik kandung pemuda yang telah mengikatnya dengan aturan sendiri.
"Baguslah, awal-awal sudah ketahuan belang," sindir Clara tajam. "Dengan begini, putraku Januar pasti akan segera mengusirnya jauh-jauh," lanjutnya sinis. Aya menunduk tajam dengan wajah pias. Tiba-tiba langkah kaki seseorang berjalan mendekat dengan pandangan gelap.
"Aya sayang, aku cari ke mana-mana, ternyata di sini." Januar mendadak mendatangi Aya dan merangkulnya erat. Membuat semua ikut tertegun termasuk Aya. "Ah, ya. Perkenalkan, ini Mama, dan Mama, dia calon istriku," tuturnya sopan, namun Clara sudah siap mendengus tajam sembari bercakak pinggang menantang. Januar tidak menggubris, malah melanjutkan ucapan.
"Dia adikku," tunjuknya pada Danur yang sedia membenarkan dengan senyum dan anggukan. "Dan yang itu sahabat sejatiku." Telunjuknya kembali mengarah ke Ratu Ellen yang memandang dengan bibir bergetar. "Dia artis terkenal, kuyakin kau tahu itu." Aya yang tadinya sempat tertegun, kini sudah bisa mengangguk dan tersenyum ramah. Mengulur jabat tangan, namun diabai oleh Ratu Ellen. Perlahan Januar menurunkan tangan Aya dengan senyum samar.
"Tadi, bilang mau ke toilet, kan? Yuk, ku antar lewat sana," ujarnya pelan. Lalu menarik lengan Aya agar beranjak dan Aya menuruti. Aura dingin menguar mengiringi derap langkah mereka.
"Sudah kutunjukkan aturan bekerja dengan baik," tutur Januar datar saat langkah mereka mencapai dinding toilet. Mendorong tubuh Aya hingga menempel lalu mencekal rahang si gadis dan menghujam tatapan gelap. "Tapi kau melanggar." Rahangnya pun ikut mengeras. Aya mengangkat wajah, gugup. Sejenak keduanya saling mengunci pandangan dengan deru napas saling memburu.
"M-maaf, Pak."
"Panggil aku Januar!" bentaknya keras dan mengerat cekalan. Aya meringis.
"Baik, Januar. Lepaskan Aya dulu!" balasnya getir. Netra kucing itu sudah mulai berkabut dengan tangan bergetar. Berupaya mendorong tubuh kekar yang terlanjur tidak berjarak dengannya, namun tenaga tak cukup. Hingga Januar sendiri yang menarik diri dan melepas cekalan.
"Cepat selesaikan urusanmu." Januar menetralkan diri. "Aku tunggu di mobil," ucapnya melunak namun masih datar. Lalu segera berlalu.
Aya bergegas masuk ke dalam toilet dengan tangis yang tumpah ruah. Saat keluar dari toilet menuju ke pelataran, ia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Hingga seorang pelayan hotel mendatanginya.
"Nona Aya Sofia Amaira?"
"Ya, saya sendiri."
"Anda ditunggu oleh seseorang bernama Tuan Dikara." Tunjuknya ke arah jalan yang gelap dan sepi.
"Papa?" Gadis itu bergegas mencari alamat sesuai petunjuk pelayan tadi dan melihat sebuah penampakan di ujung jalan yang membuat darahnya mendesir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments