Januar menggeleng menepis angin. Otaknya mencoba mencerna sesuatu, 'Apa jangan-jangan gadis itu-- ah, lupakan.' Tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan orang. Apalagi berkaitan dengan gadis itu.
Di sepertiga malam terakhir, dia pulang ke rumah utama bersama Danur yang terluka parah. Tentu dengan bantuan Sekretaris Gamma dan beberapa anak buah demi memboyong pulang Harley kesayangan milik si adik.
"Berikan perawatan terbaik," titahnya kepada Dokter Adipura saat tangannya dengan telaten membaringkan sang adik di atas kasur yang entah sudah berapa lama ditinggal pemilik itu.
"Siap, Bos!" balas Dokter Adipura pendek.
Meski isi kepala jenius itu bekerja keras memikirkan keterkaitan antara Danur, Dodi, Aya, namun wajah dinginnya masih tetap di mode serupa. Tidak menampakkan kekhawatiran sedikit pun.
"Istirahatlah, sampai benar-benar pulih," ujarnya datar. "Atau kau teruskan saja hobi tualangmu di luar sana, sekarang juga," ejeknya lagi lalu memilih mundur dan beranjak pergi. Danur yang sudah mendapat perawatan khusus oleh Dokter Adipura hanya melengos tajam.
"Kakak!" panggil Danur cepat saat Januar sudah menginjakkan kaki di depan pintu keluar. Januar menahan langkah tanpa menoleh. Sementara Danur tampak mengatur napas serasa tercekat.
"Apa kau benar-benar akan bertunangan dengan Aya?" tanyanya memelas membuat Januar seketika tertegun. "Kau akan segera memperistrikan dia?" Danur masih memberondong. Januar mendengus.
"Urus saja urusanmu dengannya," tukasnya menyilang kedua tangan di dada, namun tetap dalam mode awal, memunggungi sang adik. "Tidak perlu mencampuri urusanku dengannya," tambahnya datar dan dingin lalu memilih pergi dari sana. Danur melongo memandang punggung sang kakak.
"Sudah kuduga, jawabannya pasti begitu," ringisnya merasa bagai mendapat tamparan keras. "Argh!" pekiknya parau. Dia baru menyadari satu hal, ternyata karakter mereka tidak jauh beda. Sama-sama keras kepala, dan tidak mau diatur.
Pagi harinya, Januar baru saja tiba di apartemen Galaksi. Di depan pintu dirinya sudah disambut dengan hunusan netra tajam kedua sahabat hingga mencipta suasana menegang. Udara sekitar ruangan tiba-tiba memanas.
"Ada masalah?" tanyanya santai dengan langkah malas, melanggar batas bahu kedua sahabatnya, Dokter Adipura dan Sekretaris Gamma.
"Ini serius," tegas Adipura dan diangguk hormat oleh Gamma.
"Aku juga serius bertanya," sentaknya melebihi satu oktaf. Gamma mempersilakan atasannya melintas dengan telapak tangan mengarah ke kamar di mana gadis yang menurutnya 'payah' itu berada. Januar menerobos tanpa komentar. Disusul oleh Gamma dan Dokter Adipura.
"Kenapa Bu Mirna?" tanyanya saat langkah terakhir mencapai ujung ranjang dan mendapati Aya terbaring tanpa ekspresi.
"N-nona Aya tak sadarkan diri dari semalam, Tuan." Bu Mirna menuturkan secara kronologis di mana saat dirinya mendatangi kamar Aya, dan mendapati gadis itu pingsan di dalam buthub dengan air masih mengucur dari kran.
"Untung cepat ditangani, Tuan." Tentunya itu terjadi beberapa menit setelah Januar menugaskan kepadanya sebelum pergi. "Kasihan, nyawanya nyaris terenggut," tutupnya dengan nada merinding. Januar mencerna setiap perkataan wanita muda itu dengan tatapan sulit dibaca.
"Apa yang terjadi?" tanyanya setelah beberapa saat pelayan Mirna meninggalkan ruangan. Dokter Adipura menarik lengannya menjauh dari tepi ranjang dan kini mereka sudah melabuhkan pinggul ke sofa. Disusul oleh Gamma yang setia berdiri di samping dengan kedua tangan bertumpu ke dalam saku celana.
"Gadis ini diduga mengalami gangguan kecemasan," tutur Dokter Adipura serius. Januar menyimak. “Setelah ini, sebaiknya ajak dia berbicara dengan sedikit kelembutan,” tambahnya dengan tatapan menelanjangi. Januar yang gagal mencerna, lantas menghujam pandangan menohok.
“Kau mengajariku?” tanyanya menghakimi. Dokter Adi menampik.
“Berdasarkan pengamatan medis kami, gadis ini sering jatuh pingsan saat menghadapi kejadian mengejutkan, jadi hati-hatilah saat berinteraksi. Paling tidak, dia butuh healing,” tambahnya. Januar tampak berpikir keras. Otaknya sulit menerima penjelasan berbau pembelaan terhadap gadis itu.
"Healing ...." gumamnya datar. Telapak tangan naik menyapu pelan bulu tipis yang menghias area atas bibir dan dagu.
Sementara itu, di kamar apartemen yang berbeda, Ratu Ellen baru terjaga dari tidur lelap. Rasa lelah merayap hinggap ke sekujur raga meski cukup lama terlelap.
"Sayang, kau sudah bangun?" seru suara yang duduk di samping ranjang dengan wajah super cemas.
"Ah, Mama. Kirain siapa." Ratu Ellen menggeliat malas tanpa berniat untuk bangkit dari posisi semula.
"Sayang, kenapa tidak mengabarkan kalau pulang kemari? Mama jadi khawatir berat sama kamu."
"Nggak apa-apa Ma. Santai lah."
"Santai gimana, Sayang? Mama sampai menampar gadis sialan di atas panggung itu gara-gara memikirkanmu," terang Nyonya Lusia membuat Ratu Ellen membeliak penuh.
"Benar itu, Ma?" tanyanya seraya bangkit dan mengambil posisi duduk. Nyonya Lusia mengangguk yakin.
"Iya, sih! Januar memang keterlaluan," ujarnya sendu. "Tapi, siapa gadis itu, Ma?" tanyanya acuh.
"Belum diketahui. Kabarnya, dia anak kampung dan menumpang tinggal di rumah Tuan Dikara." Lusia berkelit.
"Anak pembantu? Supir, atau penjaga taman?" berondongnya.
"Pembantu tua itu," dalihnya dan Ratu Ellen hanya mengangguk percaya. Lusia pun menghela napas lega.
"Oh, ya. Mama baru saja mendapat undangan khusus dari Tuan Permana." Lusia berucap ragu. Ratu Ellen mengerut kening.
"Apa katanya?" Tidak sabar menunggu ucapan lanjut sang mama.
"A-anu, i-itu."
"Anu, itu apa, Ma? Bikin penasaran saja."
"S-sebentar malam, Januar akan bertunangan dengan gadis kampung itu."
"What?? Yang benar saja, Mama?" Ratu Ellen menggeleng tidak percaya. Lusia mengangguk berkali-kali demi meyakinkan sang anak.
"I-ini tidak boleh terjadi, Ma," desisnya dengan air mata yang sudah membulir. "Cepat batalkan dengan cara apa pun!" isaknya semakin menjadi. Lusia menggeleng pelan, ikut larut dalam kesedihan sang buah hati.
"Dengar, Nak! Sekarang, kau harus kuat." Lusia mencoba menenangkan. "Jangan tunjukkan kesedihanmu di depan mereka." Menangkup kedua lengan, lalu tangan naik menyapu air mata putrinya. "Agar kita punya kemampuan untuk melawan."
"Tapi ini sakitt, Ma!" ratapnya memegang dada kiri, serasa mendadak ngilu.
"Iya, Mama mengerti, Sayang. Persiapkan dirimu untuk hadir ke acara malam ini. Ingat! Harus sempurna," bujuknya pelan. "Lalu kita lancarkan aksi tak terduga di depan semua orang." Ratu Ellen mengangguk setuju. Berupaya menahan rasa sakit mendera.
'Mana Januar yang dulu?' Hatinya menerawang antara kerinduan akan masa indah di mana ikatan persahabatan masih suci tanpa noda, bergelut dengan obsesi mendapatkan cinta sahabat sendiri, membuat gadis itu terjebak dalam rasa sembilu mendalam.
"Tunggu dan lihat apa yang bakal kulakukan, Januar!" Kini tatapan redupnya mengilatkan dendam nan membara. Kini dia tahu apa yang akan dilakukan.
Sejenak matanya membola, dia teringat sesuatu.
'Ke mana dia? Apa mama tahu Dodi di sini, semalam?'
Bukankah semalam anak angkat ibunya itu datang dan menghabiskan malam bersamanya?
'Nggak! Mama nggak boleh tahu hal ini.' Netra almond itu gusar memindai selidik wajah wanita paruh baya yang sibuk mengusap iba kepalanya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments